Logika Militerisme dalam Wajib Militer

Logika Militerisme dalam Wajib Militer 24/08/2020 1654 view Opini Mingguan pixabay.com

Baru-baru ini wamenhan mengeluarkan pernyataan untuk mewacanakan penerapan wajib militer bagi mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Wacana ini menurutnya dilakukan untuk menciptakan rasa cinta bangsa dan negara di kalangan mahasiswa. Wacana ini dengan cepat menyebar dan menimbulkan berbagai komentar, baik yang setuju maupun tidak setuju.

Tidak cuma di kalangan mahasiswa, isu terkait penerapan program wajib militer untuk seluruh warga Indonesia juga pernah menjadi isu yang hangat diperbincangkan beberapa tahun lalu. Usulan terkait pelaksanaan wajib militer ini bahkan dulu pernah diusulkan menjadi sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang dinamakan RUU komponen cadangan (komcad). Isinya, seluruh warga Indonesia yang berumur 18-27 tahun wajib untuk mengikuti pendidikan militer dasar guna mempersiapkan komponen cadangan pendukung militer jika sewaktu-waktu terdapat kegentingan perang yang mendesak.

Secara umum, tujuan pelaksanaan wajib militer adalah untuk memperkuat sistem pertahanan negara Indonesia jika terjadi perang, meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme warga negara, dan sebagai amanat dari UUD 1945 tentang implementasi pelaksanaan bela negara. Alasan-alasan inilah yang digunakan sebagai dasar mengapa wajib militer perlu dilaksanakan.

Namun, kita juga saat ini perlu memperhatikan situasi dan dinamika dari kondisi sosial yang sedang dihadapi Indonesia saat ini.

Seperti yang kita ketahui, belakangan ini isu soal keutuhan dan integrasi bangsa menjadi topik utama yang menjadi perhatian banyak orang. Sebabnya, terdapat berbagai macam tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini.

Tidak hanya potensi ancaman dari luar berupa perang dan terorisme semata, tetapi Indonesia juga sedang diguncang dengan tantangan dari internal negaranya itu sendiri, dalam bentuk munculnya kelompok-kelompok yang mewacanakan agenda separatisme dan sejenisnya yang membawa narasi alternatif tentang ideologi negara dan Pancasila.

Berbagai macam hal tersebut sepertinya secara tidak sadar membentuk pola pikir dari pemerintah untuk memformulasikan sebuah langkah yang dapat mengatasi problematika di atas. Dan salah satu ide yang tercetus kemudian adalah wacana untuk mewajibkan wajib militer bagi warga Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, apakah pendekatan preventif dengan melibatkan militer sebagai aktor utama dalam pelaksanaannya akan membawa dampak yang baik bagi kelangsungan hidup bernegara kita ke depan?

Untuk menjawabnya, kita perlu kembali membaca buku sejarah kita. Indonesia memiliki rekam jejak kurang baik ketika berada dalam kekuasaan militer. Kewenangan militer yang sebelumnya sangat absolut dalam mengatur segala kehidupan warga merupakan salah satu alasan penting mengapa agenda penghapusan Dwi fungsi ABRI menjadi salah satu semangat utama dari reformasi tahun 1998. Sebuah bentuk pemisahan antara ramah militer dan ranah sipil secara jelas.

Selain itu, ada satu aspek lain yang saat ini sebenarnya sangat mengganggu penulis pribadi. Seringkali suatu bentuk nasionalisme dan patriotisme itu digambarkan dengan nuansa dan simbol-simbol yang sifatnya militeristik. Segala hal yang berbau militer hampir secara pasti kita asosiasikan sebagai yang paling nasionalis dan patriotis. Pola pikir seperti ini kemudian menafikan bentuk-bentuk nasionalisme dan patriotisme dalam bentuk lain yang beragam.

Jika alasan penerapan wajib militer adalah meniru negara-negara maju di dunia, maka kita juga perlu secara cermat membaca konteks penerapan wajib militer di negara itu. Korea Selatan melaksanakan wajib militer, karena negara tetangganya Korea Utara secara terang-terangan mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan perang. Israel pun juga demikian, mereka adalah bangsa asing yang terus terancam di tengah wilayah-wilayah bangsa Arab.

Saat ini Indonesia tidak berada dalam kondisi mendesak dan dalam tekanan perang, sehingga perlu diwajibkan untuk diadakannya program wajib militer. Anggaran kementerian pertahanan yang tahun ini dipangkas pun sepertinya tidak akan cukup apabila digunakan untuk membiayai program ini. Akan lebih baik jika fokus anggaran dialihkan untuk pengembangan alutsista modern untuk mengantisipasi perang dalam bentuk cyber, seperti yang sudah dikembangkan oleh negara-negara maju lainnya.

TNI dan termasuk Polri saat ini sedang disoroti oleh publik, terutama terkait kaitan dua institusi besar ini dengan dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM. Jika program ini dilaksanakan di tengah kepercayaan publik yang sedang menurun, program ini bisa jadi akan berbalik arah menjadi penyebab disintegrasi bangsa.

Ada banyak cara dalam membangun rasa cinta bangsa dan nasionalisme warga. Para penyelenggara negara perlu memahami karakteristik generasi saat ini yang tidak suka dengan cara-cara indoktrinasi dan pengajaran dogma-dogma secara kaku dan kuno seperti yang telah diterapkan pada zaman dahulu. Mereka perlu didekati dengan pendekatan yang humanis dan partisipatif, dan tentunya logika dan praktik militerisme tidak sejalan dengan semangat itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya