Literasi Sejarah dan Upaya meneguhkan Kebangsaan

Berbicara tentang literasi, semua orang sudah akrab dengan terminologi tersebut. Hanya saja sebagian orang masih memandang literasi hanya sebatas kegiatan membaca. Sementara cakupan literasi sangat luas, yaitu membaca, menulis dan mengkritisi. Ketiga kegiatan ini sangat berkorelasi satu dengan yang lain dalam merumuskan sebuah persoalan yang terjadi.
Lewat membaca, setiap orang bisa mengetahui pangkal persoalan, sementara lewat menulis setiap orang bisa mengembangkan gagasan baru yang dapat dibaca oleh orang lain dan lewat mengkritisi, setiap orang mampu mengajukan resep (solusi) yang pantas terhadap persoalan. Di sini sebetulnya ketiga kegiatan tersebut harus berjalan beriringan satu dengan yang lain.
Lantas, bagaimana literasi dapat meneguhkan kebangsaan? Inilah pertanyaan paling ekstrim untuk dijawab, karena setiap orang jarang memahami literasi dan kebangsaan sebagai ‘media’ yang dapat menajamkan ke-Indonesiaan ditengah pentingnya literasi dan problematik kebangsaan.
Saat ini dunia literasi kian memudar dan tenggelam karena kehadiran teknologi. Sementara jika kita mengamati lebih jauh, kehadiran teknologi sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan dan ketajaman pola pikir. Tetapi justru sebaliknya, orang mulai bermalas-malasan dan dininabobokan dengan teknologi yang serba cepat dan mudah.
Hal ini menjadi tantangan baru bagi setiap generasi karena akan berpengaruh terhadap pemahaman kebangsaan dan kebinekaan. Sehingga menyebabkan pengetahuan setiap orang terhadap sejarah bangsa kian menipis dan terpinggirkan, terutama terhadap generasi milenial saat ini.
Kesadaran untuk mengembangkan literasi sebagai trajektori yang mampu menajamkan kebangsaan hanya impian semata. Setiap orang mulai kehilangan jati diri bangsa karena terlelap dalam suasana euforia akan teknologi yang makin hari-makin menggerus pemahaman akan sejarah bangsa.
Generasi milenial mulai mengadopsi tokoh-tokoh dari luar untuk dijadikan panutan dalam keseharian. Sementara tokoh nasionalis yang sangat berjasa dan pantas dijadikan panutan dari bangsa sendiri sangat banyak. Seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Shjarir, Kartini, Tan Malaka, dan masih banyak lagi.
Melalui hal kecil seperti ini, kita sedikit menyimpulkan setiap orang (bukan hanya milenial) mulai kehilangan tokoh bangsa sendiri. Tanpa sadar atau secara sadar, setiap generasi mulai tenggelam dalam kelupaan akan sejarah bangsa dan tokoh perjuangan. Bahkan bisa dibilang, setiap dari kita tidak sepenuhnya benar-benar bertanggung jawab dalam mengembangkan kebhinekaan di tengah arus modernisasi yang semakin menggebu-gebu.
Soal ini bisa terbukti dari cara kita yang ‘ribut’ tentang nasionalis dan pancasilais. Justru dengan sikap seperti ini menggambarkan bahwa kita tidak betul-betul paham akan sejarah bangsa sekaligus paham akan keberagaman. Ini semakin mempertegas bahwa literasi yang kita lakukan saat ini masih belum cukup matang karena keteledoran terhadap pentingnya literasi.
Sementara kehadiran teknologi sangat membantu kita menemukan pengetahuan baru tentang sejarah. Di sana kita memahami bagaimana gejolak yang terjadi saat itu, dimana para tokoh perjuangan tidak gentar merebut kemerdekaan hanya demi mempertahankan eksistensi bangsa.
Bangunan sejarah mesti diperkuat dalam diri setiap anak bangsa utamanya generasi milenial yang menjadi tonggak perjuangan di hari depan Indonesia. Sejalan dengan itu, literasi harus terus diupayakan dan dikembangkan secara terus-menerus hingga setiap dari kita dapat lebih mengharagai perbedaan.
Memperteguh kebangsaan hanya bisa dilakukan lewat penguatan literasi untuk tetap menumbuhkan semangat cinta tanah air. Tanpa literasi, kita mudah ditekan, diombang-ambing dan mengalami degradasi yang dapat melemahkan perjuangan mempertahankan dan meneruskan cita-cita besar kebangsaan. Bukan tidak mungkin, generasi selanjutnya akan mengalami pembelokan terhadap sejarah karena tidak seutuhnya menanamkan literasi (membaca, menulis dan mengkritisi).
Menolak Lupa
Hanya ada satu cara menolak lupa, gaungkan literasi. Tetapi tidak sekilas menggaungkan. Setiap orang dalam dirinya harus menjadi ‘subjek’ yang betul-betul melaksanakan kegiatan literasi dan mengembangkan dimanapun.
Memang kegiatan literasi hanya dipandang sebagai kegiatan kecil yang mudah dilakukan jika setiap orang tidak betul-betul menanamkan rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab merupakan sikap yang dituntut dari siapapun yang merasakan kebangsaan sebagai nilai fundamen bagi tercapainya kemajuan bangsa.
Semakin hari, benturan dalam masyarakat semakin nyaring karena cara pandang yang semakin tidak terarah terhadap kebhinekaan. Sikap seperti ini akan terus-terusan mengendap dalam diri kita jika kita tidak mampu menjangkar lebih luas dan mendobrak dengan cara penguatan literasi.
Bagi saya, literasi menjadi kunci yang mampu menghancurkan gembok kelupaan terhadap sejarah dan kebhinekaan yang semakin mengeras.
Orang mulai takut mengkritsi masa lalu, karena tidak paham seutuhnya terhadap sejarah masa lalu. Orang mulai bicara masa lalu tanpa pendasaran yang utuh karena memang tidak didahului dengan literasi yang kuat. Sehingga ini menyebabkan kita gagal memahami lebih utuh, jernih dan malah bersikap apatis untuk mencari kebenaran sejarah.
Sikap ini justru mempertegas bahwa kita belum mampu menjadi bangsa yang bertanggung jawab dalam meneruskan cita-cita besar pendahulu bangsa. Tidak ada alasan untuk takut, jika kita mampu membangun semangat literasi terhadap kemajuan kebangsaan.
Melalui penguatan literasi kita akan semakin meneguhkan semangat bersama untuk mencapai kemajuan di masa mendatang. Mengutip Soekarno, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah). Tetapi mari kita bangun pengetahuan sejarah lewat literasi.
Artikel Lainnya
-
10404/09/2023
-
56511/09/2022
-
194111/12/2019
-
Dunia Masa Depan adalah Dunia Kolaborasi
74931/12/2021 -
Rindu Pemimpin Berjiwa Pahlawan
137230/10/2020 -
Mengurai Abjeksi: Kritik Sosial dalam Teori Julia Kristeva
11521/10/2023