Literasi dan Masa Depan Demokrasi Politik

Entrepreneur, Penulis
Literasi dan Masa Depan Demokrasi Politik 21/11/2024 59 view Politik latinoamerica21.com

Pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, pemerintahan awal Presiden Soekarno dibebani pekerjaan rumah besar yakni tingginya tingkat buta aksara yang mencapai 90 persen dari total penduduk. Puluhan tahun berlalu, angka tersebut telah mengalami penurunan yang signifikan. Menurut data BPS hampir sedekade terakhir saja, sejak tahun 2015 hingga tahun 2023 Indonesia telah mengalami penurunan dari angka 4,27 persen hingga 3,18 persen.

Mencapai masyarakat yang melek huruf merupakan target pemerintah dalam meningkatkan kualitas literasi. Mengingat kualitas literasi menjadi syarat bagi kemajuan suatu bangsa. Sayangnya kemampuan literasi tidak hanya diukur berdasar turunnya angka buta aksara dan kemampuan numerasi. Tentu pemerintah paham betul apa saja indikator untuk mengukur kualitas literasi.

Literasi dapat dilihat dengan berbagai ketegori literasi, atau dapat dikatakan literasi tidak hanya sekadar dapat membaca atau menulis. Makna yang luas ini coba disederhanakan dalam upaya Kemendikbud untuk membentuk Laporan Indeks Aktivitas Membaca tahun 2019. Literasi perlu dipahami sebagai kemampuan untuk berkomunikasi, memahami, menginterpretasi, dan menganalisis bahasa.

Literasi juga dilihat dari jumlah perpustakaan dan berbagai jenis bacaan yang berkualitas di daerah. Sayangnya persoalan fasilitas masih menjadi pekerjaan rumah yang belum juga tuntas. Fakta pelik ini tentu berkontribusi besar pada kualitas generasi bangsa. Generasi yang dihadapkan dengan persoalan lebih besar yakni menghadapi “masa depan demokrasi”.

Demokrasi era digital adalah sebuah ranah baru bagaimana perkembangan teknologi digital menjadi ruang demokratis untuk saling berkomunikasi dan secara politik menampilkan eksistensi setiap individu. Tidak heran dinamika politik dalam berbagai tingkat regional, nasional dan internasional, bisa terakses dengan mudah melalui aktivisme digital. Dengan kata lain, ruang digital menjadi arena politik demokrasi yang dominan saat ini.

Secara optimis perkembangan teknologi digital memang berkontribusi pada peningkatan kualitas demokrasi partisipatif dan kesadaran kewarganegaraan. Namun, nampaknya pandangan itu terkesan partikular. Literasi yang masih tertinggal dan perkembangan teknologi yang tak terbendung membuat masa depan demokrasi justru memuat potensi buruk yang tidak sedikit.

Politik Informasi

Informasi menjadi salah satu yang penting ketika menghubungkan antara diskusi tentang literasi dan perkembangan politik demokrasi. Ini memungkinkan bagaimana pemahaman, opini dan sikap publik terbentuk di ruang demokrasi. Tidak heran informasi dapat menjadi produk dalam transaksi politik di ranah digital. Mengapa demikian?

Pertama, informasi sebagai narasi politik. Dalam era demokrasi digital, pertarungan politik seringkali identik dengan perebutan simpatik publik melalui berbagai narasi. Narasi dapat menampilkan sosok figur politik sedemikian rupa. Sosok karismatik, sederhana, tegas, lucu, dan sebagainya. Image publik terhadap sosok figur dapat terbentuk atau bahkan mudah saja berubah hanya melalui narasi.

Fenomena tersebut memungkinkan kontestasi politik dipenuhi dengan informasi yang sulit dipilah-pilah. Hal ini yang umum terjadi dalam era post-truth. Situasi dimana garis batasan antara informasi yang benar dan salah melebur sehingga membuat publik tenggelam dalam berbagai disinformasi. Teknologi yang diharapkan mendekatkan jarak hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya, justru membuat semuanya semakin manipulatif.

Kedua, data sebagai informasi bagi kebutuhan pasar dan persaingan politik. Poin ini lebih jelas melihat aktivitas publik dalam ranah digital sebagai modal politik. Data dapat dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pasar bahkan dalam konteks pemilu sekalipun. Kemenangan Donald Trump tahun 2016 lalu misalnya, marak disebut menggunakan jasa Cambridge Analytica sebagai perusahaan konsultan politik. Dengan mengidentifikasi data publik dan mengirim pesan yang memantik sikap para pemilih.

Dalam perkembangan demokrasi seperti sekarang, kebebasan yang diartikan tanpa kontrol kekuasaan justru menghadirkan jenis kontrol baru melalui mekanisme algoritmik. Christian Fuchs (2019) menyebut perkembangan teknologi seperti ini justru menjadi perluasan dominasi, seperti jejaring otoritarianisme, jejaring eksploitasi, dan dehumanisasi digital.

Maka dalam konteks teknologi digital dan perkembangan demokrasi, sesuatu yang disebut sebagai subjek algoritmik ini dikepung oleh sistem prediksi dan kontrol. Konsekuensinya adalah bahwa subjek algoritmik atau individu dilatih dan didisiplinkan sehingga yang terjadi justru kerentanan pada diri individu.

Pesta Demokrasi

Memasuki perbincangan yang lebih aktual adalah kemampuan literasi publik ini dihadapkan dengan politik demokrasi dalam konteks pemilihan umum. Masifnya kampanye politik melalui media sosial, mengharuskan publik untuk menyeleksi semua informasi yang bertebaran. Nahasnya tugas itu hampir sulit dilakukan jika tidak didukung dengan basis literasi yang memadai.

Pertarungan politik nasional pada Pemilu 2014 dan 2019 misalnya, menghasilkan polarisasi antara kubu 'hiper-nasionalisme' versus kubu 'politik identitas' (Nugroho dkk, 2019). Situasi tersebut menggiring publik pada politik pecah belah yang benar-benar meresahkan dan menggerus integritas bangsa. Narasi perpecahan tidak sedikit meneror publik. Demi kebaikan demokrasi, konsolidasi partai politik dan oligarki terjadi. Dari situlah kerentanan lebih parah dimulai.

Pemilu 2024 berlanjut dengan peta konstelasi politik yang berubah. Namun, kali ini politik sensasional dan narsistik nampak lebih banyak terjadi di panggung politik. Menariknya isu-isu anak muda memang menjadi market yang menggiurkan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan digitalisasi. Melalui platform semacam tik-tok, instagram, twitter dan facebook, kontestasi dan kampanye politik diramaikan. Mirisnya pelanggaran etika demokrasi hampir penuh dikesampingkan.

Potret situasi politik demokrasi semacam ini, semakin menekankan bahwa tingkat kepasifan, rendahnya daya kritis, konsumerisme yang tinggi adalah efek dari minimnya kualitas literasi dan ciri yang mencolok dari masyarakat digital. Tidak berlebihan jika menyebut perkembangan demokrasi yang pesat tidak dibarengi dengan kesiapan publik menghadapi perubahan tersebut.

Lagi-lagi kualitas literasi perlu dilihat lagi sebagai fondasi yang amat penting, agar tidak membiarkan bangsa ini tergerus oleh kemegahan perkembangan zaman. Ini tidak berlebihan sebab tidak mudah menjernihkan politik dan menghasilkan ruang publik yang bersih dari provokasi politik, hoaxs, ujaran kebencian. Sebab masa depan demokrasi sudah semestinya didukung dengan komitmen penuh untuk meningkatkan kemampuan literasi yang lebih komprehensif.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya