Lima Hambatan Produktivitas Penulis Pemula

Santri Ponpes Kreatif Baitul Kilmah
Lima Hambatan Produktivitas Penulis Pemula 27/09/2024 136 view Lainnya katongntt.com

Menulis merupakan salah satu bentuk kreasi pikir yang diwujudkan dalam kata-kata. Kegiatan menulis merupakan sebuah eksplorasi diri guna mengekspresikan kehendak hati dan pikiran. Namun, apakah menulis semudah yang dibayangkan? Tidak. Sebab sebagaimana kata A. Fuadi –penulis novel Negeri 5 Menara—bahwa seorang penulis haruslah melatih otot-otot menulisnya setiap hari agar mampu mengembangkan karya tulisnya semakin membaik. Jika otot menulis itu tak dilatih, maka seorang penulis akan menemui titik buntu, dalam hal ini tidak produktif sebab tak ada karya tulis yang dihasilkan.

Bagi penulis pemula, produktivitas dalam menulis tentu menjadi semacam tuntutan yang harus dipenuhi, sebab jika tidak, maka penulis tersebut akan sulit berkembang. Ada lima alasan yang membuat penulis terhambat dengan produktivitas. Pertama, penundaan yang tak berujung. Menunda-nunda ibarat sebuah candu yang memabukkan. Bagi seorang penulis, mendapatkan ide tulisan adalah hal yang mengesankan. Namun, jika ide tersebut tidak segera dieksekusi dengan baik maka akan menguap begitu saja. Biasanya, para penulis pemula akan terhalang oleh rasa malas dan menunda-nunda dalam eksekusi tulisan. Akibatnya, sebuah naskah tak kunjung selesai sebab adanya penundaan. Untuk penundaan ini, alangkah dihindari dengan membuat target, misalnya sehari menghasilkan tiga tulisan dengan topik yang berbeda. Lalu berkomitmen pada diri sendiri, tidak akan berhenti menulis sebelum tiga tulisan tersebut tersimpan dengan apik di laptop.

Penundaan juga bisa disebabkan oleh pola pikir yang salah, mengira bahwa masih ada banyak waktu untuk menulis, pada akhirnya mindset tersebut akan membelenggu dan susah dilepaskan, sehingga untuk menghadap laptop dan menulis kembali akan susah. Menunda sebenarnya tidak salah dalam beberapa hal, namun praktik demikian harus dibatasi dengan tegas agar tidak semakin menggurita sehingga mengganggu produktivitas.

Kedua, mengejar kesempurnaan. Dalam sebuah tulisan, AS Laksana pernah menyatakan bahwa seorang penulis akan terus-menerus belajar. Sebab tak ada seorang penulis yang baik, dalam hal ini seorang penulis akan terus merasa kurang dan kurang atas apa yang ditulis, entah ada ide yang belum tersampaikan, entah terdapat alur berpikir yang rancu, atau bahkan menganggap tulisan masih kurang dipoles ulang. Perasaan demikian menurut AS Laksana adalah sebuah kewajaran, sebab memang sejatinya tak ada seorang penulis yang sempurna. Dalam setiap karya tulis pasti ada sebuah kekurangan, dan ini sah-sah saja. Namun pada faktanya, penulis pemula seringkali mengalami kondisi god complex (sikap selalu ingin merasa perfeksionis). Di mana menginginkan tulisannya harus bagus sebagus-bagusnya. Akibatnya, proses penulisan akan terganggu karena penulis akan disibukkan dengan ide-ide, polesan-polesan, editing yang dianggapnya kurang. Pada akhirnya, menulis akan memakan banyak waktu dan tak maksimal. Menulis adalah proses belajar, maka kesalahan adalah hal wajar. Untuk penulis pemula, mereka perlu membawa perasaan mengalir dalam menulis dan mengabaikan dorongan-dorongan kesempurnaan.

Ketiga, tidak adanya role model. Setiap penulis, pasti memiliki seorang tokoh penulis idola. Adanya pengidolaan demikian diharapkan seorang penulis mampu meniru jejak sang idola. Dan, bagi penulis pemula hal ini diperlukan untuk memompa semangatnya dalam menulis. Biasanya, sosok penulis idola akan menjadi inspirasi yang kuat untuk penulis pemula. Dengan hal itu juga, seorang penulis pemula bisa belajar dari penulis-penulis hebat. Nama-nama beken seperti Pramoedya Ananta Toer, JK. Rowling, Malcom Gladwell dan banyak lagi, bisa menjadi tokoh panutan dalam menulis. Masalahnya, penulis pemula yang tak mempunyai tokoh idola dirinya akan mudah terombang-ambing sebab tak punya tokoh patron yang bisa diikuti. Di sinilah fungsi idola bisa dirasakan, setidaknya dengan adanya idola tersebut, penulis pemula mampu memberi gambaran ke depan hendak seperti apa dirinya dibentuk. Apakah seperti Dan Brown yang ahli thriller? Apakah seperti Ahmad Tohari yang sastrais? Jadi, silakan mencari tokoh idola masing-masing lalu ikuti jejaknya.

Keempat, penyuntingan di tengah jalan. Satu hal lain yang membuat kegiatan menulis tidak bisa disebut enteng adalah sebuah penyuntingan. Penyuntingan dilakukan guna menemukan “something wrong” dalam naskah untuk dibenahi. Yang menjadi persoalan adalah, menyunting baiknya dilakukan setelah tulisan benar-benar tuntas. Biasanya, penulis pemula akan senang menyunting ketika proses menulis sedang berlangsung. Padahal tindakan demikian sebaiknya dihindari untuk sementara waktu, biarkan tangan-tangan Anda menulis secara mengalir apa adanya. Adapun letakkan penyuntingan setelah proses penumpahan ide itu berakhir di belakang. Kesalahan dalam proses menulis itu hal biasa: adanya typo, penggunaan istilah yang salah, penggunaan huruf kapital dan tanda baca yang salah, hingga barangkali alur tulisan yang menyimpang dari keinginan. Lanjut saja menulis, benahi tulisan Anda di belakang agar tak menghambatnya. Sebab ada kekhawatiran jika proses penyuntingan sering kali dilakukan di tengah, maka tulisan tak kunjung selesai. Perlu diingat bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai, bukan tulisan yang mangkrak dan tak tahu hendak bagaimana harus dilanjutkan.

Kelima, ketakutan terhadap hasil. Psikolog kawakan, Sigmund Freud, pernah menyebutkan bahwa ada kondisi psikis yang kerap kali dialami oleh manusia yang disebut ketakutan neuritis. Kondisi itu dipicu oleh ketakutan terhadap sebuah objek di depan mata lalu otak merespon dengan bayangan-bayangan futuristik. Misalnya, ketika seseorang melihat seekor ular. Orang tersebut cenderung takut sendiri, ia khawatir ular itu akan mematuk lalu menyebarkan bisa beracun, padahal faktanya adalah ular tersebut hanya berdiam diri tidak menyerang, tidak melakukan apa-apa. Nah, kondisi yang disebut oleh Freud ini sering dialami oleh penulis pemula. Di mana ia merasakan kekhawatiran atau ketakutan yang tak pasti di hadapannya. Misalnya, selesai merampungkan sebuah naskah lalu ingin mengirim ke penerbit atau media besar. Ia berpikir jangan-jangan karya tulisnya tidak diterima oleh redaktur, jangan-jangan karya tulisnya akan mendapat kritik pedas dari pembaca dan sebagainya. Ketakutan semacam ini baiknya dihindari karena akan mengganggu produktivitas. Seorang penulis haruslah memiliki mental baja dan harus senantiasa siap bila mana karya tulisnya ditolak, dikritik, atau disangkal. Selamat mencoba untuk menulis !

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya