Lembaga Pendidikan dan Krisis Prioritas

Alumni IFTK Ledalero
Lembaga Pendidikan dan Krisis Prioritas 23/11/2022 541 view Pendidikan akuntansilengkap.com

Pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana dalam mewujudkan suasa belajar dan proses pembelajaran yang kondusif. Tujuannya adalah agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan kemampuannya dalam konteks spiritual keagamaan, pengontrolan diri, pribadi, memiliki kecerdasan, dan beraklak mulia.

Pendidikan dalam KBBI diartikan sebagai proses pembentukan daya pikir peserta didik dengan pengetahuan tertentu dan direfleksikan secara terus-menerus. Secara etimologis pedidikan berasal dari kata bahasa latin, ducere, berarti menuntun, mengarahkan, atau memimpin. Berlandaskan pengertian ini, pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan menuntun seseorang ke luar dari ketidaktahuan menjadi pribadi berpengetahuan dan berkarakter.

Di Indonesia pendidikan dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal, dan Pendidikan Informal. Pendidikan formal diatur berdasarkan jenjang atau tingkatan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini sampai tingkat Pendidikan Tinggi, sedangkan Pendidikan Nonformal tidak terdapat jenjang pendidikan. Biasanya, Pendidikan Nonformal dilaksanakan dalam lingkup kecil seperti taman baca, rumah baca, sekolah minggu dan sebagainya. Selain Pendidikan Formal dan Nonformal, Pendidikan Informal juga diterapkan tetapi prosesnya secara mandiri dan bertanggung jawab.

Dari ketiga kategori tersebut, pendidikan formal yang sangat mendapat perhatian. Tidak dapat dimungkiri berbagai masalah telah terjadi dalam sistem pendidikan ini, misalnya rendahnya kualitas pendidikan, anggaran pendidikan, tidak meratanya kesempatan berpendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan. Selain itu, rendahnya kualitas guru, tidak professional dalam menjalankan tugas guru, tingkat kesejahteraan guru yang relatif rendah, dan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru, juga menjadi masalah pendidikan formal masa ini.

Di samping masalah-masalah tersebut bangsa Indonesia juga sedang mengalami krisis prioritas dalam lembaga pendidikan. Hemat penulis, saat ini lembaga pendidikan cenderung mengarah kepada kepuasan dan keberhasilan intelektual semata. Para guru dan tenaga pendidik seakan dipaksa, agar dengan cara apapun dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki daya intelektual di atas rata-rata.

Berdasarkan observasi penulis, kebanyakan guru dan tenaga pendidik masih menggunakan metode menghafal. Metode ini dianggap sebagai metode yang cocok bagi peserta didik untuk meningkatkan daya intelektualnya. Ironi, menghafal bukanlah metode yang cocok dalam proses pendidikan. Menghafal dalam Hasanudin (2016) merupakan upaya memasukan informasi ke dalam ingatan. Informasi ini lebih cenderung bersifat oral atau dalam bentuk bunyi. Dalam proses menghafal terdapat perubahan informasi menjadi kode penyimpanan yang disebut coding. Bila diperlukan informasi tersebut dapat ditarik kembali, diubah kodenya menjadi format asal.

Akibat yang lahir dari kecendrungan mencari kepuasan dan keberhasilan intektual adalah pendangkalan karakter peserta didik. Beberapa tahun terakhir banyak kasus yang melibatkan pelajar, seperti tawuran antar pelajar, seks bebas, dan narkotika. Selain itu, kasus guru yang dimaki oleh pelajar sampai dengan penganiayaan dan pembunuhan guru oleh pelajar terus terjadi.

Berikut kasus yang dirangkum penulis berdasarkan informasi yang diperoleh media. Pada tahun 2019 terjadi pembunuhan guru oleh dua siswa asal Manado karena ditegur saat merokok di lingkungan sekolah. Pada tahun 2019 juga terjadi pemukulan guru yang adalah kepala sekolah oleh siswa di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, karena keterbatasan biaya pendidikan. Pada tahun 2020 terdapat kasus penganiayaan yang melibatkan tiga pelajar asal Fatuleu, Kabupaten Kupang, yang menganiyaya gurunya sendiri, karena ditegur belum mengisi absen kelas.

Kasus-kasus ini merupakan akibat dari pendewaan terhadap intelektual dan berujung pada pendangkalan karakter peserta didik. Akibatnya, peserta didik semakin jauh dari tujuan dirinya memperoleh pendidikan, ia semakin menjadi pribadi yang absurd, terpecah-pecah dan kehilangan identitas dirinya.

Upaya peminimalisasian tentu tidak keluar dari konteks lembaga pendidikan itu sendiri. Hemat penulis, mesti ada rekonstruksi kembali dalam sistem lembaga pendidikan kita. Rekonstruksi tersebut meliputi rekonstruksi aturan dalam lembaga pendidikan, rekonstruksi komunikasi sosial, dan rekostruksi bentuk-bentuk pemahaman akan pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan. Tiga hal tersebut diuraikan penulis sebagai berikut.

Rekonstruksi aturan dalam lembaga pendidikan. Aturan-aturan dalam setiap lembaga pendidikan mesti ditinjau kembali. Peninjauan ini berfungsi agar aturan yang tidak relevan dalam sebuah lembaga dapat direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan peserta didik. Aturan-aturan tersebut mesti didiskusikan bersama warga sekolah dan orang tua wali peserta didik serta diterapkan secara konsisten.

Rekonstruksi komunikasi sosial. Komunikasi sosial yang dimaksudkan adalah pembiasaan yang baik dalam etika berinteraksi dan berkomunikasi antar guru, murid, dan orang tua. Komunikasi ini juga bersifat timbal balik baik antara guru dan murid, guru dan orang tua, maupun murid dan orang tua. Hal ini diterapkan agar terhindar dari miskomunikasi antara warga sekolah dan orang tua yang cenderung berujung pada kekerasan verbal dan fisik.

Rekostruksi bentuk pemahaman akan pendidikan karakter. Pendidikan karakter memuat dua hal, yakni penanaman nilai kebajikan dan pembentukan kepribadian. Penanaman nilai ini bertujuan agar peserta didik dapat bertindak secara pasti berdasarkan nilai-nilai luhur tersebut, sedangkan pembentukan kepribadian, seperti tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat yang didasarkan oleh norma dan etika bertujuan agar peserta didik mampu menerapakan perilaku terpuji sesuai dengan konteks kultural setempat. Pendidikan karakter ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi tanggung jawab keluarga atau orang tua sebagai tempat pertama anak memperoleh pendidikan.

Akhirnya, lembaga pendidikan yang dimaksud bukalah satu-satunya tempat pembentukan karakter peserta didik. Lembaga pendidikan hanya menjadi wadah pembentukan sekunder setelah orang tua dalam keluarga. Oleh karena itu, orang tua mesti menjadi fondasi pertama dan utama dalam pembentukan karakter anak. Dengan demikian, krisis prioritas ini dapat terminimalisasi bila adanya keseimbangan antara kepuasaan intelektual dan pembentukan karakter yang terpuji.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya