Lagu-Lagu Penindasan

Admin The Columnist
Lagu-Lagu Penindasan 01/12/2019 3386 view Catatan Redaksi Pexel.com

Tuan-tuan pembaca tentunya sudah lama tahu. Ada banyak lagu tentang penindasan. Mayoritasnya tembang lawas dengan latar belakang jaman kolonial. Hal ini membuat kita merasa bahwa peristiwa "penindasan" amat jauh dari kehidupan kita. Baik ruang maupun waktu.

Tembang lawas, mestilah bercerita tentang peristiwa masa lalu.. bukan?

Sebetulnya ada banyak lagu kekinian yang bercerita penindasan kekinian pula. Amat dekat demgan kehidupan kita. Bahkan bisa jadi bercerita tentang penindasan-tak-disadari yang menimpa diri saya dan tuan-tuan pembaca. Asalkan satu syarat, ada sedikit kemauan untuk mencermati konteks lagu tersebut.

"Ya Sudahlah", Bondan Prakoso dan Fade2Black punya lagu. Bercerita tentang kesetiakawanan. Bila seorang diantara kita menghadapi persoalan, jangan khawatir. Kawan-kawan lain akan menguatkan. Demikian pesannya.

Namun apa jadinya jika lagu itu dinyanyikan pada waktu, tempat, dan oleh komunitas yang khusus? Maknanya menjadi lain sama sekali.

Sebuah sore menjelang maghrib, di hari minggu. Saat orang-orang mulai mengakhiri hari rehatnya, bersiap menghadapi senin. Hari di mana kerja keras selama seminggu ke depan akan dimulai.

Di sekitaran daerah wisata, komunitas pekerja migran menyanyikan lagu ini. Dan sejarah mereka sudah mengubah makna lagu itu.

Lagu itu dinyanyikan oleh sebagian korban pembangunan. Orang-orang yang tanah milik masyarakatnya dirampas oleh pembangunan.

Tanah, bagi sebagian besar masyarakat, sesungguhnya bernilai sosial. Di atasnya mereka hidup, berbagi, dan saling menguatkan melalui norma-norma tertentu.

Resiprositas. Sebuah istilah yang menggambarkan masyarakat yang saling memberi percuma di antara mereka. Seseorang memberi hadiah hasil buminya kepada orang lain. Tentunya dengan segenggam senyum. Dan di saat lain, ia pula yang menerima pemberian balasan dari orang lain itu.

Kehidupan mereka tak dikontrol oleh hasrat mencari untung. Bekerja di kebun dan sawah adalah demi, salah satunya, memenuhi hasrat komunal. Agar bisa berbagi dengan warga lainnya.

Tapi ketika tanah diambil, bersama dengan itu pula kehidupan sosial mereka ambruk. Bahkan terancam oleh lapar. Satu-satunya hal yang kini dihadapi adalah bagaimana cara bertahan hidup.

Mereka dipaksa pergi mencari sumber mata pencaharian baru. Jauh merantau sampai ke negeri asing. Bekerja sebagai karyawan perusahaan, menjadi buruh pabrik.

Di sana mereka sudah tak bekerja karena ingin bekerja. Atau berbagi dengan orang lain. Melainkan terpaksa untuk membiayai hidup.

Di negeri asing nun jauh dari desa. Mereka bertemu dengan orang-orang senasib. Perasaan senasib itu menjadi tali pengikat. Norma-norma komunal yang dulu pernah dimiliki, muncul memperkuat ikatan itu.

Maka coba tuan-tuan bayangkan, bagaimana perasaan yang menjalar di hati ketika mendengar mereka bernyanyi lagu "Ya Sudahlah" menjelang malam di akhir minggu.

"ja...ngan..lah kau bersedih..., cause everything's gonna be okay...". Jangan bersedih kawan. Meski tersingkir oleh pembangunan, kita meski saling menguatkan.

Lagunya Iwan Fals lain lagi. "Berandal Malam Di Bangku Terminal", ia punya judul. Sebuah lagu lama. Lirik-liriknya mampu menceritakan perasaan orang tertindas, namun tak mampu melawan.

Sebuah lagu yang membawa ingatan saya terbang ke sebuah daerah tempat banyak perusahaan multi nasional berkumpul. Di daerah Jawa Barat sana.

Pada sebuah malam, hampir tengah malam. Bertemulah saya dengan seorang buruh. Ia memborong berbotol-botol minumam energi biar kuat kerja lembur, sampai pagi.

Sebagaimana lazimnya buruh yang bekerja di pabrik, tak ada yang sukarela meninggalkan desanya. Apalagi untuk bekerja mati-matian menguras tenaga. Dan sering pula diakal-akali perusahaan supaya tak punya hak menjadi karyawan tetap, "kamu masih kurang syarat ini dan itu...".

Buruh yang malam itu saya jumpai, tertindas tapi belum bisa sepenuhnya berjuang mendapatkan haknya, pulang ke desa dan mendapatkan kembali tanah-tanah komunalnya. Persis seperti lirik Berandal Malam Di Bangku Terminal, "..sampai kapan, engkau akan bertahan.. dicaci langit, tak mampu menjerit".

Miris betul nasib para buruh. Dieksploitasi. Menjeritpun tak kuasa. Seolah satu-satunya yang bisa dilakukan hanya pasrah. Terima saja situasi ini.

Mungkin dua lagu itu masih terlalu jauh dari keseharian tuan-tuan pembaca. Baiklah. Sekarang coba dengarkan lagu "Bola Raya"-nya Silampukau.

Dulu saya tak pernah berpikir. Apanya yang salah dengan main bola di jalan raya.

"Kami main bola, di jalan raya.. Beralaskan aspal, bergawang sandal.. Tak peduli ada yang mencela.. Terus berlari mencetak angka..".

Saya menikmati main bola di jalan aspal. Demikian pula teman-teman sebaya. Dan saya kira tak ada yang keliru dari itu. Kalaupun ada, hanya kaki yang sobek beberapa kali. Luka karena tak sengaja tersepak pecahan batu kerikil aspal. Lebih dari itu, rasa-rasanya tak ada yang salah.

Sampai Silam Pukau seakan berbisik di dada saya. "Mengapa tidak main di lapangan bola rumput? Apakah lantaran tanah lapang untuk bermain bola sudah berganti bangunan komersil?".

"...tanah lapang kami berganti gedung, mereka ambil untung, kami yang buntung...".

Ahh... rupa-rupanya, sedari kecil pun saya sudah ditindas. Sialnya, itu tak disadari.

Demikianlah sinisnya lagu itu kepada saya. Membuat dada ini seolah mendengar ucapan lirih. "Sial betul nasib mu. Sejak kecil ditindas, tapi tak sadar.. Melawan pun tidak".

Kalau mau dilanjutkan, masih ada banyak lagu-lagu yang bercerita tentang penindasan. Persoalannya cuma satu. Kita merasa lagu-lagu itu dibuat untuk menceritakan nasib sial orang lain.

Padahal, jika sedikit saja berusaha memahami latar persoalannya, kesimpulannya menjadi berbeda. Tak sedikit dari lagu-lagu penindasan itu yang bercerita tentang diri kita.

Jadi, dengarlah kembali lagi lagu-lagu itu. Dan simpulkan sendiri, apakah diri tuan-tuan sedang tertindas, ataukah justru menindas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya