Kurang Membuminya Ilmu Sosial Humaniora di Indonesia

Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM dan Kabid PA HMI Cabang Bulaksumur Sleman
Kurang Membuminya Ilmu Sosial Humaniora di Indonesia 13/07/2024 414 view Pendidikan pantau.or.id

Sosial media Indonesia akhir-akhir ini dihiasi dengan fenomena konten edukatif dari Ruang Guru yang bernama clash of champions. Pada tayangan tersebut, terdapat kompetisi yang diikuti oleh perguruan tinggi ternama. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tayangan tersebut juga dihiasi dengan aksi adu kecerdasan dari beberapa mahasiswa dalam hal hitungan dan menghafal.

Berangkat dari konten tersebut membuktikan bahwa, konten edukatif dapat dikonsumsi masyarakat. Namun, dalam konten tersebut terdapat pandangan lain dalam perspektif ilmu dan pengetahuan. Tayangan clash of Champions ini terkesan hanya menggunggulkan pada kompetansi ilmu eksakta yang memiliki sifat mutlak. Sedangkan, pada perspektif ilmu sosial humaniora yang memiliki kesan reflektif dan kritis. Keberadaan tayangan tersebut tidak menunjukan keunggulan pada kompetensi ilmu sosial humaniora. Tayangan edukatif yang tidak menggunggulkan ilmu sosial humaniora ini membuat perkembangan ilmu tersebut menjadi macet.

Padahal Indonesia sebagai bangsa yang cukup besar dengan beragam fenomena sosial. Sudah semestinya perkembangan ilmu sosial humaniora dibutuhkan. Sebagai ilmu yang memiliki sifat reflektif dan kritis, keberadaan ilmu sosial humaniora dibutuhkan sebagai penyeimbang fenomena sosial yang terus berkembang. Konten edukatif selayaknya milik Ruang Guru seharusnya dapat diperbanyak dengan menyentuh ilmu sosial humaniora.

Terlebih lagi sekarang ini, Indonesia sedang menghadapi sebuah permasalahan sosial. Di antaranya, problem pendidikan dan ekonomi, kebijakan pengelolaan lingkungan, kekerasan seksual dan pernikahan dini. Sudah semestinya permasalahan sosial tersebut dapat ditanggulangi dan dikaji dengan pendekatan reflektif dan kritis pada ilmu sosial humaniora.

Berdasarkan permasalahan tersebut, seharusnya ilmu sosial humaniora menunjukan eksistensinya. Terutama dalam menumbuhkan opini dan argumentasi terkait dengan reflektif dan kritis pada permasalahan sosial yang bersangkutan. Berkaca pada respon netizen pada konten clash of champions, kebanyakan netizen merasa tidak puas karena konten tersebut dianggap hanya ajang gengsi-gengsi mahasiswa yang berkuliah. Respon tersebut membuat konten clash of champions yang seharusnya edukatif malah dianggap sebagai konten pamer kuliah. Argumentasi tersebut, dapat diyakini merupakan bentuk argumentasi yang dilontarkan oleh orang yang tidak mampu menggapai dunia perkualiahan. Dari fenomena sosial tersebut menjadikan bukti bahwa, ilmu sosial humaniora membutuhkan ruang untuk membumi dalam kerangka diskursus.

Dari konten clash of champions, terdapat sebuah perspektif gelap yang memandang bahwasanya, ilmu dan pengetahuan yang didapatkan dalam dunia pendidikan dianggap omong kosong belaka. Adanya perspektif gelap tersebut, merupakan objek kajian ilmu sosial humaniora. Ilmu tersebut perlu untuk bergerak membumi dengan memberikan perspektif pembeda yang kritis dan logis untuk mencerdaskan publik. Jika argumentasi dari perspektif gelap dibiarkan maka akan menjadi bencana pengetahuan. Dari fenomena sosial tersebut dapat dipahami bahwasanya, ilmu sosial humaniora merupakan alat pencegah bencana pengetahuan.

Secara psikoanalisis, manusia merupakan makhluk yang abstrak dan membutuhkan adanya pengaruh dalam membentuk pola pikir. Sumber daya manusia Indonesia, merupakan subjek dari makhluk abstrak itu sendiri. Adanya keabstarakan ini membuat sumber daya manusia cenderung mengikuti arus pada kontrol tertentu. Terlebih lagi di Indonesia pengetahuan dan ilmu dalam dunia pendidikan hanya dimanfaatkan sebagai media kompetitif. Akibatnya, kebutuhan sumber daya manusia dalam hal reflektif dan krittis tidak kuat. Selain itu, sebagai manusia abstrak masyarakat Indonesia cenderung menggunakan terdoktrin pada tolok ukur pemikiran manusia yang dianggap cerdas ketika mampu menghafal dan menghitung.

Keluar dari hal tersebut, masyarakat Indonesia perlu adanya sebuah diskursus yang kelak menjadi dasar pemikiran ontologi ilmu sosial humaniora. Ironisnya sejarah perkembangan pola pikir masyarakat Indonesia sejak dahulu tidak berorientasi pada ilmu sosial humaniora. Melainkan masyarakat dipaksa untuk memahami ilmu eksakta yang mutlak dengan tujuan pembangunan. Hal ini membuat ilmu sosial humaniora tidak mendapatkan keadilan di masyarakat khususnya dalam membentuk pola pikir.

Perbandingan ilmu eksakta dan ilmu sosial humaniora bagaikan bumi dan langit. Ilmu eksakta selalu dipuji-puji sebagai ilmu yang selalu memberikan kepastian mutlak. Sedangkan, ilmu sosial tidak cukup diminati karena pemahamanya cenderung berubah seiring dengan perkembangan zaman dan basis permasalahan. Dari perbandingan tersebut, posisi masyarakat Indonesia tidak menunjukan keseimbangan. Dengan pola pikir menghindari masalah, masyarakat Indonesia mengabaikan ilmu sosial humaniora.

Berangkat dari kedua perbandingan tersebut, sudah semestinya ilmu sosial perlu dibumikan dan diberikan ruang kepada publik. Baik secara konten edukatif dan lain sebagainya. Berdasarkan pada judul opini ini yang sekaligus menjadi tesis dari penulis. Sudah semestinya ilmu sosial humaniora diperhatikan oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan. Perhatian ini dibutuhkan untuk menjalin relasi negara dan masyarakat. Negara memiliki peran sebagai kelas produksi pengetahuan. Sedangkan, masyarakat merupakan kelas yang menjadi objek pijakan perkembangan ilmu sosial.

Orientasi Pembangunan

Fenomena sosial di Indonesia yang masih menjadi penyakit ialah, kurang membuminya ilmu sosial humaniora. Akibat utama tidak membuminya ilmu sosial dikarenakan Indonesia masih cenderung berorientasi pada pembangunan fisik bukan sumber daya manusia. Sejak Indonesia merdeka, pada intelektual-intelektual Indonesia kebanyakan di kirim ke penjuru dunia untuk belajar aspek ilmu sains dan teknologi. Sedangkan, pada aspek ilmu sosial humaniora masih minim. Sebagaimana esensi dari pembangunan ialah menciptakan perubahan. Sejak dahulu pemerintah Indonesia selalu menginginkan perubahan itu dalam bentuk fisik. Dengan perubahan fisik tersebut, peran ilmu eksakta mampu memberikan jawaban mutlak.

Dengan mempertanyakan ilmu sosial humaniora, pemerintah sejak dahulu mendiskriminasikan tidak memiliki pandangan serius. Walaupun sama-sama berorientasi pada pembangunan. Ilmu sosial humaniora mampu memberikan perspektif lain dalam hal sosial. Meliputi peranan pengawasan pembangunan, tinjauan dimensi etis, dan perdebatan pola logika dari pembangunan itu sendiri. Namun, perspektif itu sia-sia karena sejak dahulu ilmu sosial humaniora seolah-olah hanya sebatas pengetahuan budaya.

Imbasnya, seiring berjalanya waktu sumber daya manusia di Indonesia justru semakin rendah kualitasnya. Dengan latar belakang masyarakat mengingin sesuatu pengetahuan yang pasti dan tidak bisa diperdebatkan. Hal ini membuat masyarakat tidak siap dengan keadaan kehidupan bermasyarakat yang penuh ketidakpastian. Hal Selain itu, masyarakat juga sering menggunakan pola pikirnya hanya sebatas pada hafalan dan tidak mempedulikan diskursus konteksual.

Berbanding terbalik ketika ilmu sosial humaniora ketika membumi. Dikala ilmu sosial humaniora membumi, masyarakat akan terbiasa menggunakan pemahaman kognitif yang terlintas dari perbedaan pikiran. Dengan munculnya beragam perdebatan tersebut, masyarakat akan terbiasa untuk berdialektika guna mempertajam kualitas sumber daya manusia. Bahkan, masyarakat juga dapat menentukan sendiri keyakinan pembenaran yang diyakini.

Ilmu Sosial Humaniora Bukan Sebatas Retorika

Anggapan lain terkait dengan ilmu sosial humaniora di mata masyarakat ialah, ilmu yang memiliki kesan ndakik-ndakik. Kesan ini menunjukan bahwasanya, ilmu sosial humaniora hanya sebatas omongan. Masyarakat berkeyakinan ilmu sosial humaniora itu mendakik-ndakik karena masyarakat tidak memahaminya secara makna. Melainkan masyarakat hanya mengandalkan hasil dari akhir argumentasi tersebut. Akibat tidak membuminya ilmu sosial humaniora. Masyarakat akan menjadi fanatik pada keyakinan mutlak yang terkadang tidak jelas.

Masih berada dalam tesis kurang membuminya ilmu sosial humaniora. Argumentasi pendukung yang dapat diyakini ialah karena kebijakan politis pemerintahan itu sendiri. Masyarakat yang terbiasa menghadapi pemerintah hanya sebatas omong-omong. Terlebih lagi pemerintah itu sendiri cenderung berpendidikan tinggi dan dianggap kurang membumi. Akibatnya ilmu sosial humaniora terdampak dan tidak membumi.

Dari pemaparan di atas sudah saatnya ilmu sosial humaniora harus membumi. Kehidupan masyarakat tanpa ilmu sosial humaniora membuat kualitas sumber daya manusia itu akan rendah. Bahkan, jika ilmu sosial humaniora tidak membumi bencana pengetahuan akan terjadi dalam satu kesatuan waktu. Permasalahan ini harus diberantas dengan perlunya perhatian pemerintah pada sumber daya manusia yang berpendidikan sosial humaniora. Dengan perhatian tersebut masyarakat yang abstrak akan terdoktrin dan ilmu sosial humaniora akan berkembang.

Pemerintah juga harus menegakan pemahaman yang keliru. Ilmu sosial humaniora cenderung menghasilkan retorika. Adanya retorika ini bukan berarti tidak diperhatikan dan dikoreksi argumenya. Adanya hasil berupa retorika dari ilmu sosial humaniora akan menimbulkan pemahaman kritis dan logis. Di sinilah tendensi utama ilmu sosial humaniora. Dengan kebutuhan masyarakat terkait pola pikir logis dan kritis. Sudah semestinya Indonesia menggalakan dukungan pada ilmu sosial humaniora itu sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya