Kuasa Pemodal dan Jeritan Masyarakat
Kurun sebulan belakangan publik tanah air kerap disuguhi beragam kabar duka. Dimulai dari berita meninggalnya 100 dokter akibat ganasnya covid-19, kasus positif corona yang terus menunjukan grafik kenaikan hingga Indonesia yang menyandang status sebagai negara dengan kasus kematian covid-19 tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Mendengar informasi itu dengan kepedihan paling dalam saya menyampaikan duka cita atas gugurnya tenaga medis dan masyarakat dalam berperang melawan covid-19 sembari menaruh harapan semoga dunia lekas pulih dan segera keluar dari kekangan pandemi.
Tanpa menafikan duka masyarakat dan tenaga medis akibat terpaan pandemi, saya juga turut berbela sungkawa atas jeritan masyarakat adat, petani, dan nelayan akibat kerakusan pemodal yang merampas hak dan ruang hidup mereka. Bagaimana tidak, sorotan publik sepekan mengarah pada konflik antara rakyat jelata melawan kuasa pemodal yang menindas.
Rekam jejak peristiwa bisa disaksikan dari kasus yang menimpa Effendi Buhing ketua adat Kinipan, Kalimantan Tengah dan beberapa nelayan di Makassar. Pada Tanggal 26 Agustus, Effendi Buhing, ketua Adat Kinipan diseret secara brutal oleh aparat kepolisian. Buhing dituduh mencuri gergaji milik PT Sawit Mandiri Lestari (SML) yang beroperasi diareal hutan adat Kinipan.
Sehari sebelumnya, kasus serupa menjerat beberapa nelayan di Makassar yang dikriminalisasi disertai pengrusakan perahu oleh polisi. Manre salah satu nelayan telah ditetapkan sebagai tersengka dengan sangkaan merobek uang yang diberikan oleh perusahaan. Para nelayan menilai uang itu merupakan bentuk sogokan perusahan untuk menjinakkan perlawanan nelayan dalam menolak operasi tambang.
Tindakan represif aparat dalam menangkap masyarakat adat, petani, dan nelayan dalam mempertahankan hak dan ruang hidupnya tidak dapat dibenarkan. Sebab fungsi primer aparat adalah mengayomi dan melindungi masyarakat dari ancaman manapun, tak terkecuali ancaman korporasi. Jika menilisik kasus tersebut, makin nampak letak keberpihakan negara melalui aparat lebih berpihak pada kepentingan akumulasi korporasi.
Korporasi selaku entitas dalam sistem kapitalisme terus menunjukan taring dalam dinamika ekonomi-politik masyarakat lokal. Ia hadir bak neraka yang menghanguskan multisektor kehidupan masyarakat. Baik kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya digerus oleh kuasa korporasi. Alhasil perlawanan masyarakat merupakan suatu keniscayaan dalam merespon kehadiran korporasi.
Antroplog Ekonomi, Karl Polanyi mengatakan, bilamana kapitalisme melebarkan sayapnya maka eskalasi perlawanan masyarakat lokal terus meningkat. Sebab kehadiran kapitalisme mengabaikan kehidupan masyarakat lokal yang masih terikat dengan identitas kultural.
Kehadiran kapitalisme menceraikan kehidupan masyarakat selaku produsen langsung dengan sarana produksi yang meliputi lahan dan tanah garapan. Proses pemisahan tersebut tidak dilalui dengan skema yang persuasif, tapi dengan tindakan brutal yang melahirkan luka, tetesan darah, bahkan hilangnya nyawa. Polanyi sebut sebagai “penghancuran paripurna kehidupan sosial tradisional” dengan memutuskan akses masyarakat terhadap alam sebagai sumber kehidupan.
Hal demikian pada akhirnya mendesain masyarakat menjadi proletar atau cadangan tenaga kerja upahan yang mencurahkan segala potensi diri mereka kepada kapitalis. Sebagaimana dicuitkan Max Weber “tersedianya pasokan tenaga kerja (proletariat), yaitu orang-orang yang terlepas dari tatanan tradisional, termasuk bebas dari sarana produksinya (tanah, lahan garapan, laut, dll) merupakan prasyarat ekspansi kuantitaif kapitalisme”.
Oleh sebabnya, ekspansi kapitalisme kerap diawali dengan perampasan, penggusuran, pengkaplingan, klaim sepihak atas tanah, dan bermacam skema yang meminggirkan masyarakat dari ruang hidup mereka. Sehingga satu-satunya jalan yang ditempuh oleh masyarakat untuk bertahan hidup adalah menggantungkan nasib kepada kapitalis dengan menjadi tenaga kerja upahan. Hal demikian bertentangan dengan spirit masyarakat lokal yang terkoneksi dengan alam di mana mereka menjadikan alam sebagai tumpuan kehidupan.
Masyarakat adat Kinipan dan nelayan di Makassar merupakan entitas masyarakat yang hidup bergantung dengan alam. Mereka memandang alam sebagai subjek yang setara, hidup, dan memberi kehidupan. Mereka adalah komunitas ekologi. Henryk Skolomousky melukiskan komunitas ekologi adalah komunitas yang dekat dengan alam dan memosisikan alam sebagai subjek.
Komunitas ini berbeda dengan masyarakat modern “kapitalisme” yang rakus komodifikasi dan melihat alam sebagai objek yang terus dieksploitasi. Pun ekspansi kapitalisme kerap mengabaikan kepentingan esensial masyarakat; kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan hilangnya ruang hidup masyarakat.
Oleh karenanya, melihat pelbagai persoalan yang menerpa rakyat selaku entitas yang berdaulat, maka negara perlu hadir untuk membasuh jeritan rakyat dengan regulasi yang berpihak pada rakyat. Maka pertanyaan kemudian, lantas sejauh mana peran negara dalam merespon jeritan rakyat atas kuasa kapitalis?
Peran Negara
Negara selaku otoritas yang mengakomodasi kepentingan publik kini fungsinya mengalami distorsi. Di mana kepentingan korporasi “investasi’ menjadi proritas dalam pengambilan keputusan sementara rakyat yang seharusnya dilindungi tidak menjadi basis dalam perumusan kebijakan.
Sebagaimana laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat konflik agraria terutama di sektor perkebunan terus mengalami peningkatan. Hal itu disebakan oleh mudahnya pemerintah memberikan izin usaha perkebunan melalui penerbitan izin lokasi dan HGU.
Lebih lanjut, KPA mencatat dalam arena konflik agraria, Pemerintah memandang masyarakat sebagai ancaman, pelaku kriminal, dan pembalak liar, tanpa melihat latar belakang konflik yang bermula dengan perampasan lahan milik petani. Rakyat selalu salah dan kalah jika berhadapan dengan kapitalis junto negara yang mempunyai kekuatan maha dasyat (hard power.)
Negara dalam konteks ini telah menjelma menjadi “state capture” menjadi alat kepentingan korporasi. Dalam konsepsi Joel S Hellman, “state capture” merupakan pola relasi antara korporasi dengan negara di mana korporasi dengan kekuatan kapital membajak entitas birokrasi dengan orientasi yang melanggengkan kuasa atas kapitalnya. Sehingga korporasi kian berjaya sementara rakyat terus menderita.
Negara harus beralih dan berjarak dengan korporasi serta menjadikan rakyat sebagai tumpuan regulasi. Sebab, bilamana korporasi terus diberikan kuasa maka keadilan dan kesejahteraan rakyat hanyalah sebuah fatamorgana.
Artikel Lainnya
-
110923/01/2021
-
77114/11/2022
-
150031/05/2020
-
Membaca Fenomena Klitih di Yogyakarta
146502/07/2021 -
Silang Pendapat Hadapi Pandemi Cermin Komunikasi yang Buruk Pemerintahan Jokowi
279412/04/2020 -
Indonesia Maju 2045 : Potensi Dampaknya Terhadap Perekonomian Global
52323/12/2023