Kolaborasi Mengakhiri Persoalan Sampah

Fulltime-Pembelajar
Kolaborasi Mengakhiri Persoalan Sampah 06/02/2022 764 view Lainnya vchal/Getty Images/iStockphoto

Sampah telah menjadi permasalahan berat secara global. Baik negara maju maupun berkembang, permasalahan ini menjadi perhatian serius yang diupayakan untuk diselesaikan.

Ironisnya, dampak permasalahan sampah disebabkan oleh kebiasaan manusia itu sendiri. Hampir semua barang yang digunakan manusia dalam sehari-harinya dapat menghasilkan sampah, terutama sampah plastik. Jika satu orang setiap harinya menghasilkan satu sampah, kemudian hal tersebut dilakukan oleh semua manusia yang ada, maka dapat dibayangkan berapa banyak sampah yang dihasilkan oleh manusia di seluruh dunia setiap harinya.

Bank Dunia telah mencatat bahwa hanya dari beberapa kota di dunia saja, sampah yang dihasilkan dapat mencapai 1,3 miliar ton per tahun. Jumlah ini dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya, bahkan diprediksi mencapai dua miliar ton per tahun.

Fakta lain tentang permasalahan sampah disampaikan melalui data-data yang didapatkan oleh Brightside.me, bahwa selama masa hidup per satu orang telah membuang sampah sebanyak 64 ton ke tempat pembuangan. Setiap detik sebanyak 694 botol plastik telah dihasilkan. Setiap hari sebanyak 100 juta sampah kaleng baja atau alumunium yang dihasilkan.

Kondisi Sampah di Indonesia

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan bahwa setiap tahunnya negara dengan 270 juta penduduk ini menghasilkan sampah plastik sebanyak 67,8 ton atau 185.753 ton sampah plastik setiap harinya. Tidak heran, dengan tingginya angka produksi sampah tersebut, menjadikan Indonesia sebagai tiga besar negara penghasil sampah plastik terbanyak di dunia.

Jika diruntut dari penyebabnya, permasalahan sampah di Indonesia diakibatkan oleh sebuah siklus yang dari dulu hingga sekarang belum dapat diputus. Siklus permasalahan sampah tersebut terdiri dari empat hal, yaitu perilaku konsumtif masyarakat, tidak terkendalinya barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan yang tidak ramah lingkungan, kebiasaan buruk masyarakat dalam mengelola sampah, dan kebijakan yang tidak efektif dari pemerintah.

Perilaku konsumtif dimengerti sebagai perilaku yang didasari atas rasa keinginan dengan alasan yang tidak rasional lagi. Perilaku ini lebih menitikberatkan akan keinginan dibandingkan dengan kebutuhan. Masyarakat yang memiliki perilaku konsumtif akan berupaya untuk memenuhi keinginannya yang didasari oleh alasan yang dibuat-buat yang seakan-akan keinginan tersebut menjadi sebuah kebutuhan.

Sekarang ini, hampir semua barang dikemas dalam plastik, baik kemasan langsung atau tas plastik. Banyaknya barang berplastik yang dibeli oleh masyarakat jelas akan meningkatkan jumlah atau volume sampah yang beredar di masyarakat.

Penyebab permasalahan sampah di Indonesia yang kedua yaitu perusahan-perusahan penghasil kemasan plastik. Tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap suatu barang, berbanding lurus dengan tingkat produksi atas barang tersebut oleh perusahaan penyedia. Sayangnya, barang-barang yang dihasilkan kebanyakan memiliki komponen plastik atau jenis lain seperti kardus, gabus, alumunium, dan lain-lain.

Greenpeace Indonesia pada tahun 2016 dan tahun 2017 melakukan riset di beberapa kota di Indonesia untuk mengetahui produsen yang paling banyak menyumbang sampah untuk Indonesia dan mencari solusi untuk permasalahan sampah. Tahun 2016 didapatkan hasil bahwa sampah yang beredar, yaitu botol plastik yang paling banyak menyumbang sampah untuk Indonesia adalah Teh Gelas, yaitu sebesar 11%, diikuti oleh Aqua dengan persentase 9%, Ale-ale sebesar 6,1%, Vit 4,9%, dan 69% lainnya berasal dari merek lain atau tanpa merek. Kemudian, pada tahun 2017, Greenpeace melakukan penelitian di lima kota besar di Indonesia, yaitu Padang, Pekanbaru, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Penelitian tersebut menghasilkan data bahwa Unilever merupakan produsen yang paling banyak menghasilkan sampah untuk Indonesia yaitu sebesar 7,05%, kemudian Indofood sebesar 6,99%, Wings sebesar 4,75%, OT sebesar 3,19%, Mayora 2,16%, dan merek lain atau tanpa merek sebesar 75,86%.

Titik ketiga dalam siklus permasalahan sampah adalah buruknya perilaku masyarakat dalam mengelola sampah. Salah satunya adalah aktivitas membuang sampah sembarangan yang sangat umum terjadi di Indonesia. Hampir di sepanjang jalan di Indonesia, kita dapat melihat sampah berserakan.

Masyarakat Indonesia juga masih salah dalam melakukan pengelolaan sampah. Masih banyak masyarakat Indonesia yang dengan sengaja membakar sampah yang telah dikumpulkan. Padahal, kegiatan yang salah tersebut dapat menyebabkan permasalahan-permasalahan lainnya seperti polusi udara, hujan asam, dan munculnya penyakit pernapasan pada manusia.

Permasalahan terakhir yang memperparah permasalahan sampah di Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang seringkali tidak pas atau efektif. Indonesia memiliki peraturan sendiri terkait pengelolaan sampah, yang membuktikan bahwa permasalahan sampah di Indonesia menjadi permasalahan serius yang harus segera diselesaikan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah merubah paradigma tentang sampah. Pada awalnya sampah hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna dan harus dibuang. Setelah UU tersebut dikeluarkan, paradigma yang berubah adalah sampah merupakan suatu hal yang berguna apabila dikelola dengan baik.

Akan tetapi, hampir 14 tahun berjalan, rupanya kebijakan tersebut masih belum efektif untuk mengatasi permasalahan sampah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih belum menunjukkan komitmen serius dan strategis dalam pengelolaan sampah. Visi bahwa pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70% pada 2025 belum dimasifkan ke seluruh daerah melalui pemerintah daerah.

Kolaborasi Kunci Solusi Permasalahan Sampah

Tidak ada jalan lain untuk mengatasi permasalahan sampah selain kolaborasi dari berbagai sektor. Baik pemerintah, swasta, industri, maupun masyarakat, semuanya harus keroyokan untuk menghentikan siklus permasalahan sampah.

Kolaborasi sektor pemerintahan atau collaborative governance merupakan aktivitas yang harus dilaksanakan secara sistematis, jelas, dan terarah, serta harus selalu dimonitor dan evaluasi. Di tingkat kementerian, harus ada kolaborasi yang aktif untuk mengatasi permasalahan sampah, utamanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Kemudian, secara vertikal, pemerintah pusat hingga pemerintahan paling bawah yaitu pemerintah desa, wajib bersinergi, berdiskusi bersama, dan mencari solusi bersama untuk mengatasi permasalahan di masing-masing wilayahnya yang pada akhirnya akan berdampak secara nasional.

Gotong royong mengatasi sampah juga bisa dilakukan dengan melibatkan perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi yang memberikan tawaran solusi untuk mengatasi permasalahan sampah. Misalnya, Universitas Gadjah Mada yang menyampaikan lima solusi mengatasi sampah, antara lain mengubah sampah menjadi energi listrik, sampah plastik sebagai bahan pembuat aspal, daur ulang sampah berdaya guna dan bernilai ekonomis, mobil bertenaga sampah, dan prototipe aplikasi jual beli sampah.

Semua solusi tersebut telah diuji dan bahkan mendapatkan penghargaan. Selain inovasi atau hasil penelitian, kampus merupakan sektor penting dalam upaya menciptakan generasi yang sadar akan kesehatan lingkungan. Melalui penciptaan ekosistem peduli lingkungan, kampus-kampus di Indonesia dapat menerapkan kebijakan yang mengikat civitas-nya agar lebih perhatian untuk menjaga lingkungan dengan mengelola sampah dengan baik dan benar.

Munculnya berbagai startup di Indonesia menjadi kesempatan untuk menambah jumlah personil dalam kolaborasi mengatasi permasalahan sampah. Salah satu startup yang berfokus pada pengolahan sampah plastik yaitu PlusTik yang menciptakan inovasi dengan mengubah sampah plastik menjadi eco plank berupa kacamata.

Produk tersebut merupakan kolaborasi antara PlusTik dengan Sprite, salah satu merek minuman ternama dari PT. Cola-Cola. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa berbagai elemen termasuk perusahaan penghasil sampah itu sendiri mencoba untuk mengurangi dampak dari permasalahan sampah dengan cara mengolah sampah menjadi barang yang bernilai.

Sekarang berbagai pihak telah bergerak untuk mengatasi permasalahan sampah dengan berbagai kreativitas dan inovasi masing-masing. Hal tersebut harus dintegrasikan karena permasalahan ini merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensi.

Siklus permasalahan sampah dapat diatasi mulai dari komitmen pemerintah dalam menegaskan peraturan yang telah dikeluarkan. Hulu sampai hilir harus jelas dalam peraturan untuk mengefektifkan kolaborasi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta, industri, perguruan tinggi, hingga masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya