Koalisi Elite versus Demokrasi dari Bawah

Alumni STFK Ledalero, Guru SMAK Fransiskus Saverius Ruteng, Flores
Koalisi Elite versus Demokrasi dari Bawah 10/08/2020 1974 view Opini Mingguan kompasiana.com

Pertanyaan tentang apa itu demokrasi senantiasa mengerucut pada soal siapa yang mengendalikan kekuasaan negara. Dalam sebuah negara demokrasi, demos (masyarakat kecil, orang-orang kalah) memang memiliki hak dan kuasa (di atas kertas) untuk mengontrol dan mengendalikan gerak-gerik kekuasaan dan kebijakan umum. Dengan lain perkataan, teori-teori demokrasi yang kita kenal tidak jauh dari definisi Lincoln; kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Namun, demos tentu saja memiliki kapasitas politis faktual yang amat minimal untuk memegang panji kekuasaan, apalagi menentukan pengambilan kebijakan publik.

Pembatasan lain mengenai demokrasi adalah pertarungan gagasan dalam suatu ruang terbuka yang egaliter dan transparan. Di dalam kawasan demokrasi, setiap orang (warga negara) memiliki hak untuk berpartisipasi. Meski demikian, benarkah setiap warga negara berhak mengambil bagian dalam proses dan proyek kekuasaan negara? De facto, hanya segelintir orang yang memiliki modal sosial, ekonomi dan politik tingkat tinggi saja yang memiliki privilese itu. Dalam skala lokal, terdapat bos-bos kecil yang berkuasa tanpa kendali. Di tingkat nasional, kelompok oligark menguasai lebih dari setengah kekayaan negara, dan di level mondial, ada negara adidaya dan korporasi transnasional yang mendominasi gerak maju-mundur dunia ini. Segelintir orang dan institusi itulah yang kita sebut sebagai elite, dan kosakata elite amat sulit lepas dari kamus demokrasi.

Hari-hari ini, kita menyaksikan munculnya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang beranggotakan Rocky Gerung, Rizal Ramli, Said Didu, Din Syamsudin, Refli Harun, Abdullah Hehamahua, dan lain-lain. Bagi sebagian orang, KAMI adalah barisan sakit hati yang kalah dalam pilpres 2019 dan tidak mendapat jatah jabatan dari Jokowi-Ma’ruf. Pandangan yang lebih positif melihat KAMI sebagai angin segar demokrasi, sebab kelompok oposisi tentu saja dibutuhkan dalam negara demokrasi yang sehat. Tanpa oposan, penguasa akan berjalan tanpa kendali sehingga memiliki potensi korup yang tinggi. Lalu untuk apa KAMI dibentuk?

Dalam tulisan ini, saya mengajak kita untuk melihat secara lain skenario politik elite level tinggi di negeri ini. Pertama-tama kita perlu kembali melacak inti pertanyaan “apa itu demokrasi?”. Jika demokrasi adalah pertarungan terbuka kepentingan di ruang publik yang bebas, kepentingan apa yang hendak diraih pelakunya? Pertarungan kepentingan antar elite, hemat saya, tidak boleh dibaca secara naif sebagai proyek peremajaan demokrasi. Kenyataan menunjukkan bahwa pertarungan kepentingan elite (dan pelbagai model koalisinya) memiliki tujuan pragmatik dan oportunistik demi kekuasaan, jabatan, dan kontrol atas aset negara yang melimpah dalam bentuk kekayaan material (uang, lahan, institusi).

Meskipun demokrasi tidak menafikan adanya pertarungan bebas bagi setiap warga negara, kita mesti kembali pada tujuan pokok demokrasi, yaitu kesejahteraan. Sebagai politik kesejahteraan, demokrasi harus digiring pada jalan orang-orang kecil, masyarakat bawah yang paling rentan, mereka yang tidak terhitung (the wrong, Ranciere), yang tidak memiliki akses terhadap politik kekuasaan dan kemakmuran hidup sehari-hari.

Demokrasi sejati adalah praktik hidup sehari-hari dari warga negara yang paling mendambakan kesejahteraan dari kekayaan negara di mana mereka tinggal. Dengan kata lain, tidak ada demokrasi dalam pertarungan elite super kaya yang hanya mementingkan kontrol pribadi dan kroni. Demokrasi seharusnya adalah praktik politik yang tampak dalam upaya dan perjuangan sederhana sehari-hari dari warga negara kelas bawah untuk memperoleh akses atas kesejahteraan. Menyitir Negri dan Hardt (Multitude, 2004: 237), demokrasi adalah perjuangan dari bawah (arise from below), bukan tekanan dari atas (imposed from above).

Dengan kata lain, demokrasi tidak merujuk pada kekuatan elite yang mendefinisikan kesejahteraan, mengatasnamakan masyarakat dalam proyek tingkat tinggi meraih ambisi kekuasaan, atau merancang proyek kesejahteraan bagi masyarakat kecil. Demokrasi adalah upaya masyarakat bawah yang menuntut akses atas kesejahteraannya sendiri, perjuangan mereka demi meraih kontrol popular atas politik yang berorientasi kesejahteraan.

Pada titik ini, kita dapat menghadapkan ‘koalisi elite’ dan ‘demokrasi rakyat’ sebagai dua elemen berlawanan. Koalisi elite tidak lain adalah skenario politik level tinggi yang tidak mungkin diraih dan tidak akan menyentuh persoalan masyarakat bawah. KAMI adalah koalisi elite yang bertarung dengan sesama segelintir elite demi memenuhi ambisi dan kehausan mereka akan kekuasaan, jabatan serta kekayaan material negara yang berlimpah ruah.

Tugas kita sebenarnya adalah merawat demokrasi dari bawah agar semakin maju serta memiliki potensi konstruktif bagi kesejahteraan masyarakat kecil. Demokrasi yang kita anut dan praktikkan mesti berada pada koridor rakyat, yaitu kelas bawah yang rentan dan paling membutuhkan akses menuju kesejahteraan. Hal penting dalam demokrasi dari bawah adalah kerja sama kolaboratif dan komunikatif dari jaringan masyarakat kecil yang terorganisasi secara baik. Dengan demikian, proyek demokrasi sebagai politik kesejahteraan mampu menghasilkan tuntutan-tuntutan hak atas kesejahteraan kepada pihak pengambil kebijakan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya