Ketika Laut Bukan Lagi Menjadi “Milik” Seluruh Rakyat Indonesia

Awal tahun ini rakyat Indonesia dihebohkan dengan viralnya pagar yang berada di laut, tepatnya di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Panjangnya pun tidak main-main, yakni 30,16 Km. Temuan pagar yang terbentuk dari bambu ini menjadi polemik tersendiri, khususnya bagi nelayan sekitar yang biasa beroperasi di sekitar pagar itu.
Para nelayan mengeluh akibat pagar tersebut membuat mereka harus mencari lokasi yang baru dalam mencari ikan dan menurunkan omset pendapatan harian mereka. Selain daripada para nelayan, warga sekitar pesisir laut juga mengalami dampak ekonomi yang signifikan dikarenakan penurunan omset dari nelayan ini juga berdampak kepada mereka disebabkan mayoritas warga pesisir memiliki korelasi dengan nelayan itu sendiri, seperti berjualan solar, membuka kedai makan, dan sebagainya. Bahkan, wilayah sekitar bambu tersebut dijaga oleh orang-orang yang mengaku perwakilan dari suatu perusahaan yang cukup ternama di republik ini.
Masyarakat sekitar sebenarnya sudah melakukan laporan kepada otoritas terkait adanya pembangunan pagar laut ini dan itu sudah mulai dilaporkan sekitar bulan Agustus 2024, namun hingga akhir tahun 2024, laporan masyarakat hanya berjalan ditempat tanpa adanya upaya serius dari otoritas terkait itu, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
Sepertinya, sebutan “no viral no justice” sudah menjadi kebiasaan dari segi penegakan hukum di Indonesia. Terbukti barulah awal tahun 2025 ini ketika pagar laut tersebut sudah menjadi viral di media sosial hingga media massa, barulah pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bergerak untuk menyelidiki dan menyegel serta Presiden Prabowo memerintahkan untuk merubuhkan pagar laut itu.
Pertanyaannya adalah, apakah laut dan ruang laut itu sebenarnya dapat dimanfaatkan atau tidak ? Jika kita berbicara mengenai legalitas, maka pemanfaatan ruang laut sudah diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, hingga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 54/PERMEN-KP/2020 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan, dan Izin Lokasi di Laut. Adanya dasar hukum tentang pemanfaatan ruang laut tersebut menjelaskan bahwa sah-sah saja mengenai pemanfaatan ruang laut itu sendiri oleh masyarakat Indonesia.
Namun hal yang cukup menyedihkan di sini adalah, ruang laut yang dipagar itu dinyatakan oleh Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, tidak memiliki izin sama sekali, hal ini tentu menjadi kekecawaan untuk kesekian kalinya bagi masyarakat Indonesia. Apakah ruang laut hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang saja sehingga tidak memerlukan izin sama sekali untuk pemafaatannya ?
Kita sebagai masyarakat sudah cukup kecewa tentunya dengan penguasaan lahan yang ada di Indonesia ini dengan banyaknya mafia-mafia tanah yang berkeliaraan di negeri ini dengan menerabas legalitas-legalitas tanah itu sendiri. Belum lagi dampak negatif ekologi yang diterima masyarakat atas pemanfaatan hasil bumi yang dilakukan oleh segelintir orang kaya di negeri ini yang di beberapa sumber menyatakan banyaknya tambang yang tidak berizin.
Tentunya kali ini kita harus mempertanyakan kembali Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu apakah benar-benar untuk rakyat Indonesia ataukah hanya untuk segelitir orang elit Indonesia. Berkaca kepada tujuan hukum yang diutarakan Gustav Radburch, yang terdiri dari keadilan, kepastian dan kemanfataan, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Pasal 33 ayat (3) ini dapat dikatakan sudah tidak memenuhi esensi kemanfaatan bagi rakyat Indonesia. Jadi, perubahan konstitusi adalah suatu yang tidak mustahil dilakukan melihat kondisi secara kacamata empiris rakyat Indonesia.
Sekarang, kita lihat, apakah pemerintah bisa menyelesaikan kasus ruang laut ini dengan memberikan aspek keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya penyelesaian yang diharapkan adalah berdasarkan keadilan yang berbasis hukum tentunya karena konstitusi kita berbicara negara ini adalah negara hukum. Jangan sampai permasalahan ini dibiarkan berlarut tanpa ada kepastian yang jelas. Jika pengelolaan ruang di daratan masih sengkarut, kemudian diikuti permasalahan ruang laut yang dibiarkan berlarut, apakah harus menunggu ruang udara dicaplok untuk segelintir perut dulu baru sadar akan adanya aspek keadilan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan ruang dan/atau wilayah di Indonesia ?
Artikel Lainnya
-
117921/08/2020
-
482315/02/2021
-
113023/03/2020
-
Model Pengembangan Kurikulum Understanding by Design: Pembelajaran Backward Design
2892223/01/2023 -
Lembataku Sayang, Lembataku Malang
133213/05/2020 -
143522/06/2020