Kesejahteraan Buruh di Masa Pandemi Corona

Analis HAM
Kesejahteraan Buruh di Masa Pandemi Corona 15/04/2020 1648 view Lainnya Wikimedia.org

Ancaman krisis ekonomi sudah bukan menjadi isu lagi dalam wabah pandemi COVID-19. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 akan turun menjadi sekitar 2,3% atau dengan skenario terburuk dapat menyentuh negatif 0,4% (Kompas.com, 1/4/2020).

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagaimana kelanjutan gerakan social/physical distancing mengakibatkan banyak perusahaan dari berbagai sektor mengalami penurunan omset. Berbagai kantor, pertokoan, dan pabrik harus tutup atau beroperasi secara terbatas.

Produktivitas setiap sektor mengalami penurunan kecuali sektor kesehatan dan farmasi. Beberapa perusahaan mengalami kesulitan produksi karena membutuhkan bahan baku yang harus diperoleh melalui impor. Perusahaan yang berorientasi dengan perdagangan ekspor-impor serta perusahaan yang di sektor pariwisata dan transportasi/perjalanan tentu sangat terpukul dengan kondisi saat ini. Hal ini memaksa perusahan harus melakukan efisiensi agar dapat bertahan. Efisiensi dilakukan mulai dari efisiensi bahan, beban operasional, hingga tenaga kerja.

Isu maraknya PHK bukan lagi sebatas ancaman. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) total pekerja yang terkena PHK akibat pandemi COVID-19 sudah mencapai 1,5 juta orang. Sekitar 265.881 orang adalah pekerja sektor informal (CNBCindonesia.com, 11/4/2020).

Dalam catatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) 1.266 hotel di Indonesia ditutup sehingga ribuan pekerja hotel dirumahkan atau cuti di luar tanggungan (Katadata.co.id, 7/4/2020). Perusahaan ritel yang digadang-gadang akan bertahan di masa pandemi ini justru juga terkena dampak. Pembatasan jam operasional membuat sektor ini babak belur sehingga beberapa karyawan dirumahkan.

Kaum pekerja/buruh saat ini masuk dalam kategori kelompok rentan (baik rentan terhadap kemiskinan atau tertular virus corona). Dengan dibayangi oleh ancaman kehilangan pekerjaan, banyak pekerja/buruh yang mau tidak mau harus masuk kerja di tengah-tengah masa wabah.

Kendati beberapa perusahaan sudah menerapkan standard operational procedure (SOP) pencegahan COVID-19 namun setiap hari mereka berhadapan langsung dengan risiko tertular penyakit saat perjalanan pergi dan pulang bekerja. Apabila tidak masuk gaji atau upah akan dipotong.

Sebagai respon terhadap kondisi wabah COVID-19 Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran (SE) pada tanggal 17 Maret 2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan keberlangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan COVID-19.

Dalam SE tersebut gubernur harus memperhatikan dua hal yaitu mengupayakan pencegahan penyebaran dan penanganan kasus terkait COVID-19 di lingkungan kerja dan melaksanakan pelindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi COVID-19. SE ini juga mengatur perlindungan pengupahan pekerja/buruh khususnya yang menjadi ODP, suspect, dan pasien positif COVID-19 serta perubahan besaran upah berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dan perusahaan.

Menurut Federal Buruh Lintas Pabrik (FBLP), anggota Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), pada masa pandemi COVID-19 nasib buruh garmen dan padat karya lainnya sangat mengkhawatirkan karena di beberapa daerah banyak buruh masih harus bekerja seperti biasa (Detik.com, 19/3/2020).

Hal ini bertolak belakang dengan instruksi Menteri Ketenagakerjaan dalam SE tersebut. Selain itu kebijakan pemerintah melalui SE ini dinilai lebih berpihak kepada pengusaha. Perubahan besaran upah yang diizinkan lewat SE tersebut mengakibatkan akan banyak pekerja/buruh yang dibayar lebih rendah dari ketentuan upah minimum.

Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) sebagai bagian dari dimensi hak asasi manusia (HAM), negara harus menjamin penikmatan hak warga negaranya secara kontinu hingga standar tertinggi. Dalam kondisi apapun – termasuk kondisi darurat – negara harus menjamin hak warga negaranya termasuk pekerjaan dengan upah yang layak.

Perlindungan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja/buruh juga menjadi kewajiban negara sebagaimana amanat dalam Pasal 7 Konvenan Internasional tentang Hak Ekosob (KIHESB). Dalam masa pandemi virus corona, pemerintah harus memastikan instruksi perlindungan bagi pekerja/buruh sudah diadaptasi oleh perusahaan.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah menerbitkan ILO Standards and COVID-19 (coronavirus). Pada dokumen tersebut dalam pemutusan hubungan kerja dengan alasan dampak ekonomi serta alasan kesehatan dan keamanan, kompensasi atas hilangnya pendapatan harus diberikan sebagai konsekuensi.

Lebih jauh dalam dokumen yang sama ketika pekerja/buruh harus menjalani pembatasan kegiatan pekerjaan, upah harus dibayarkan seperti biasa. Kemudian pemerintah harus mengambil langkah terukur untuk menjamin hak dan manfaat bagi pekerja/buruh selama masa pembatasan kegiatan pekerjaan berlangsung.

Sebagaimana amanat UU Ketanagakerjaan pekerja/buruh yang dirumahkan harus tetap mendapatkan haknya. Menurut Pasal 164 ayat (3) pengusaha yang melakukan PHK karena efisiensi harus memberikan uang pesangon 2x ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Sedangkan bagi pengusaha yang melakukan PHK karena perusahaan tutup karena force majeur dan status pailit harus memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak dengan besar masing-masing 1x sesuai ketentuan UU. Pemerintah harus memastikan pekerja/buruh yang di-PHK mendapatkan hak-hak tersebut.

Dalam mengantisipasi banyaknya kasus PHK akibat wabah COVID-19 pemerintah melakukan beberapa upaya yang salah satunya melalui program kartu pra kerja. Bantuan kartu pra kerja diberikan bagi para pekerja informal dan buruh yang terkena dampak COVID-19. Penyaluran bantuan harus dipastikan tepat sasaran dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas agar dapat diawasi.

Pendataan yang baik adalah kunci keberhasilan penyaluran bantuan ini. Usaha pemerintah dengan menyediakan platform on demand bagi masyarakat yang ingin mengajukan dirinya sebagai penerima manfaat patut diapresiasi, namun check and balance harus senantiasa dilakukan.
Negara harus hadir dalam memberikan perhatian penuh untuk melindungi serta menjamin hak pekerja/buruh dalam masa pandemi ini.

Pengawasan serta pemberian sanksi harus dilakukan kepada perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah, serikat pekerja, dan perusahaan harus terkoordinir agar kebijakan perlindungan dapat diimplementasikan secara utuh karena melindungi kesejahteraan pekerja/buruh, berarti juga melindungi segenap anggota keluarganya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya