Kerajaan Gadungan, Antara Irrasionalitas dan Gagalnya Intelektual
Munculnya kerajaan-kerajaan baru di Nusantara menimbulkan perdebatan mengenai cara yang tepat dalam menangani permasalahan ini. Sebagian sepakat mengenai tindakan hukum yang diterapkan pemerintah, sebagian yang lainnya menilai langkah tersebut sebagai bentuk ‘menyelesaikan masalah yang keliru’.
Tulisan Saudara Frumens Arwan berikut ini, hendak melihat permasalahan ini secara lebih kritis. Munculnya kerajaan-kerajaan baru merupakan bentuk manifestasi dari kecenderungan masyarakat kita yang masih irrasional serta gagalnya peran intelektual dalam menyajikan kebenaran rasional di ruang-ruang publik.
Selamat membaca. (Pemimpin Redaksi)
Cita-cita masyarakat dalam suatu negara acap kali menjadi sebuah candu: dipegang erat, melekat bahkan menawan. Terutama ketika realitas menjadi tidak menentu dan bahkan tidak sesuai, cita-cita itu menjadi delusif. Ia menjadi khayalan belaka.
Ia pun mencari bentuk dan wadah. Apabila wadah itu ada dan sesuai dengannya, ia akan berkubang di dalamnya tanpa peduli benar atau tidaknya wadah itu.
Itulah yang terjadi pada kasus David Koresh di Waco, Texas, Amerika Serikat pada 1993. Setelah mengumpulkan banyak pengikut, Koresh menceramahi para pengikutnya yang disebut kaum Davidian dengan ajaran bahwa dunia saat itu sedang mengalami kekacauan besar. Pada akhirnya, ia memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan bunuh diri massal.
Di Indonesia hari-hari ini, hal yang sama pun terjadi, kendati belum memakan korban sebagaimana kasus David Koresh di atas. Ketika situasi politik memanas, berbagai kepentingan politik saling menggunjing, korupsi merajalela, yang tertinggal menjadi kian terlupakan, ibu kota dilanda banjir, sebagian masyarakat kita malah membikin gaduh.
Bagaimana tidak, setidaknya sepanjang awal tahun 2020, muncul berbagai kerajaan-kerajaan dengan klaim wilayah, pemimpin, serta iming-imingnya masing-masing.
Mereka menjanjikan suatu utopia ketika kapal bernama negara berlayar tak tentu arah. Sebut saja, Sunda Empire, Keraton Agung Sejagat, Keraton Djipang, dan lain sebagainya.
Pemerintah, masyarakat, dan media kemudian menyebut kerajaan-kerajaan itu sebagai ‘kerajaan gadungan’ karena mengklaim sesuatu yang tidak masuk akal.
Di Bandung, misalnya, muncul Sunda Empire yang mengklaim bahwa pemerintahan negara-negara dunia akan berakhir pada 2020 (bdk. Kompas, Kamis, 23 Januari 2020, hlm.7). Pada Kamis, 16 Januari 2020, beredar video yang menampilkan beberapa orang yang diduga merupakan anggota Sunda Empire lengkap dengan atribut militer dan topi baretnya (Tempo.co, Minggu, 19 Januari 2020).
Kerajaan Selacau muncul di Tasikmalaya, didirikan oleh Rohidin yang mengaku diri sebagai generasi kesembilan Raja Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran. Menurutnya, wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya merupakan bagian dari wilayah mereka (Kompas, Kamis, 23 Januari 2020, hlm.7).
Di Purworejo, muncul Keraton Agung Sejagat yang mengklaim diri sebagai kerajaan yang muncul setelah perjanjian 500 tahun berakhir–terhitung sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1518 sampai 2018–berakhir. Bahkan, para pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 450 orang diiming-imingi akan menerima gaji setiap bulannya (Tempo.co, Minggu, 19 Januari 2020).
Di Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah, muncul Keraton Djipang yang mengklaim diri sebagai bawahan Kerajaan Demak. Bahkan, legalitas kerajaan ini sudah diakui oleh pemerintah setempat sejak 2016 (Tempo.co, Minggu, 19 Januari 2020).
Pada tahun 2018, sempat muncul kerajaan Ubur-Ubur di Banten yang didirikan oleh pasangan suami istri Rudi dan Aisyah. Aisyah mengaku diri sebagai Ratu Kidul yang menganut agama Sunda Wiwitan. Ia juga mengakui Al Quran dan Allah SWT (Tempo.co, Minggu, 19 Januari 2020).
Apa sebabnya? Pada umumnya mereka mengklaim hal yang sama: kejayaan masa lampau mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterbelakangan baik ekonomi, sosial maupun politik lewat datangnya seorang penyelamat. Ratu Adil, misalnya, masyhur dalam ramalan Prabu Jayabaya.
Sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra dalam analisisnya di Harian Kompas, tipologi ‘kerajaan-kerajaan gadungan’ tersebut hampir sama.
Azra menyatakan bahwa klaim kerajaan-kerajaan tersebut didasarkan pada “kerangka teologi dan eskatologi keagamaan”. Sebagian menurutnya muncul dari suatu pemahaman literal tertentu atas ayat-ayat kitab suci, sebagian lagi muncul atas dasar harapan akan munculnya sosok penyelamat, mesianis, ratu adil dan sebagainya (Kompas, Kamis, 23 Januari 2020, hlm. 11).
Kita lantas bertanya dengan nada yang sedikit menggugat: Bukankah itu dongeng yang faktanya tidak pernah benar-benar dibuktikan? Bukankah ada berbagai persoalan riil yang seharusnya segera kita tangani?
Apa yang tampak di sana bukanlah sesuatu yang remeh-temeh. Masyarakat kita sedang bersikap apatis terhadap para akademisi, sebuah sikap tidak percaya terhadap kerja dan hasil kerja kaum intelektual.
Di sisi lain, para akademisi kehilangan kewibawaan dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan mati. Karenanya fakta tidak lagi bermakna karena masyarakat tidak menggubris para ilmuwan.
Kita kemudian melihat bahwa akar dari persoalan di atas adalah tingginya ketergantungan masyarakat kita akan hal-hal yang bersifat takhayul. Takhayul adalah suatu kebenaran relatif, hal yang sesuai kehendak saja.
Kita membaca pengaruh ajaran sofis Protagoras tentang relativisme kebenaran di sini. Menurut ajaran ini, kebenaran tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan ditentukan oleh manusia.
Apa yang oleh para akademisi dianggap benar, oleh masyarakat, misalnya, diabaikan. Sebaliknya apa yang dianggap takhayul oleh para akademisi, malah dipercayai oleh masyarakat. Akibatnya, kebenaran menjadi rancu. Mana yang boleh dipercaya dan mana yang tidak, orang tidak punya pegangan.
Masyarakat yang mempercayai kebenaran yang relatif punya kecenderungan untuk mencari sendiri apa yang hendak dipegangnya.
Sudah sejak zaman dahulu hingga sekarang, masyarakat yang demikian cenderung beralih ke kaum sofis, yang dalam sejarah filsafat dikenal sebagai kelompok yang menjual kebenaran demi reputasi dan kekayaan. Mereka musuh Platon dan Aristoteles.
Sekarang, sofis tidak lagi berwujud manusia, sebagaimana Protagoras.
Pada abad ke-21, ketika internet berkembang begitu pesat, muncul sofis yang lebih canggih, yakni ‘Big data’. ‘Big data’ merupakan kumpulan data dalam jumlah besar yang konon bisa mengetahui selera belanja seseorang hanya dengan mengidentifikasi ujung jari jempol manusia. Oleh ‘big data’, kebenaran tidak lagi otentik. Lewat internet, orang bisa memanipulasi kebenaran untuk tujuan apa saja.
Di sisi lain, sikap apatis masyarakat di atas terkait erat dengan minimnya peran para akademisi dalam masyarakat.
Para akademisi justru lebih suka berdiam diri di balik buku-buku tebal dan kampus-kampus dengan tembok yang megah. Mereka hanya menumpuk ilmu dengan gelar-gelar akademis yang tinggi, tetapi tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di tengah masyarakat. Sisi urgensi dari sebuah proses belajar kemudian menjadi pudar.
Menurut saya, munculnya kecenderungan semacam ini berkaitan erat dengan sistem pendidikan bangsa kita.
Sistem pendidikan kita menjadikan para peserta didik bak pisau yang tumpul. Ruh dan andil akademiknya tidak nampak.
Pendidikan kita memuat sistem yang membutakan karena tidak menyiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia yang konkret. Sistem pendidikan kita hanya menekankan nilai di atas kertas. Primitif.
Sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, anak-anak dibiasakan dengan sistem menghafal–menghafal rumus-rumus, menghafal kata per kata pada buku–tetapi tidak diajarkan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan yang riil.
Model pendidikan yang demikian melahirkan persoalan-persoalan akut yang menggerogoti bangsa. Koruptor, teroris, penyebar hoaks, misalnya, adalah orang-orang dengan jejak pendidikan manis bak kisah dongeng.
Orang-orang kampus yang lulus dengan prestasi ‘cum laude’ atau ‘summa cum’ laude malah menjajal berbagai “profesi kotor” yang tidak sepadan dengan prestasi dan nilai mereka di atas kertas. Kita terlalu terlena pada romantisme “sekolah adalah ajang unjuk gengsi”, lalu melupakan nilai “sekolah sebagai bekal di masa depan.”
Kita akhirnya mesti sampai pada sebuah kesadaran untuk berbalik. Tidak lain dan tidak bukan dengan memulihkan peran para akademisi sebagaimana mestinya.
Pertama, kita mesti memunculkan kembali kesadaran bahwa para akademisi tidak semestinya diam. Mereka mesti bergerak dalam peran mereka masing-masing demi kemajuan bangsa.
Oleh karena itu, saya suka mengutip Soekarno di sini, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri.”
Kedua, siapa pun mesti peduli, mesti menggubris, mesti memberi tempat kepada para akademisi sebab kebenaran ada pada mereka. Fakta-fakta empiris sebagai produk para akademisi semestinya memenuhi ruang-ruang diskusi kita setiap hari. Kebenaran itulah yang kelak akan memajukan bangsa kita, Indonesia.
Akhirnya, yang asli dan yang benar adalah akademisi dan yang gadungan adalah delusi-delusi sebagaimana ditunjukkan oleh fenomena munculnya ‘kerajaan-kerajaan gadungan’ di negeri kita.
Para akademisi hendaknya tidak hanya belajar untuk menumpuk ilmu, tetapi juga belajar untuk kehidupan.
Masyarakat juga hendaknya menaruh kepercayaan penuh pada fakta-fakta empiris ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita tidak menjadi masyarakat takhayul melainkan menjadi masyarakat yang cerdas.
Artikel Lainnya
-
122514/09/2021
-
122626/05/2020
-
28519/02/2024
-
Menggali Emosi: Menemukan Makna Sejati Liburan di Tengah Hingar-Bingar Modernisasi
30113/07/2024 -
V-day: Mencintai yang Tak Dapat Dicintai
141414/02/2021 -
Polemik Kebijakan Hukuman Kebiri Kimia
89011/01/2021