Kerajaan Agung Sejagat dan Sikap Kita Padanya
Beberapa pekan terakhir bermunculan kerajaan-kerajaan baru di Nusantara. Alih-alih mendapat legitimasi, kerajaan-kerajaan ini mengundang kontroversi. Pemerintah melalui institusi kepolisian telah menangkap dan menindak secara hukum dua petinggi sebuah kerajaan.
Perdebatan muncul mengenai cara pemerintah dalam menangani permasalahan ini. Sebagian sepakat, yang lainnya menilai pemerintah salah mengidentifikasi sumber permasalahan sehingga solusi yang telah ditempuh juga dianggap belum tepat.
Tulisan Saudara Ardan Marua berikut ini, memiliki perspektifnya yang unik dalam melihat kerajaan-kerajaan baru di era milenial saat ini. Tidak hanya melihat melalui cara yang berbeda, Bung Ardan juga melihat ada unsur ketidakadilan dalam penindakan kerajaan-kerajaan illegal ini.
Selamat membaca. (Pemimpin Redaksi)
Purworejo, 14 Januari 2020. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng, Komisaris Besar Budi Haryanto, berkunjung ke rumah Toto Santoso dengan membawa sejumlah personil kepolisian. Ini bukan kunjungan biasa, Toto sendiri bukan orang biasa di saat itu, rumahnya pun bukan rumah biasa di saat itu.
Beberapa hari sebelumnya Toto telah bertindak luar biasa. Ia memproklamirkan dirinya adalah seorang raja, raja kerajaan Agung Sejagat. Dyan Gitarja (nama aslinya Fanni Aminadia) menjadi ratunya. Toto pun menjadikan rumahnya sebagai keraton kerajaan Agung Sejagat yang dipimpinnya.
Tak hanya sampai di situ, Toto juga mengklaim memiliki sekitar 450 orang pengikut. Oleh para pengikutnya, Toto dipanggil dengan sebutan "Sinuhun"; sedangkan Fanni Aminadia dipanggil dengan sebutan "Kanjeng Ratu". Tak tanggung-tanggung, Toto pun mengklaim kerajaan yang dipimpinnya menguasai seluruh dunia.
Segala perbuatannya tersebut kemudian memicu kehebohan massa. Saya juga kaget. Pasalnya dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara nama kerajaan ini tidak ada. Walaupun demikian—tak ada dalam catatan sejarah, saya tidak terlalu ambil pusing tentang apa yang diklaim oleh Toto Santoso itu adalah sebuah kebohongan yang patut disikapi secara serius. Saya enjoy saja.
Namun perihal itu, pihak kepolisian mempunyai sikap yang berbeda dengan saya. Polda Jawa Tengah menganggap Toto serius dengan ucapannya. Toto pun kemudian dianggap berbohong. Sebab itulah Kombes Budi Haryanto mendatanginya langsung ke rumahnya untuk dimintai pertanggung jawaban. Toto tak diringkus sendirian, ia bersama ratunya ditangkap polisi.
Sikap polisi sangat tidak adil, sangat berlebihan. Bila para pengikutnya santai santai saja dan sangat sadar dengan segala konsekuensinya, mengapa polisi tidak bisa bersikap demikian?
Barangkali, selain terdorong mengadu nasib, para pengikut kerajaan Agun Sejagat juga menyadari sebagaimana yang dikatakan Maslow bahwa semua orang berpotensi menjadi raja, tidak terkecuali dengan Toto Santoso. Makanya mereka bisa santai saja menyikap Toto.
Menurut sosiolog terkemuka, Abraham Maslow, "Every man can be a king, and must therefore be treated like a king." Artinya: setiap orang bisa menjadi raja, dan karenanya harus diperlukan seperti raja. Saya pikir Tuhan pun menciptakan saya untuk menjadi khalifah (pemimpin; itu bisa presiden, raja. dll) di muka bumi ini.
Kalau hanya sebuah klaim, ngapain ditanggapi serius? Prabowo saja pernah mengklaim dirinya menang pemilihan presiden. Tetapi mengapa pada saat itu polisi tidak menangkap Prabowo? Padahal sudah jelas klaim Prabowo adalah sebuah kebohongan karena tidak berdasarkan fakta.
Mestinya, sebelum memutuskan menangkap Toto dan Fanni, pihak kepolisian perlu menghitung secara cermat fakta hari ini juga masa lampau. Jangan sampai tindakan yang mereka ambil dianggap oleh publik sebagai suatu upaya kriminalisasi sekaligus sebuah tindakan inkonsistensi yang mengafirmasikan bahwa hukum di negeri ini belum tersupremasi dengan baik.
Dalam diskusi "Siapa di balik kemunculan raja-raja" di ILC, pada tanggal 21 Januari 2020. Toto dan Fanni lebih memilih untuk tidak membicarakan banyak hal, meski Datuk Karni Ilyas berusaha menanyakan banyak hal. Toto dan Fanni lebih memilih mempergunakan kesempatan itu untuk menyampaikan permintaan maaf sebanyak-banyaknya kepada masyarakat.
Di lain sisi, salah satu petinggi Sunda Empire di berikan tempat yang terhormat (duduk sejajar dengan narasumber yang lain). Ia datang dengan baju kebesaran Sunda Empire (beda dengan Toto dan Fanni yang menggunakan baju tahanan) dan ia berbicara dengan rasa bangga akan sejarah yang dipahaminya juga disampaikannya dengan nada berapi-api.
Buruknya, posisi duduk petinggi Sunda Empire letaknya tidak berseberangan jauh dari kursi yang diduduki seorang polisi yang juga diundang sebagai narasumber dalam acara diskusi tersebut. Toto dan Fanni tampil tak seceria petinggi Sunda Empire di balik layar di belakang polisi tersebut. Ini panorama yang miris!
Alih-alih menegakkan keadilan, menunjukkan supremasi hukum, pihak kepolisian dalam kasus ini malah menghilangkan optimisme rakyat bahwa hukum memang ditegakkan hanya demi keadilan. Padahal kasus ini kan terbilang sangat simpel. Di titipkan pada angin berembus saja niscaya beres.
Mestinya, kalau tidak sanggup memberikan keadilan, biarkan saja pendapat publik yang menghukumi si pengklaim sebagaimana dulu Prabowo mereka biarkan untuk ditertawakan oleh publik. Publik paling tahu menghukumi sebuah klaim secara adil dan saya pikir tidak selalu berlebihan.
Saya bukan membela perbuatan Toto. Sejak awal saya tidak mau mengambil pusing peristiwa ini. Tetapi ada hal yang menurut saya miris hingga membuat saya merasa perlu berkomentar secara serius perihal munculnya kerajaan-kerajaan penuh imajinatif ini.
Saya miris ketika melihat Toto dan Fanni ditangkap, namun di lain sisi petinggi Sunda Empire yang juga melakoni peristiwa serupa namun dibiarkan begitu saja dan dapat berbicara di mana saja tanpa ancaman hukum, bahkan berbagai stasiun TV nasional memberikan ruang padanya untuk berargumentasi.
Saya tidak bermaksud menyarankan supaya pihak kepolisian memperlakukan petinggi Sunda Empire sama seperti memperlakukan raja dan ratu kerajaan Agung Sejagat. Sebaliknya, saya berharap pihak kepolisian memperlakukan raja dan ratu kerajaan Agung Sejagat sama seperti mereka memperlakukan petinggi-petinggi Sunda Empire.
Kendatipun tak bisa dipungkiri cukup ganjil menyaksikan seseorang mengangkat dirinya sendiri sebagai raja, namun kita tidak perlu terlalu lebar tertawa. Tertawa saja pelan-pelan. Tindakan demikian—mengangkat diri sendiri sebagai raja, tidak jauh berbeda dengan perbuatan Napoleon Bonaparte I yang juga mengangkat dirinya sendiri sebagai kaisar Prancis.
Jadi, yang paling utama ingin saya katakan di sini adalah pihak kepolisian harus tetap enjoy menanggapi kemunculan kerajaan-kerajaan baru di Indonesia dan memperlakukan mereka secara setara juga adil. Bukan cuma polisi, kita pun mesti enjoy saja menanggapi fenomena ini.
Artikel Lainnya
-
204208/02/2020
-
178110/05/2020
-
40005/07/2023
-
Membunuh Moralitas dan Menjadi Gila Bersama
14729/04/2024 -
Mama Meri Kolimon, Gereja, dan UU Omnibus Law
125310/10/2020 -
Bebaskan Indonesia dari Narkoba
157403/07/2020