Kelas, Debat dan Pendidikan Karakter
Disadari atau tidak, hidup seringkali menampilkan beragam realitas kehidupan yang amat dinamis. Dalam kedinamisan realitas itu, hadirlah ruang perdebatan antar individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Perdebatan itu bisa saja terjadi secara langsung maupun tak langsung.
Secara langsung, misalnya debat Pilpres, Pilgub, Pilkada, Pilkades hingga antar pelajar. Sedangkan tak langsung, misalnya debat melalui tulisan yang biasanya ditayangkan melalui media tertentu baik cetak maupun online. Debat yang seperti ini, masuk dalam kategori debat ilmiah. Sehingga bagi yang menonton atau membaca dapat menikmati dan mencernanya secara baik. Bahkan bisa menjadi wadah dan ruang belajar yang cukup efisien dan berkualitas.
Itulah sebabnya debat ilmiah akan dan selalu menghadirkan diskursus dan dialektika. Dan Indonesia sebagai negara yang menganut paham kebebasan berpendapat dan demokratis, sangatlah penting untuk selalu menghadirkan ruang-ruang perdebatan ilmiah seperti ini.
Namun yang menjadi persoalan dan sekaligus menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah sikap dan kebiasaan manusia yang menjadikan media sosial sebagai wadah dan ruang untuk sebuah perdebatan tulisan yang justru merendahkan martabat manusia itu sendiri.
Apalagi saat ini, hidup sudah menawarkan aneka kemajuan di segala bidang. Kemajuan itu pun lebih banyak menjerumuskan pikiran manusia ke dalam cara pikir dan tutur kata yang tak karuan. Dan realitas buruk ini dapat kita jumpai dalam dunia maya. Dimana dinding-dinding Facebook lebih banyak menayangkan tata bahasa yang amat buruk.
Karenanya tak perlu dimungkiri, ketika ada persoalan yang dilakukan oleh pejabat publik, sudah pasti dinding Facebook akan diramaikan oleh berbagai kicauan warganet yang super benar. Alhasil, ruang perdebatan banyak dihiasi oleh kata-kata destruktif. Semisal, kata-kata caci makian dan sumpah serapah.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita tentang Pilkada DKI Jakarta 2016 silam. Antar pendukung, dengan begitu bebasnya mengeluarkan kata-kata yang tak semestinya di media sosial. Bahkan menyerang hingga hal-hal privasi yakni soal keyakinan.
Ada beberapa status yang sempat saya baca saat itu sungguh melanggar nilai Pancasila dan semboyan kebhinekaan. Dikatakan bahwa Ahok adalah minoritas dan kafir, jadi yang kafir dan minoritas itu tak pantas memimpin DKI Jakarta. Ini aneh tapi nyata.
Contoh lainnya, bencana banjir yang melanda Jakarta pada tahun baru 2020 ini, rupanya juga telah dijadikan sebagai makanan empuk oleh para warganet untuk menyerang Gubernur DKI Jakartan Anies Baswedan dengan kata-kata yang sifatnya membunuh karakter.
Alhasil, media sosial disulap oleh warganet yang tak beretika itu, menjadi ruang dan wadah untuk berdebat dengan menggunakan tata bahasa yang semau gue dan bahkan membabi buta. Akhirnya, debat melalui tulisan di media sosial yang destruktif itu, mau melegitimasi bahwa sebagian warganet kita sedang hidup tanpa jiwa, raga, dan berkarakter. Atau lebih ekstremnya, sudah mati sebelum saatnya.
Pada titik ini pun saya mengamini bahwa kadar literasi digital, etika dan moral sebagian warganet Indonesia sedang sekarat dan mengalami degradasi nilai-nilai yang amat akut. Karena itulah saya sebagai seorang pendidik menawarkan solusi yang menurut hemat saya sangat penting dan segera dilaksanakan secara berkelanjutan yakni membudayakan debat di kelas.
Mengapa Harus Berdebat?
Dalam (KBBI) debat diartikan sebagai pembahasan dan pertukaran pendapat tentang sesuatu hal dengan saling memberi alasan yang argumentatif untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Debat juga dapat dipahami sebagai pertentangan argumentasi. Untuk itu seseorang dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir yang metodologis. Debat juga dapat mengafirmasi perkataan Descrates, cogito ergo sum; saya berpikir, maka saya ada.
Eksistensi orang dalam berdebat harus diukur oleh kesanggupan berpikir runtut, elaborasi realitas secara tajam, kemudian dapat menawarkan solusi-solusi yang solutif dan efektif bagi kemasalahatan hidup manusia secara berkelanjutan.
Saya berpikir maka saya ada sebenarnya juga mau menegaskan bahwa untuk sesuatu yang benar, orang harus memiliki kemerdekaan dalam berpikir, menganalisis hingga menghasilkan argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Yang pada akhirnya, debat haruslah berorientasi untuk mencari kebenaran, kemerdekaan berpikir dan kesantunan bertutur baik melalui bahasa lisan maupun tulisan.
Mengapa di Kelas?
Kelas identik dengan keberadaan guru dan murid. Tak heran, jika guru dan murid dijadikan sebagai aktor utama dalam sebuah lembaga pendidikan. Tak heran pula jika kemajuan sebuah lembaga pendidikan pun sangat ditentukan oleh kualitas guru dan murid itu sendiri. Itu berarti, setiap potensi yang terkandung di dalam diri peserta didik dan pendidik haruslah diasah dan dikembangkan secara berkelanjutan tanpa henti.
Untuk itu, ruang kelas harus dijadikan sebagai wadah yang mampu menciptakan kemerdekaan dalam belajar. Siapa yang memerdekakannya? Ya, guru. Sebagaimana yang ditekankan oleh Pak Nadiem Makarim bahwa untuk menciptakan kemerdekaan dalam belajar, guru harus terlebih dahulu menyentuh hati peserta didik dan mengelola kelas agar mampu memberikan kesejukan hati peserta didik itu sendiri.
Nah, jika hati peserta didik sudah disentuh dengan ketulusan hati seorang pendidik, maka saya amat yakin para peserta didik akan mengalami kemerdekaan dalam banyak hal. Dan salah satu hal urgen adalah memiliki keberanian untuk berbicara di dalam kelas.
Dengan keberanian itu, siswa juga akan dimampukan untuk bisa berdebat antar teman. Selanjutnya kemampuan berdebat akan memacu dan memicu anak untuk semakin banyak membaca dan menulis. Sebab perdebatan yang berkualitas harus diimbangi dengan semangat literasi dan beretika.
Karenannya, kelas memiliki kekuatan luar biasa dalam mendidik dan membiasakan anak untuk berpikir kritis, analitis, argumentatif, literat serta memiliki akhlak mulia. Pada aras ini, saya dan bahkan publik pasti memiliki keyakinan yang sama bahwa generasi-generasi yang lahir dari rahim kelas yang merdeka dan berkarakter, pastilah generasi-generasi yang memiliki keseimbangan hidup yang amat kuat. Jika diajak berdebat atau apa pun itu pastinya, mereka akan menghadirkan nuansa kemerdekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
Oleh karena itu, membudayakan debat di kelas tidak hanya sebatas melatih anak untuk bisa berbicara, menulis dan berpikir kritis, tapi lebih daripada itu adalah mendidik anak agar menjadi generasi yang beretika, bermoral dan berkarakter unggul dalam semua aspek hidup. Terkhusus mampu menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi demi meluhurkan martabat manusia.
Dan jikalau dari kelas selalu lahir generasi seperti ini, maka yakinilah para generasi kita juga bisa berpartisipasi dan bersaing dalam kehidupan pada abad 21 atau industri 4.0 yang akan datang. Mari mulai dari kelas. Sebab kelas adalah basis pembinaan karakter, dan debat yang memiliki daya kemanusiaan adalah wujud nyata dari pengaktualisasian karakter itu sendiri.
Artikel Lainnya
-
34510/02/2024
-
221614/02/2021
-
211521/01/2024
-
Mengantisipasi Histeria Massa Implikasi dari Covid-19
192401/04/2020 -
Transmisi Lokal: Raungan Kegelisahan untuk Publik NTT
119228/05/2020 -
Dinamika Perang Sipil Tanpa Pertumpahan Darah di Negeri Demokrasi
36721/09/2023