Kebocoran Data, Salah Siapa?

Statistisi Muda di Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Riau
Kebocoran Data, Salah Siapa? 01/06/2021 1306 view Lainnya pixabay.com

Pemerintah Indonesia baru-baru ini merasa tertampar, bagaimana tidak sekitar 279 juta data penduduk Indonesia disinyalir bocor ke pihak luar. Mirisnya lagi data tersebut diperjualbelikan secara online. Berdasarkan temuan Kementerian Kominfo, data yang bocor tersebut identik dengan data BPJS Kesehatan.

Pertanyaan yang paling mendasar dari rakyat awam, tentunya kok bisa? Bagaimana mungkin sebuah institusi bernama negara memiliki tingkat keamanan data yang begitu rapuh. Sehingga dengan mudahnya diretas oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Ada beberapa kemungkinan sehingga data tersebut bisa bocor ke pihak luar. Pertama, adalah belum diimplementasikannya sistem satu data di pengelolaan data pemerintah sesuai yang diamanatkan pada perpres nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Sebab jika memang menggunakan prinsip satu data, harusnya data kependudukan di BPJS Kesehatan tinggal diambil dari database kependudukan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi kemungkinan di lapangan, BPJS Kesehatan disinyalir membuat database sendiri yang memuat data kependudukan WNI di dalamnya. Ini dibuktikan dengan struktur dan pola data yang tidak sama dengan format Ditjen Dukcapil Kemendagri.

Hal tersebut tentu saja sangat riskan karena mudah terjadi kebocoran. Sebab bisa jadi keamanan data kependudukan di Kemendagri sebenarnya sudah bagus. Namun karena datanya disalin ulang di database milik BPJS Kesehatan yang mungkin kurang tingkat keamanannya.

Oleh sebab itu, penting sekali untuk menerapkan prinsip satu data. Selain lebih efisien karena data otomatis terbarui dan tidak perlu dua kali kerja, tentunya lebih aman jika terjadi kebocoran data.

Kedua, penyebab adanya kebocoran data tersebut adalah akibat lemahnya sistem keamanan data yang dimiliki pemerintah. Sistem yang lemah bergantung pada sumber daya manusia yang membuatnya.

Terkait sumber daya manusia, Indonesia bukan kekurangan sumber daya yang cerdas dalam teknologi. Di pemerintahan sendiri sebenarnya sudah ada tenaga ahli terkait keamanan data. Tenaga ahli tersebut terdiri dari PNS maupun non-PNS. Permasalahannya adalah kurang maksimalnya kinerja para tenaga ahli ini.

Penyebabnya, pertama karena di pemerintahan belum terlalu menghargai kompetensi tenaga ahli ini dalam bentuk tunjangan yang sepadan. Hal ini berbeda perlakuannya dengan pekerjaan yang sama di sektor swasta. Sehingga, banyak generasi muda yang cerdas dalam bidang ini cenderung lebih suka bekerja di luar pemerintahan karena bayaran yang lebih tinggi.

Kedua, pola kerja di pemerintahan yang kurang sehat ikut mempengaruhi kinerja para tenaga ahli ini terutama para PNS. Bukan tidak ada PNS yang memang memiliki latar belakang IT security, bahkan lulusan luar negeri sekalipun ada. Namun kenyataannya, para PNS ini sekembalinya ke lingkungan kerja, dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat hanya sebatas menjadi narasumber acara-acara seminar saja. Bukan tidak ada inisiatif untuk melakukan inovasi, tetapi hirarki birokrasi yang panjang turut mempengaruhi kurang optimalnya kinerja. Faktor kurangnya pemahaman pimpinan terhadap tugas pokok dan fungsi suatu jabatan turut mempengaruhi ketidaksesuaian penempatan PNS dengan kompetensinya.

Terkait hal tersebut, sebenarnya sudah ada langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kompetensi ASN. Salah satunya adanya kebijakan untuk penyederhanaan birokrasi yang tertuang dalam Permpan RB Nomor  17 tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional. Dengan kata lain dalam waktu dekat ASN akan lebih didominasi oleh jabatan yang menuntut kompetensi dalam bidang teknis.

Selain itu, upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kompetensi para ASN adalah dengan menjaring para generasi muda Indonesia yang cerdas dalam bidang teknis. Caranya bisa membuat jalur khusus untuk menjadi PNS tanpa perlu seleksi seperti CPNS pada umumnya. Atau bisa juga berupa kontrak khusus yang tidak terikat jam kerja, atribut pakaian dan syarat disiplin lainnya. Sebab biasanya para anak muda ini enggan menjadi aparatur pemerintah yang terikat banyak aturan kedisiplinan. Namun yang paling penting, jangan lupa untuk memberikan reward yang sepadan kepada tenaga ahli yang berprestasi agar selalu termotivasi.

Dan pada akhirnya apapun kemungkinan penyebab adanya kebocoran data tersebut, tentunya sangat merugikan masyarakat. Kredibilitas pemerintah sangat dipertaruhkan dalam hal ini. “Trust is like blood pressure. It’s silent, vital to good health and if abused it can be deadly” (Frank Sonnenberg).

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya