Kapitalisme Politik: Ketika Elit Bisnis Mendikte Kebijakan

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Kapitalisme Politik: Ketika Elit Bisnis Mendikte Kebijakan 18/09/2024 1167 view Politik Istockphoto.com

Ada satu hal yang selalu mengganggu pikiran saya ketika membaca berita atau mendengar diskusi tentang kebijakan politik di negeri ini—kebijakan yang, seharusnya, dibuat untuk kepentingan rakyat, malah sering kali tampak condong ke arah lain. Terutama saat saya mulai menyadari betapa kuatnya pengaruh elit bisnis dalam setiap keputusan politik. Saya bertanya-tanya, apakah kebijakan yang dihasilkan pemerintah benar-benar mewakili suara rakyat atau hanya sekadar alat untuk melindungi dan memperkuat posisi mereka yang memiliki kekuatan ekonomi?

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang saya tuliskan ini terdengar seperti teori konspirasi. Namun, jika kita mau sedikit lebih jujur dan melihat lebih dalam, ada pola yang tidak bisa kita abaikan. Sebut saja dalam kasus pengambilan keputusan tentang kebijakan ekonomi—subsidi energi, peraturan investasi asing, hingga pajak korporasi. Hampir selalu, keputusan-keputusan tersebut terlihat lebih menguntungkan kelompok bisnis besar ketimbang masyarakat luas. Kebijakan yang harusnya bisa melindungi masyarakat justru sering kali dibuat dengan mempertimbangkan "keberlangsungan bisnis" para pemain besar ini.

Contoh yang cukup nyata adalah ketika pemerintah menghadapi pilihan antara menaikkan pajak korporasi atau memotong subsidi energi yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat menengah ke bawah. Keputusan yang diambil justru sering kali adalah memotong subsidi energi. Dalam logika sederhana, ini jelas-jelas lebih merugikan rakyat kecil ketimbang para konglomerat. Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawaban yang sering kita temui di balik layar adalah karena tekanan dari elit bisnis, yang punya pengaruh besar di balik pintu-pintu kekuasaan.

Kekuasaan ekonomi, seperti yang dikatakan oleh ekonom Prancis Thomas Piketty dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century, memiliki kecenderungan untuk terakumulasi dan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Artinya, semakin besar kekayaan yang dimiliki seseorang, semakin besar pula kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan. Dalam konteks politik, kekuatan ekonomi elit ini dengan mudah bisa mempengaruhi keputusan politik. Lobi-lobi bisnis besar di parlemen, pertemuan tertutup antara pejabat dan pengusaha, hingga dana-dana kampanye yang diberikan kepada politisi, semua ini adalah alat yang digunakan untuk memastikan bahwa kepentingan bisnis tetap menjadi prioritas.

Lalu, di mana posisi rakyat dalam semua ini? Apakah suara kita hanya menjadi formalitas dalam pemilu dan setelahnya kita hanya bisa menonton dari jauh bagaimana kebijakan dibuat dan siapa yang diuntungkan? Saya rasa kita perlu jujur pada diri sendiri—kita masih berada di sistem yang membuat kepentingan rakyat selalu berada di urutan kedua setelah kepentingan bisnis.

Ini bukan sekadar masalah "mereka kaya, kita miskin." Ini lebih dalam dari itu. Ketika kepentingan bisnis mendikte kebijakan politik, maka yang terjadi adalah ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan kesempatan. Misalnya, ketika kebijakan tanah atau lingkungan dibuat lebih longgar untuk mempermudah bisnis besar melakukan ekspansi, siapa yang paling dirugikan? Masyarakat kecil yang bergantung pada sumber daya alam lokal, seperti petani, nelayan, dan komunitas adat. Sementara itu, keuntungan besar mengalir ke kantong-kantong elit bisnis yang semakin memperkaya diri.

Yang juga mengkhawatirkan adalah efek domino yang ditimbulkan. Ketika kebijakan dibuat untuk melayani bisnis besar, maka akan ada kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Ketimpangan ekonomi ini pada akhirnya menciptakan ketidakstabilan sosial. Masyarakat yang merasa terpinggirkan akan semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan sistem politik. Mereka merasa suaranya tidak didengar, dan ini menciptakan potensi konflik. Kesenjangan inilah yang perlahan tapi pasti bisa menggerogoti pondasi demokrasi itu sendiri.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ada jalan keluar? Banyak yang bilang bahwa demokrasi adalah jawabannya—suara rakyat adalah yang terpenting. Namun, ketika demokrasi yang kita jalankan telah dikooptasi oleh elit ekonomi, apakah itu masih bisa disebut demokrasi sejati? Demokrasi yang kita kenal tampaknya telah mengalami distorsi, berubah menjadi sistem di mana keputusan politik lebih sering mencerminkan kepentingan bisnis besar dibandingkan kepentingan publik.

Menurut saya, satu-satunya cara untuk keluar dari jerat ini adalah dengan menguatkan pengawasan publik dan menciptakan sistem yang lebih transparan. Masyarakat harus lebih aktif terlibat dalam proses politik, dan pemerintah harus lebih terbuka terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak, bukan hanya dari kalangan bisnis. Selain itu, kita juga butuh regulasi yang lebih ketat terhadap lobi-lobi politik dan pengaruh bisnis dalam proses pengambilan keputusan.

Namun, lagi-lagi, perubahan ini tidak akan mudah. Selama kekuatan ekonomi terus terpusat pada segelintir orang, maka mereka akan terus menggunakan kekuasaan tersebut untuk mempertahankan status quo. Oleh karena itu, saya percaya bahwa kesadaran masyarakat adalah kunci. Kita harus lebih peka terhadap dinamika kekuasaan yang terjadi di sekitar kita, terutama yang melibatkan bisnis dan politik. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan dan berharap perubahan datang dengan sendirinya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Noam Chomsky, "Politik dan bisnis adalah saudara kembar." Dalam dunia yang semakin didominasi oleh kapitalisme global, hubungan ini menjadi semakin erat, dan sering kali merugikan publik. Ini adalah kenyataan yang harus kita sadari dan, jika memungkinkan, kita ubah. Sebab, jika tidak, kita hanya akan terus menjadi penonton di dalam sistem yang menguntungkan segelintir orang di puncak, sementara mayoritas tetap terpinggirkan.

Dengan memahami bagaimana kekuatan elit bisnis bekerja di balik layar, kita bisa lebih waspada dan lebih kritis dalam menilai setiap kebijakan yang dibuat. Kita tidak bisa selamanya diam dan menerima keadaan ini. Ini adalah tentang masa depan kita—masa depan di mana kebijakan benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan segelintir elit yang memiliki kekuasaan ekonomi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya