Kala Pegawai komdigi Bekingi Judol: Loh, Kok Gitu?

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM di Lembaga Pusat Riset dan Kajian HAM
Kala Pegawai komdigi Bekingi Judol: Loh, Kok Gitu? 04/11/2024 2342 view Hukum Istockphoto.com

“Entah apa yang ada di benak mereka saat memilih jalan ini.” Itulah pikiran pertama saya saat mendengar kabar bahwa sebelas pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) justru terlibat dalam pembekingan situs judi online (judol) alih-alih menegakkan hukum yang seharusnya mereka lindungi. Bagi masyarakat, mungkin hal ini mengejutkan sekaligus ironi yang tak terelakkan. Sebagai instansi yang seharusnya menjaga ruang digital dari konten ilegal seperti perjudian, peristiwa ini menyiratkan betapa celah-celah kelemahan di tubuh birokrasi kita masih sangat nyata.

Hari itu, Kamis 31 Oktober 2024, mungkin akan jadi hari yang terus diingat banyak orang sebagai contoh dari kebobrokan birokrasi dalam era digital. Alih-alih memblokir atau memberantas situs-situs judi online, sebelas pegawai ini justru disebut-sebut “membina” situs tersebut. Kita seperti dihadapkan pada kenyataan bahwa “pengawas” di balik layar ini ternyata bisa begitu mudah terjerumus pada ketidakseimbangan antara wewenang dan etika.

Mungkin memang benar, dalam kata-kata Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Pemberian kewenangan yang besar, apalagi tanpa pengawasan yang ketat, bisa jadi memancing sebagian orang untuk melenceng dari tujuan awalnya. Di sini saya merasa penting untuk menggali lebih dalam, memahami bagaimana situasi ini terjadi, dan mencari tahu apakah ada solusi nyata untuk meminimalisir kejadian serupa di masa depan.

"Seolah-olah, saat kekuasaan itu berada di tangan mereka, ada celah yang muncul, menggeser idealisme dan tanggung jawab menjadi sekadar formalitas." Begitulah yang terlintas dalam pikiran saya ketika kabar ini semakin ramai dibicarakan. Bagaimana tidak? Alih-alih menjadi garda terdepan yang membentengi kita dari dampak negatif dunia digital, sebelas pegawai Komdigi justru memilih jalan sebaliknya. Bukannya menjadi tameng, mereka malah membuka ruang baru bagi praktik-praktik ilegal untuk merajalela.

Kasus ini seakan mengingatkan kita pada betapa rentannya integritas dalam birokrasi ketika ada "kesempatan" yang berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran. “Kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah ancaman bagi keadilan,” ungkap filosofi politik Max Weber dalam penelitiannya tentang etika birokrasi. Dalam situasi ini, sepertinya benar bahwa kekuasaan, jika dibiarkan tanpa pengawasan atau penegakan nilai-nilai etis yang kuat, bisa menjelma menjadi senjata berbahaya yang malah merusak dari dalam. Rasa aman yang tadinya dipercayakan publik kepada lembaga ini menjadi tergores oleh tindakan mereka yang mengkhianati mandat tersebut.

Bagi saya, peristiwa ini menunjukkan ironi besar sekaligus cerminan betapa masih besarnya celah bagi oknum-oknum yang lebih mementingkan kepentingan pribadi di atas tanggung jawab sosialnya. Di balik layar kerja digital, sebenarnya terdapat banyak tantangan yang sering kali tak disadari oleh publik, termasuk jebakan konflik kepentingan yang bisa hadir dalam berbagai bentuk. Dalam dunia yang semakin tergantung pada digitalisasi, kepercayaan adalah mata uang termahal yang dimiliki sebuah lembaga. Sekali ternoda, akan sulit untuk memulihkan keyakinan masyarakat.

Apa yang terjadi di Komdigi ini bukan hanya sekadar pelanggaran etika. Ini juga menjadi cermin tentang lemahnya sistem pengawasan internal di tubuh birokrasi kita, terutama di lembaga-lembaga yang memiliki akses luas terhadap data dan informasi publik. Tanpa pengawasan yang ketat, instansi seperti Komdigi tampaknya bisa menjadi lahan subur bagi korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Seperti yang dikatakan oleh sosiolog Robert K. Merton, "Tanpa kontrol dan akuntabilitas, kekuasaan hanya akan mendorong individu pada kegelapan egoisme dan kepentingan pribadi."

Dari kasus ini, ada pelajaran yang perlu kita renungkan. Sistem birokrasi bukan hanya memerlukan kontrol struktural, tetapi juga penanaman nilai-nilai etika yang kokoh di setiap individu yang ada di dalamnya. Kepercayaan bukan sekadar jargon yang dipromosikan di depan publik; ia harus menjadi prinsip yang dihidupi oleh para pengabdi negara setiap harinya, apalagi di era digital yang penuh tantangan baru. Jika tidak, kepercayaan itu akan luruh dan ketika itu terjadi, yang akan menderita bukan hanya lembaga, tapi kita semua sebagai masyarakat yang telah mempercayakan hak dan keamanan kita kepada mereka.

Namun, bagaimana kita bisa mengembalikan kepercayaan publik setelah kejadian seperti ini? Pertanyaan ini terus terngiang dalam benak saya. Tentu, hukuman dan sanksi bagi para pelaku harus diberlakukan, tetapi itu hanya solusi sementara, pengobatan bagi luka yang telah terlanjur terbuka. Perlu ada upaya yang lebih menyeluruh, sesuatu yang dapat menambal celah-celah sistemis yang memungkinkan penyimpangan ini terjadi.

Pemerintah di bawah komando Pak Prabowo perlu mengadopsi pendekatan yang lebih serius dalam membangun sistem pengawasan internal yang efektif. Tidak hanya berbentuk aturan tertulis atau regulasi yang kerap kali diabaikan, tetapi harus berupa mekanisme pengawasan aktif dan berkesinambungan, yang melibatkan partisipasi pihak eksternal sebagai pengawas independen. Kita bisa belajar dari beberapa negara yang telah menerapkan audit berkala terhadap instansi publik yang memiliki potensi besar dalam pengelolaan informasi digital. Selain itu, teknologi seperti blockchain atau AI untuk pelacakan alur kerja bisa menjadi solusi untuk meminimalisir manipulasi data yang sulit dideteksi.

Lebih dari itu, diperlukan reformasi mentalitas dan budaya kerja di setiap level birokrasi. Harus ada kesadaran kolektif bahwa setiap tindakan memiliki dampak bagi kepentingan publik yang lebih luas. Ini bukan hanya soal memberi sanksi kepada yang bersalah, tetapi juga mendorong budaya kerja yang berlandaskan etika, transparansi, dan akuntabilitas. Setiap pegawai harus paham bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.

Selain itu, edukasi dan penanaman nilai antikorupsi perlu diperkuat, dimulai sejak dini dalam pelatihan pegawai hingga saat mereka berada di lapangan. Dalam hal ini, peran pendidikan dan sosialisasi nilai integritas dan etika digital di lingkungan Komdigi, serta kementerian lain yang berhubungan dengan pengelolaan data, sangat penting. Mereka harus memahami bahwa tindakan menyimpang seperti ini tidak hanya menghancurkan reputasi lembaga, tetapi juga berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara keseluruhan.

Pada akhirnya, peristiwa ini harus menjadi pengingat bahwa birokrasi bukanlah mesin tanpa jiwa yang bekerja hanya atas dasar aturan. Birokrasi adalah manusia-manusia yang memiliki tanggung jawab moral. Jika tanggung jawab itu diabaikan, maka kita akan terus berada dalam lingkaran masalah yang sama: kepercayaan masyarakat yang terus terkikis, dan harapan yang semakin redup. Semoga saja kasus ini menjadi titik balik yang mendorong kita semua untuk merajut kembali integritas dalam birokrasi, karena, seperti kata pepatah, “Kepercayaan itu seperti kaca, sekali retak, akan selalu terlihat.”

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya