Kabinet Zaken tapi Bukan
“Loh, bukankah Pak Prabowo berjanji untuk membentuk kabinet zaken? Lalu, kenapa kabinetnya malah penuh dengan politikus?” pertanyaan ini terus terngiang di kepala saya setelah melihat daftar menteri dan wakil menteri yang baru saja dilantik.
Sebagai warga biasa, saya berhak mempertanyakan keputusan pemimpin yang saya pilih, bukan? Kita semua tentunya berharap banyak dari janji-janji pemilu yang terdengar menjanjikan. Namun, ketika realita menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda, saya merasa perlu untuk mengkritisi hal ini.
Gagasan "kabinet zaken". Dalam banyak kesempatan, Prabowo Subianto menjanjikan kabinet yang diisi oleh para profesional orang-orang yang ahli di bidangnya, terlepas dari afiliasi politik mereka. Ide ini tentu saja menarik, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sedang terpuruk. Kabinet zaken, menurut saya, bisa menjadi solusi efektif untuk memaksimalkan potensi pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Namun, apa yang terjadi kemudian?
Pada 21 Oktober kemarin, Prabowo melantik jajaran menteri dan wakil menterinya. Tak tanggung-tanggung, ada 48 menteri dan 56 wakil menteri. Jadi sangat wajar kalau kabinet ini, disebut sebagai "Kabinet Merah Putih," adalah yang paling gemuk sejak era Orde Baru hingga Reformasi. Bukan soal jumlahnya yang saya persoalkan, melainkan siapa saja yang mengisi posisi-posisi penting ini. Kabinet tersebut ternyata diisi oleh banyak politikus yang secara kompetensi dipertanyakan. Saya tidak menafikan bahwa politikus bisa saja kompeten di bidang tertentu, tetapi janji untuk menghadirkan para profesional di kursi pemerintahan seolah menguap begitu saja.
Apakah ini wujud dari balas budi politik? Saya tidak ingin terlalu cepat menyimpulkan, namun sulit untuk tidak memikirkan hal itu ketika kita melihat bahwa kabinet ini diisi oleh banyak sekali anggota partai koalisi. Ketika janji kabinet zaken berubah menjadi realita kabinet politik, ada kesan bahwa Prabowo sedang "membayar utang" kepada para pihak yang mendukungnya dalam kontestasi pemilu. Padahal, di masa kampanye, beliau sering menekankan bahwa profesionalisme dan kompetensi adalah prioritas utama.
Memang, membentuk kabinet bukanlah hal mudah. Prabowo harus menyeimbangkan banyak hal antara kepentingan partai politik, ekspektasi rakyat, dan kondisi negara yang sedang tidak stabil secara ekonomi. Tapi, pertanyaannya: Apakah kabinet besar ini akan efektif? Sebuah riset dari Richard Rose, seorang pakar politik Eropa, menyebutkan bahwa kabinet yang terlalu gemuk bisa jadi justru menimbulkan masalah baru. Koordinasi antar kementerian menjadi sulit, dan pengambilan keputusan bisa lambat karena terlalu banyak orang yang harus dilibatkan. Saya rasa, Indonesia tak perlu mengalami hal ini, apalagi di saat ekonomi kita sedang lesu.
Seperti yang kita ketahui, saat ini Indonesia dihadapkan pada tantangan ekonomi yang cukup besar. Pertumbuhan ekonomi yang melambat, investasi yang masuk tak kunjung menciptakan lapangan pekerjaan, hingga pemecatan massal di beberapa sektor industri. Ini tentu menjadi beban yang harus dipikul oleh kabinet yang baru. Tantangan ini mengharuskan setiap kementerian untuk bekerja dengan cepat dan tepat sasaran. Namun, bagaimana mungkin hal ini bisa tercapai jika sebagian besar menteri dipilih bukan karena kompetensi, tetapi karena afiliasi politik?
Bahkan, kita harus mempertanyakan seberapa jauh kabinet ini bisa menjalankan agenda reformasi ekonomi yang dijanjikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal pertama tahun ini, memang pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,11 persen, lebih baik dari sebelumnya yang sebesar 5,05 persen. Namun, angka tersebut tidak cukup untuk menggambarkan keseluruhan situasi.
Pertumbuhan ekonomi 5,11 persen ini tampak bagus di permukaan, tetapi kita perlu melihat lebih dalam untuk memahami kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.
Terutama jika kita mempertimbangkan bahwa sektor industri tidak berkembang secepat yang diharapkan, sementara jumlah pengangguran tetap tinggi. Apakah kabinet yang lebih besar otomatis akan mempercepat solusi bagi masalah ini? Saya ragu.
Mari kita lihat kasus kenaikan investasi. Secara nominal, investasi yang masuk ke Indonesia memang meningkat, tapi dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja justru minim. Banyak investasi yang datang ke sektor yang padat modal tetapi tidak padat karya, seperti teknologi dan industri ekstraktif. Akibatnya, kenaikan investasi tidak serta merta diikuti oleh penciptaan lapangan kerja yang cukup untuk menampung jumlah angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahunnya. Ini adalah salah satu contoh nyata di mana kebijakan pemerintah perlu dirancang dengan sangat hati-hati, dan di sinilah peran kabinet yang kompeten sangat diperlukan.
Kita tidak bisa hanya berharap pada figur yang ada di pucuk pemerintahan. Kabinet adalah mesin utama pemerintahan, dan jika mesin ini tidak diisi oleh orang-orang yang benar-benar paham dengan bidangnya, maka bagaimana bisa kita berharap akan ada perbaikan? Saya kira, masyarakat Indonesia harus lebih kritis dalam menilai langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah, terutama dalam hal ini: pemilihan anggota kabinet.
Melihat komposisi kabinet Prabowo yang penuh dengan politikus, saya tak bisa menahan diri untuk tidak khawatir. Sejarah politik Indonesia mencatat bahwa kabinet yang terlalu didominasi oleh politik sering kali terseret dalam tarik menarik kepentingan yang berujung pada kinerja yang tidak maksimal. Pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Saya tidak ingin Indonesia jatuh dalam perangkap ini lagi. Kita membutuhkan kabinet yang bekerja, bukan kabinet yang sibuk dengan kepentingan politik.
Mengutip pernyataan ilmuwan politik Samuel P. Huntington, “Modernisasi politik tidak hanya soal pembangunan ekonomi, tetapi juga soal bagaimana kekuatan-kekuatan politik yang ada dikelola dengan baik.” Saya pikir, ini adalah refleksi yang perlu kita pikirkan bersama. Pembentukan kabinet zaken, jika dijalankan dengan benar, bisa menjadi langkah awal menuju pemerintahan yang lebih efektif dan responsif terhadap tantangan zaman. Namun, jika janji ini hanya tinggal janji, saya khawatir kita akan kembali terjebak dalam siklus politik balas budi yang tak pernah berakhir.
Sekarang, tinggal bagaimana kita, rakyat, mengawasi kinerja pemerintahan ini. Jangan sampai kita dibuai oleh janji manis, sementara realita yang kita hadapi justru jauh dari harapan. Kabinet zaken yang dijanjikan, ternyata tidak seperti yang terlihat.
Artikel Lainnya
-
28620/01/2024
-
160203/09/2024
-
486219/11/2023
-
Tantangan Menulis dan Penguatan Literasi
73303/11/2021 -
175828/10/2019
-
Fashion dan Eksistensi Ketubuhan
92407/02/2023