Jejak-Jejak Tuhan
Pergulatan pemikiran filsafat dan sains dari era Yunani kuno hingga saat ini temanya selalu berkutat pada manusia, alam dan Tuhan. Kontemplasi panjang para filsuf serta kemunculan berbagai metode di bidang sains pada intinya ialah untuk menyingkap segala hal yang masih menandaskan keraguan tentang rahasia alam semesta, manusia, yang hasil dari keduanya tersebut digunakan untuk menelusuri eksistensi Tuhan.
Jikalau melihat para saintis dan filsuf yang melibatkan diri dalam pergulatan ini, terdapat dua tipe. Pertama, mereka yang dapat menjangkau hal-hal yang tak terbatas/metafisik, biasanya yang ada pada golongan ini adalah para filsuf yang beragama seperti muslim. Kedua, mereka yang tidak dapat menjangkau hal-hal yang tak terbatas, kebuntuhan ini biasanya dilami oleh orang-orang yang ingin berjumpa dengan Tuhan yang material.
Konsekuensi lebih lanjut antara kedua golongan tersebut ialah pada keyakinan terhadap Tuhan. Yang pertama jelas akan tetap teguh pada keyakinan akan adanya Tuhan. Sementara yang kedua, secara perlahan akan pudar keyakinannya kemudian menjadi agnostik bahkan ateis.
Keinginan besar untuk berjumpa dengan Tuhan yang material oleh para filsuf golongan kedua kemudian menutupi jejak atau tanda yang telah Tuhan berikan untuk menyadari akan keberadaan-Nya. Ketidaksadaran para filsuf golongan kedua dalam melihat jejak-jejak Tuhan inilah yang hendak penulis uraikan dalam tulisan ini.
Pertama, bahwa rasa ingin tahu untuk mencari Tuhan bisa dikatakan merupkan tema wajib para filsuf, baik itu filsuf barat maupaun filsuf Muslim. Ketidaksadaran akan adanya Tuhan merupakan sebuah kecerobohan dalam melakukan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan.
Sebab menurut penulis, para filsuf pada golongan kedua terlalu sibuk mencari jawaban tentang apakah Tuhan ada ataukah tidak? Namun, luput mempertanyakan kembali pertanyaan tersebut, ataukah lebih dalam menelusuri kenapa manusia selalu mempertanyakan pertanyaan tersebut.
Hal ini kemudian mengantarkan penulis pada kesimpulan bahwa bertuhan merupakan fitrah bagi setiap manusia. Hal ini terlepas dari mengakui adanya Tuhan ataukah tidak, sebab banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
Menurut Muhaimin, fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir). Selain itu, juga dijelaskan dalam pandangan Islam sebagaimana yang disampaikan oleh Sudiyono bahwa, kemampuan dasar atau pembawaan disebut dengan fitrah yaitu dalam pengertian etimologi berarti kejadian, karena kata fitrah berasal dari kata fathoro yang berarti menjadikan (Achmad Munib, 2017: 226-227).
Penelusuran dalam menyusuri topik ini mempertemukan penulis dengan beberapa temuan yang ikut mengokohkan pernyataan penulis mengenai bertuhan merupakan fitrah. Sebab, menurut penulis, para filsuf (orang yang suka merenung) selalu dikabuti dengan rasa ingin tahu untuk mencari tahu keberadaan Tuhan. Hal ini akan selalu muncul dalam setiap perjalanan para filsuf.
Pertanyaannya adalah mengapa pertanyaan tersebut selalu muncul? Jawaban penulis akan pertanyaan ini adalah karena manusia terikat perjanjian primordial.
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa manusia berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat prientasinya. Perjanjian ini terjadi ketika manusia berwujud rohani, jauh di alam azali, sebelum kita berbentuk jasmani lahir di dunia. Menurut Nurcholis Madjid, perjanjian primordial inilah yang secara mutlak mendorong kita untuk memiliki “kesadaraan ketuhanan” (taqwa), sekaligus kesadaran spiritual untuk kembali kepada-Nya (inna lillahi wa inna lillahi raajiun).
Perjanjian yang dimaksud telah tertera di dalam Alquran Surat Al-A'raaf ayat 172. "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah Taala mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)'" .
Terdapat juga sebuah hadis qudsi yang menurut penulis menjadi faktor penyebab adanya rasa ingin tahu untuk menyelediki eksistensi Tuhan. Hadis qudsi yang dimaksud sebagai berikut: “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa-aradtu an u‘rafa, fa-khalaqtu-l-khalqa (Aku (maksudnya: Tuhan) dulunya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku hendak diketahui, dan Aku ciptalah segala ciptaan).
Kurang lebih, seperti inilah uraian singkat yang dapat menjadi landasan pernyataan penulis di awal, yakni tentang bertuhan merupakan sebuah keniscayaan. Artinya, kapan seseorang sampai pada tujuan. Yakni, keyakinan adanya Tuhan tersebut tidak bisa dipastikan. Wallahu a'lam bishawab
Artikel Lainnya
-
206125/06/2020
-
189124/04/2020
-
121715/09/2021
-
Mengenal Humanisme Ekologis Marx
51523/10/2023 -
Stereotip Terhadap Orang Timur dan Diskriminasi Rasial
541021/03/2020 -
Peran Influencer dalam Dunia Bisnis di Era Digital
53624/10/2023