Jejak Sejarah Seorang Diplomat Minangkabau H. Agus Salim

Mahasiswa
Jejak Sejarah Seorang Diplomat Minangkabau H. Agus Salim 02/07/2024 393 view Pendidikan aktual.com

Sepanjang Sejarah Indonesia, putra-putri dari Minangkabau itu sendiri telah banyak memainkan perannya, seperti dijalur diplomatik. Sejak kemerdekaan hingga saat ini, etnis minang unggul dalam diplomasi dan berperan besar di tingkat nasional dan internasional. Tentunya di sini terungkap rahasia kesuksesan orang Minangkabau menjadi diplomat. Hal ini bisa saja terlihat dari beberapa nilai serta budaya dan prinsip hidup serta keahliannya dalam bersilat lidah dalam putra-putri Minangkabau. Adapun tokoh diplomasi Minang di masa awal Republik yang sangat dikenal adalah H. Agus Salim.

Haji Agus Salim adalah seorang diplomat Indonesia yang sangat berpengaruh dalam sejarah diplomasi Indonesia. Latar belakangnya sebagai seorang diplomat yang cerdas dan berpengetahuan luas dalam berbagai bahasa asing, serta kemampuan berbicara yang fasih, membuatnya sangat efektif dalam berbagai peran diplomatik. Dalam tulisan ini, kita akan membahas jejak diplomatik Haji Agus Salim dan bagaimana ia berkontribusi pada kemerdekaan Indonesia.

Haji Agus Salim adalah seorang tokoh diplomatik Minang yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir dengan nama Mashudul Haq pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, Agus Salim memiliki latar belakang yang unik. Ayahnya, Sultan Moehammad Salim, adalah seorang jaksa di pengadilan negeri, sehingga Agus Salim dapat belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar. Dia juga anak yang cerdas dan telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, termasuk Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman, pada usia muda.

Pada tahun 1903, Agus Salim lulus dari HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Setelah lulus, ia bekerja di Jeddah, Arab Saudi, untuk lima tahun dan menghabiskan waktu tersebut untuk menunaikan ibadah haji setiap tahunnya. Selama di Jeddah, Agus Salim juga menerima bimbingan ilmu Islam dari pamannya, Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama, imam, dan guru besar Madzhab Syafi'i di Masjidil Haram.

Pada tahun 1911, Agus Salim kembali ke Indonesia dan terus berkiprah dalam bidang diplomasi. Pada masa Kabinet Sjahrir II (tahun 1946) dan Kabinet Sjahrir II (tahun 1947), Agus Salim diangkat menjadi Menteri Muda Luar Negeri. Dalam kapasitas ini, ia membuka hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, khususnya negara Afrika Utara seperti Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. Pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin tahun 1947, Agus Salim kembali diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dan melanjutkan karier Menteri Luar Negerinya pada masa Kabinet Hatta tahun 1948 hingga tahun 1949.

Dalam perjuangan diplomasi untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia, Agus Salim memimpin tim delegasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara-negara Arab. Selain itu, Indonesia juga memiliki kepentingan untuk menjalin hubungan baik dengan negara-negara Arab demi menghadapi sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947. Pada perkembangannya, Agus Salim berhasil memimpin tim delegasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara-negara Arab tersebut.

Dalam perjuangan diplomasi, Agus Salim juga berperan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang dibentuk pihak Jepang. Badan ini diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Wediodiningrat, sedang ketua mudanya ialah R. Pandji Suroso dan Itibangase Yosio. Sidang pertama khusus ini diadakan pada tahun 1942, menjelang tibanya saat proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Perjuangan Haji Agus Salim berlangsung selama tiga zaman: zaman Belanda, zaman Jepang, dan masa kemerdekaan. Ia aktif dalam berbagai pergerakan nasional dan menjadi penasehat penuh Himpunan Serikat Buruh Belanda di Amsterdam. Dalam Konferensi Buruh 1930, Agus Salim berbicara lantang tentang kekejian pemerintah kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia. Kemampuan berbahasa asing dan pidatonya yang fasih membuatnya sangat dihormati di forum internasional.

Strategi diplomasi Agus Salim melibatkan kemampuan berbahasa asing, kecerdasan, dan keahlian dalam berdiplomasi. Ia mampu berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah Belanda, negara Arab, dan forum internasional. Contoh yang menonjol adalah ketika ia berpidato dalam bahasa Prancis di Konferensi Buruh 1930, yang mendapat pujian dari delegasi lain. Keterampilan ini membuatnya sangat diandalkan oleh Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam karir politiknya, Agus Salim bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada tahun 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad, Agus Salim menggantikan mereka. Pada tahun 1945, Agus Salim menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang dibentuk pihak Jepang. Pada tahun 1947, ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dan melanjutkan karier Menteri Luar Negeri-nya pada masa Kabinet Hatta tahun 1948 hingga tahun 1949.

Dalam keseluruhan perjuangan diplomasi dan politiknya, Agus Salim menunjukkan kemampuan berbahasa yang luas dan kefasihan berpolitik yang tinggi. Ia memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah diplomatik Indonesia. Agus Salim adalah contoh tokoh diplomatik Minang yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan meninggalkan warisan yang berharga dalam sejarah diplomatik Indonesia.

Ketercapaian diplomasi Agus Salim dapat dilihat dalam perjuangannya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Ia berjuang dalam perundingan dengan pihak Belanda, negara Arab, dan forum internasional. Perjuangannya ini berlangsung hingga akhir hayatnya, ketika ia menjadi penasihat ahli Menteri Luar Negeri hingga wafatnya pada tahun 1954.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya