Jejak Intelektual: Transformasi Keilmuan Ulama Nusantara dan Hubungannya dengan Al-Azhar
Ketika membahas transformasi keilmuan ulama di Nusantara, karya Azyumardi Azra mengenai jaringan ulama di Kepulauan Nusantara dan Timur Tengah tidak bisa diabaikan. Penelitian Azra mengisi kekosongan dalam studi tentang transmisi dan penyebaran gagasan pembaruan Islam, terutama menjelang ekspansi kekuasaan Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, yang berkaitan erat dengan sejarah Islam di Nusantara.
Azra menantang pandangan Clifford Geertz dalam The Religion of Java, yang berargumen bahwa tradisi Islam di Nusantara tidak terhubung dengan Islam di Timur Tengah. Sebaliknya, Azra menunjukkan bahwa hubungan antara komunitas Muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah sudah terjalin sejak awal perkembangan Islam. Sejak abad ke-17, hubungan ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meskipun terdapat pula interaksi politik antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan Dinasti Utsmani.
Azra mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana jaringan keilmuan terbentuk antara ulama Timur Tengah dan murid-murid Melayu-Indonesia, serta wacana intelektual apa yang berkembang dalam jaringan tersebut. Ia juga ingin mengetahui peran ulama Melayu-Indonesia dalam jaringan ini dan dampak lebih luas dari hubungan tersebut. Dengan demikian, Azra memposisikan penelitiannya sebagai kajian sejarah sosial intelektual Islam yang, dalam beberapa aspek, dapat dipandang sebagai ‘sejarah global,’ mengingat bahwa perkembangan sejarah di suatu wilayah tidak terjadi dalam kondisi yang terisolasi.
Jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah tersebutr memang memiliki peran yang sangat signifikan. Jaringan ini berfungsi sebagai sumber tradisi intelektual bagi ulama dan menjadi dasar bagi mereka untuk terlibat dalam penerjemahan Islam selama periode kolonial di Indonesia, yang pada gilirannya membantu membentuk otoritas keagamaan di kalangan komunitas Muslim.
Namun, rekonstruksi, reformulasi, dan modifikasi tradisi ini terjadi melalui proses historis yang kompleks. Apa yang sekarang terlihat sebagai modal sosial dan kultural ulama, yang memungkinkan mereka untuk melakukan semua perubahan tersebut, merupakan hasil dari akumulasi proses sejarah yang panjang di Indonesia.
Menurut beberapa kritikus, kajian Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama lebih bersifat sebagai sejarah pemikiran konvensional. Ia cenderung melihat pemikiran keislaman sebagai hasil dari usaha individu yang berasal dari Timur Tengah, ketimbang sebagai wacana intelektual dan politik yang berkembang di Nusantara. Penekanan besar Azra pada jaringan intelektual membuatnya kurang mengapresiasi bentuk-bentuk ekspresi keislaman yang mungkin berbeda di kalangan Muslim di Nusantara.
Fokus Azra memang terletak pada usaha pemikiran individu yang berbasis di Timur Tengah. Dalam pembahasannya, ia lebih banyak mengangkat tokoh-tokoh dari jaringan ulama seperti Nur al-Din al-Raniri, ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, al-Palimbani, dan Dawud Patani, yang terpengaruh oleh transmisi gagasan pembaruan Islam dari ulama di Makkah dan Madinah.
Selain itu, terdapat juga ulama yang setelah belajar di Makkah melanjutkan studi mereka di Kairo, tepatnya di Universitas Al-Azhar. Di antara mereka adalah Muhammad Arsyad, Sayyid Abd al-Shamad bin Abd al-Rahman al-Jawi al-Palimbangi, Abd al-Rahman al-Batawi, dan Abd al-Wahab al-Bugisi, yang merupakan sebagian dari Ashhab Al-Jawiyyin yang ingin menambah pengetahuan di Kairo. Salah satu representasi pelajar Al-Azhar yang sangat produktif adalah Muhammad Idris Abd al-Rauf al-Marbawi Al-Azhari.
Mona Abaza menjelaskan hubungan keilmuan Indonesia dengan Al-Azhar tersebut melalui konsep pengembaraan untuk mencari ilmu. Kebiasaan ini telah menjadi bagian dari tradisi keilmuan Islam, yang dimulai dengan usaha mengumpulkan hadis sahih dengan cara berpindah dari satu ulama ke ulama lainnya di berbagai negara. Tradisi ini kemudian menjadi etos dalam pengembangan keilmuan Islam, sehingga seorang santri dari Jawa perlu melakukan perjalanan jauh ke pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti Mekah atau Al-Azhar di Kairo.
Dibandingkan dengan Mekah yang lebih konservatif, Mesir telah menjadi pusat pengembangan pemikiran reformis, sehingga banyak santri dari Indonesia yang lebih tertarik untuk belajar di Kairo. Hal ini kemudian menginspirasi munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam di tanah air.
Mona Abaza kemudian memetakan karakter setiap generasi alumni menggunakan analisis sosiologi pengetahuan. Dengan cara ini, terlihat jelas bahwa Al-Azhar pada suatu periode dapat melahirkan alumni yang sangat konservatif, sementara di periode lainnya, menghasilkan alumni yang sangat liberal, yang memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, peran ini kemudian mengalami pergeseran, seiring dengan orientasi pendidikan Islam di Indonesia yang lebih mengarah ke Barat daripada ke Al-Azhar.
Keilmuan Islam yang diperoleh ulama Nusantara dari Timur Tengah kemudian disampaikan dengan cara yang jelas setelah melalui proses akulturasi dengan budaya lokal. Proses pribumisasi ini dilakukan, antara lain, dengan memanfaatkan bahasa lokal, yang pada akhirnya menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi dalam bahasa Jawa dan Indonesia Pegon.
Artikel Lainnya
-
152207/10/2019
-
36314/10/2024
-
182502/08/2020
-
Ontologi Hari Kiamat dan Alam Akhirat
42110/12/2023 -
Catatan Redaksi: Ketika Para Elite Berdangdut Koplo
146022/11/2020 -
Politik Indonesia Melawan Singapura: Kasus Eksekusi Mati Usman-Harun
93003/01/2023