Jakarta Internasional Stadium: Antara Simbol dan Kemerdekaan Warga

Jakarta Internasional Stadium: Antara Simbol dan Kemerdekaan Warga 22/04/2022 535 view Politik commons.wikimedia.org

Pemerintah DKI Jakarta telah menyelesaikan pembangunan sebuah stadion sepak bola yang diberi nama Jakarta Internasional Stadium (JIS). Pemberitaan di media massa, baik daring maupun luring, selalu menampilkan sisi gemerlap dari kehadiran landmark terbaru ibu kota tersebut.

Banyak media memberitakan bahwa kehadiran JIS tidak hanya diperuntukkan untuk pertandingan sepak bola tetapi bisa dipergunakan untuk berbagai kegiatan lain. Secara singkat dapat dipahami bahwa Pemerintah Kota Jakarta berupaya membangun tempat bagi warganya supaya memiliki fasilitas rekreasi, olah raga, dan bisnis yang terjamin kualitasnya.

Rangkaian ceremony peresmian stadion baru diadakan dengan mengundang beberapa tim sepak bola usia muda untuk mengikuti kompetisi bertajuk Internasional Youth Championship.

Pemerintah kota mengharapkan warga ibu kota dapat merasakan euforia dari kehadiran stadion bertaraf internasional. Kemegahan stadion bertaraf internasional ini tentu mengundang decak kagum dan rasa bangga di hati warga ibu kota. Namun, sungguhkah semua warga ibukota merasakan kekaguman dan kebanggaan terhadap stadion baru ini?

Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap realita di sekitar stadion sungguh mengejutkan. Terdapat warga yang tinggal di pemukiman merasakan ketidakadilan dari pembangunan stadion ini. Mereka harus kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal akibat dari hadirnya stadion megah di sekitar mereka.

Pengamatan penulis diperkuat dengan temuan dari tim Channel Youtube Asumsi. Tim reportase mereka menemukan paradoks dari kehadiran JIS. Tim berasumsi bahwa kehadiran JIS di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara membawa jerit tangis. Warga masyarakat sekitar tidak merasakan atau katakanlah belum merasakan manfaat dari kehadiran JIS di lingkungan mereka. Dalam temuan Tim Asumsi memaparkan hal serupa dengan hasil pengamatan penulis.

Beberapa temuan tersebut mengisyaratkan bahwa kehadiran JIS tidak atau belum memberikan kemerdekaan bagi warga sebagaimana tampilan dari desain Jakarta Internasional Stadium itu sendiri. Lantas, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah kota Jakarta?

Kehadiran JIS sebagai Pemantik Pemikiran

Kehadiran landmark di suatu tempat memiliki pesan yang hendak disampaikan bagi penikmat, pengunjung dan warga sekitar. Beberapa landmark dapat dijadikan contoh bahwa suatu bangunan mengisyaratkan simbol tertentu, semisal Patung Liberty sebagai simbol kebebasan bagi warga Amerika atau Menari Eiffel di Paris sebagai simbol peringatan suatu revolusi sosial berskala besar yang pernah terjadi di Prancis. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran suatu landmark tidak hanya dapat dinikmati dan dikagumi keberadaannya tetapi juga harus dipahami makna keberadaannya di suatu tempat. Kehadiran JIS merupakan manifestasi (simbol) dari kehendak yang diinginkan oleh manusia. Dengan kata lain, dalam pemikiran Paul Ricouer dijelaskan bahwa memahami simbol berarti berupaya memahami manusia.

JIS itu sendiri – menurut saya – merupakan suatu simbol bagi pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ada pesan tersembunyi yang hendak disampaikan oleh pemerintah. Kehadiran JIS tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi dan olah raga. Kehadiran JIS memiliki fungsi yang lebih jauh yaitu suatu harapan, cita-cita, dan kehendak yang ingin direalisasikan. Kehendak, cita-cita dan harapan itu terangkum di dalam stadion yang berbentuk topi adat khas suku Betawi. Topi adat diambil karena memiliki pemaknaan tentang kemerdekaan. Konon, pada jaman penjajahan penggunaan topi adat tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum pribumi non budak. Jadi dapat disimpulkan bahwa JIS merupakan suatu harapan, cita-cita dan kehendak pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan suatu makna tentang kemerdekaan.

“Jangan simbol doang! Waduh bahaya entar simbol doang.” Dua kalimat tersebut tercetus dari salah satu warga di Kampung Bambu. Mereka adalah warga sekitar yang terkena langsung dampak kehadiran dari JIS. Ungkapan bapak itu sangat menarik. Ia merasa bahwa kehadiran simbol JIS itu harus menggugat atau memprovokasi kita untuk merenungkan makna pergumulan eksistensial kita dalam hidup di dunia. Hal ini berarti bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diharapkan tidak boleh hanya puas diri pada pemaknaan dari desain. Kehadiran JIS harus mengarahkan perhatian kepada suatu pemaknaan dan tindakan yang mengarah pada pemenuhan makna baru bagi kehidupan warga sekitar dan pemerintah sendiri.

Paul Ricouer memberi penegasan akan pentingnya suatu pemaknaan baru dari kehadiran simbol. Simbol tidak hanya boleh dimaknai sebatas makna semantik tetapi juga harus mengungkapkan makna simbolik. Makna simbolik harus dipahami secara menyeluruh dengan melihat konteks pengalaman hidup manusia. Akibatnya adalah suatu pemahaman tidak boleh hanya berhenti pada ‘apa’ tetapi harus mampu memberikan ‘mengapa’. Hal ini berarti upaya memahami harus mampu merestorasi dan mengkritisi simbol yang ada. Restorasi dan kritik terhadap simbol ini mengarahkan pada suatu pemaknaan baru bagi kehadiran suatu simbol.

Kematian Sang Perancang

Kehadiran JIS sudah pasti mengandung pesan yang hendak disampaikan. Dalam pemikiran Paul Ricouer dijelaskan bahwa proses pemaknaan suatu simbol memiliki intensionalitas. Intensionalitas dimengerti sebagai upaya internal dan eksternal. Internal berkaitan erat dengan kemampuan simbol yang mengandung suatu daya kepercayaan dalam apa yang ditampakkan. Eksternal berkaitan erat dengan kemampuan simbol mempengaruhi pembaca untuk percaya atau yakin terhadap makna dari simbol. Hal menarik adalah bahwa unsur intensionalitas simbol itu sendiri bersifat otonom. Artinya adalah intensionalitas teks dapat dipisahkan dari makna si perancang atau penulis simbol.

Pada gilirannya perancang simbol itu menemui kematiannya. Kematian perancang membuka jarak antara simbol dengan pembaca. Jarak memberi kekayaan makna bagi suatu penafsiran simbol. Jarak itu sendiri membawa kebebasan bagi pembaca. Kebebasan dalam pengertian bahwa pembaca memiliki kesempatan menafsirkan simbol lepas dari makna perancang. Pembaca diperkenankan mengadakan suatu diskursus atau perbincangan. Hal ini mengandaikan simbol telah menjadi suatu konsumsi publik. Apabila suatu simbol telah dijadikan perbincangan umum, maka pembaca memiliki hak untuk mengaitkan dengan konteks di mana perbincangan itu dilakukan.

Berkaitan dengan kehadiran JIS dipahami bahwa tatkala media mulai membicarakan stadion itu berarti melepaskan suatu wacana ke publik. Media mulai berlomba-lomba membangun suatu wacana mengenai makna dari kehadiran JIS. Inisiatif media memberitakan kehadiran JIS patut diapresiasi. Namun, banyak media tidak berani atau sungkan membuka suatu pemaknaan lain. Artinya adalah media-media utama tidak bersedia melakukan pemberitaan sesuai dengan kenyataan masyarakat sekitar stadion. Akibatnya adalah publik hanya memahami satu sisi dari kehadiran JIS. Publik tidak mengetahui bahwa di balik kehadiran JIS masih menyimpan banyak permasalahan. Reporatase Tim Asumsi berusaha memunculkan wacana baru itu di depan publik.

Kehadiran pemberitaan dari tim asumsi tentu menambah pemaknaan bagi masyarakat. Masyarakat tentu akan semakin diperkaya pemaknaanya perihal kehadiran JIS bagi kehidupan mereka. Pemaknaan yang berlimpah ini diharapkan mampu menyadarkan masyarakat bahwa proses suatu memahami landmark harus mampu berkaitan dengan konteks dimana mereka tinggal. Simbol harus dimaknai dengan konteks tempat mereka tinggal.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya