Islam, Kolonialisme, dan Orientalisme

Setelah keruntuhan Kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 1258 M, peradaban Islam semakin kehilangan pengaruh terhadap perkembangan peradaban dunia. Semua menjadi jelas setelah Kekhalifahan Turki Utsmani jatuh. Islam kehilangan eksistensi dan pamornya dalam berkontribusi terhadap perkembangan peradaban, dibuktikan dengan sangat-sangat sedikitnya peraih nobel dari kalangan umat Islam.
Bangsa Barat yang boleh dikatakan sebagai subjek sentral peradaban saat ini, sebelumnya belajar pada dunia Islam. Akan tetapi justru kini menjadi sebuah ironi mengingat peradaban Islam begitu tertinggal dibanding barat. Peradaban Islam berjalan mengekor pada intelektualitas Barat, ditunjukkan dengan hampir keseluruhan pemikir Islam kontemporer pemikirannya menginduk pada gagasan-gagasan Barat.
Mengapa demikian? Mengapa bisa bangsa barat sebegitu perkasanya sekarang? Bagaimana bisa gagasan-gagasan barat terinternalisasi dalam tubuh pemikiran Islam?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan meninjau kembali pada awal abad ke-17 M di mana bangsa barat mengalami kemajuan teknologi dan revolusi industri. Melalui kemajuan dan revolusi industri tersebut bangsa barat melakukan penjelajahan samudera sehingga masuk dunia Islam. Tidak hanya sekadar masuk dan menjelajah, tapi dengan semboyan 3G (Gold, Glory, Gospel) barat melakukan kolonialisasi dan imperialisasi sejak saat itu.
Dalam melancarkan agenda kolonialisasi dan imperialisasi tersebut bangsa barat mengadakan kajian yang kemudian dinamakan orientalisme. Kolonialisme adalah dominasi suatu bangsa atau wilayah oleh negara atau bangsa asing dengan praktik memperluas dan mempertahankan kontrol politik dan ekonomi suatu bangsa atas pihak atau wilayah lain. Sedangkan orientalisme adalah disiplin untuk memahami segala sesuatu tentang ketimuran yang tiada lain adalah Islam.
Kolonialisme dan orientalisme adalah dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain. Edward Said menjelaskan dalam bukunya Orientalism bahwa orientalisme merupakan sebuah alat bagi bangsa barat untuk mengetahui segala sesuatu terkait bangsa-bangsa Timur antara lain Islam. Lebih lanjut, Edward Said menjelaskan bahwa orientalisme ialah gaya bangsa Barat untuk mendominasi dan menguasai bangsa timur.
Mengetahui segala sesuatu berarti menguasai. Dengan diketahuinya segala sesuatu berkaitan dengan kucing berarti meniscayakan upaya kita menguasai kucing itu. Sama arti dengan barat yang mencoba mengetahui segala sesuatu tentang timur, memahami hal-hal terkait timur beserta lingkungannya, maka di situ berarti barat mencoba untuk menguasai timur. Orientalisme merupakan representasi kekuasaan kolonial atas timur.
Wacana orientalisme memanifestasikan diri sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau jaringan berbagai kepentingan dan makna yang sifatnya intertekstual. Sistem ide atau jaringan makna tersebut ialah dalam berbagai konteks baik sosial, politik, budaya, maupun agama. Semua konteks itu diupayakan untuk dipahami betul supaya bangsa barat benar-benar mampu mendominasi dan menghegemoni dengan bekal penelitian dan pengetahuan dari para orientalis tersebut.
Para orientalis mempunyai andil besar dalam memberikan sumbang saran dan masukan kepada pemerintahan kolonial dalam menetapkan kebijakan strategisnya. Beberapa kebijakan tersebut umpamanya di Indonesia antara lain pembentukan suatu badan khusus yang mengawasi keberagamaan Islam dan pendidikan Islam. Dari badan ini pemerintah mengeluarkan peraturan baru yaitu setiap warga yang akan mengajar pengajaran agama Islam wajib melewati izin pemerintah Belanda.
Pada tahun 1925, keluar lagi peraturan yang lebih ketat, yaitu bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran mengaji kecuali mendapat rekomendasi dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1932, keluar peraturan yang berisi wewenang untuk memberantas dan menutup madrasah yang memberikan materi pembelajaran berbeda dengan aturan pemerintah Belanda atau disebut juga dengan Wilde School Ordonantie. Dengan itu, tentu berdampak pada bagaimana pengetahuan keagamaan Islam generasi muda Islam yang akan menjadi penerus peradaban, dari sinilah barat menginternalisasi gagasan-gagasan dan nilai-nilainya ke dalam tubuh Islam.
Orientalisme yang bergerak membonceng kolonialisme membawa metodologi kajian ala barat yang katanya rasional, ilmiah, objektif dan progesif. Metodologi kajian yang rasional, ilmiah, objektif dan progesif tampak begitu mempesona. Atas hal itu sedikit banyak kalangan cendekiawan pribumi Islam meninjau dan mengadopsi metodologi kajian dan mode berpikir yang demikian. Ada kelebihan berupa kesadaran masyarakat Islam akan stagnasi dan ketertinggalan yang ada dalam internal dirinya, ada kekurangan berupa kontroversi yang lahir di satu sisi yang menjadi konflik internal daripadanya.
Zaman ketika dunia Islam dijajah oleh kolonial, selain wilayah sosial, ekonomi dan politiknya; wilayah intelektualnya pun digarap oleh barat. Garapan intelektual tersebut menentukan sikap dan pemahaman akan Islam. Betapapun demikian Islam dalam pandangan orientalis terlihat begitu minor dan disudutkan.
Peradaban Islam saat ini cukup jauh dari kata maju dan memimpin gerak peradaban. Gagasan pemikiran dari para filsuf atau pemikir Islam kontemporer tidak jauh terlepas dari tradisi intelektualitas bangsa barat. Barat bisa sebegitu perkasanya sekarang karena orientasi ekspansif dan progresif yang mengakar dalam dirinya. Gagasan-gagasan barat bisa terinternalisasi dalam tubuh pemikiran Islam karena dominasi dan hegemoni yang dilakukan daripadanya sejak era kolonialisme.
Artikel Lainnya
-
9115/06/2023
-
101828/03/2021
-
68122/12/2021
-
Demokratisasi Pemilu: Melampaui Demokrasi Prosedural Menyongsong Pemilu 2024
27904/05/2023 -
Media Sosial: Cahaya dan Arah di Tengah Wabah
129903/04/2020 -
Novel dalam Dekapan Hukum Fiksi
123416/06/2020