Influencer: Yang Kami Tahu Kami Wajib Berderma

Guru di Canisius College Jakarta
Influencer: Yang Kami Tahu Kami Wajib Berderma 18/05/2020 1049 view Opini Mingguan kunc.org

Secara sederhana, influencer adalah seseorang yang memiliki pengaruh di dalam masyarakat. Influencer biasanya dikaitkan dengan selebritis, blogger, youtuber, atau figur publik tertentu yang memiliki pengaruh dalam masyarakat dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Blog dan lain sebagainya. Mereka memperoleh pendapatan dalam jumlah besar dari tayangan yang ditonton masyarakat Indonesia dalam berbagai platform media sosial tersebut.

Di tengah pandemi akibat Covid-19, aktivitas filantropi dari para influencer tanah air dituntut oleh banyak pihak sebagai wujud nyata kepedulian sosial mereka terhadap sesama yang terdampak pandemi. Tuntutan ini sifatnya moral semata karena dalam kecukupannya mereka mempunyai kapasitas untuk berbagi dan membantu sesama. Mereka dituntut untuk melakukan apa yang diuangkapkan tokoh dr. Riuex dalam novel La Peste (Sampar) karya Albert Camus, “ketimbang berteori dengan cara memberikan penjelasan abstrak mengenai situasi yang kita alami, kita seharusnya membantu korban dengan cara apa pun yang kita bisa lakukan.”

Akan tetapi, tanpa mengabaikan tindakan nyata sama sekali, ada pertarungan gagasan tentunya di sana yang tak boleh dianggap sepele. Sebagian mengatakan bahwa keterlibatan para influencer dalam aktivitas filantropi merupakan suatu kewajiban terhadap sesama. Titik. Sebagian lagi mengatakan bahwa kedermawaan mestinya diletakkan sebagai hak pribadi yang tidak dapat dipaksakan kepada seoarang individu.

Tulisan ini hendak menentang gagasan yang mengatakan bahwa kedermawaan mestinya diletakkan sebagai hak pribadi yang tidak dapat dipaksakan kepada seoarang individu. Sebagai gantinya, saya mengusulkan bahwa kedermawaan merupakan suatu kewajiban moral seseorang kepada sesama yang membutuhkan. Dalam kasus para influencer yang diangkat dalam tulisan ini, kapasitas mereka untuk dapat membantu, dalam hal ini kekayaan yang mereka miliki, “memaksa” mereka untuk wajib peduli terhadap sesama. Lantas, bagaimana sikap peduli sebagai sebuah kewajiban ini dapat diterima sebagai sesuatu yang rasional?

Hemat saya, gagasan yang melihat bahwa kedermawaan atau sikap peduli sebagai hak pribadi seseorang yang tidak bisa dipaksakan seringkali dibenarkan antara lain oleh anggapan bahwa: (1) ‘orang yang mempedulikan’ harus memiliki kedekatan atau hubungan langsung dengan ‘orang yang dipedulikan’; dan (2) kedermawaan yang dilakukan oleh seseorang hendaknya tidak dipaksakan sebagai sesuatu tuntutan moral yang wajib dilakukan, melainkan sebagai urusan pribadi seseorang.

Pertama, saya ingin melihat kekeliruan dalam gagasan pertama di atas. Sebagian mengatakan bahwa kita tidak mempunyai kewajiban untuk menolong orang lain yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan kita. Dalam buku Caring: A Feinine Approach to Erhics and Moral, Nel Noddings, seorang tokoh etika feminis, mengatakan bahwa hubungan kepedulian hanya akan terjadi apabila ‘orang yang dipedulikan’ menerima dan mengakui kepedulian ‘orang yang mempedulikan’ dalam suatu perjumpaan yang personal. Menurutnya, tanpa keadaan semacam ini, kewajiban untuk peduli tidak ada sama sekali (James Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 300).

Alasan di atas kiranya kurang tepat karena pertama, hubungan langsung dengan orang yang dipedulikan bukanlah alasan mutlak bagi kita untuk membantu mereka. Satu-satunya hal yang menuntut kita untuk peduli terhadap orang lain adalah dorongan hati nurani kita untuk menolong orang lain. Dorongan hati nurani isi sifatnya adalah wajib bagi setiap orang. Artinya, di balik tindakan yang kita lakukan terdapat suatu “hukum universal” yang berlaku bagi semua orang di mana pun dan kapan pun. Dalam hal ini, tuntutan hati nurani “menolong orang lain” adalah sebuah hukum universal sehingga siapa pun wajib mengikuti aturan itu (bdk. James Rachels, terj., Sudiarja, 2004:220-221).

Kita bisa melihat hal ini dengan jelas dalam contoh kasus “Koin untuk Prita” pada 2009 silam. Pada 2008, Prita Mulyasari terlibat dalam kasus pencemaran nama baik Rumah sakit Omni Internasional, Tangerang Selatan. Prita dijerat dengan Pasal 310 dan 211 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) dengan hukuman penjara. Untuk dapat terlepas dari hukuman ini, ia harus membayar denda kepada pihak rumah sakit. Dimulai pada Desember 2009, muncul gerakan penggalangan dana dari berbagai pihak yang bersimpati kepada Prita yang kemudian dikenal dengan gerakan “Koin untuk Prita”. Atau dalam contoh kasus lain, di mana orang memberikan uang kepada organisasi UNICEF yang membantu memberi vaksin kepada anak-anak dunia ketiga yang terkena penyakit polio, TBC, cacar, tetanus, dan sebagainya.

Dalam dua kasus di atas, kita bisa melihat bahwa orang yang menyumbang tidak mengetahui sama sekali orang yang dibantunya. Dalam hal ini, orang yang membantu Prita dan yang memberikan sumbangan kepada UNCEF sama sekali tidak memperoleh “penerimaan dan pengakuan kepedulian” masing-masing dari Prita dan anak-anak dunia ketiga tersebut. Artinya tidak ada kedekatan sama sekali antara ‘orang yang peduli’ dan ‘yang dipedulikan’. Dalam banyak kasus kita menjumpai hal semacam ini. Kita menyumbang biasaya pendidikan anak-anak di panti asuhan, misalnya, tanpa pernah mengenal mereka. Satu-satunya hal yang rasional di sini adalah bahwa mereka dibantu karena kita wajib melakukannya. Kewajiban itu berasal dari perintah hati nurani yang tak dapat kita tolak ketika kita menyaksikan berbagai penderitaan sesama kita. Inilah yang ditekankan oleh Immanuel Kant, tokoh etika terkenal abad ke-18, bahwa suatu tindakan dapat dinilai baik dan buruknya bukan dari dampaknya, melainkan dari niat yang mendorong tindakan tersebut.

Kedua, saya melihat bahwa gagasan yang melihat kedermawaan sebagai hak pribadi yang tidak dapat dipaksakan kepada seorang individu adalah keliru justru karena para influencer dalam kasus di atas memiliki kapasitas untuk berbagi. Penalarannya adalah mereka berkelebihan dan karenanya mereka dapat menyisihkan sebagian dari keberlebihan mereka itu untuk membantu orang lain yang berkekurangan. Apabila dalam kelebihannya mereka tidak membantu, mereka justru mengingkari dirinya sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “lebih” artinya “ber(sisa); ada sisanya”. Artinya mereka yang mempunyai kelebihan memiliki dalam dirinya sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya, yang tanpa hal itu pun tak ada sesuatu apapun darinya akan hilang. Mereka baru bisa dikatakan berkelebihan apabila mereka menegaskan hal ini dengan memberikan ‘yang sisa’ itu kepada orang lain. Tentu saja seseorang sulit untuk membantu apabila ia juga berkekurangan.

Selain itu, di tengah situasi pandemi ini, tidak ada dari antara apa yang dimiliki oleh orang yang berkelebihan itu (baca: para influencer), uang, harta kekayaan, dan lain sebagainya, yang lebih berharga dari pada nyawa dan keselamatan orang-orang yang terdampak pandemi ini. Oleh karena itu, mereka wajib memberi dari kelebihan mereka kepada orang-orang berkekurangan yang terdampak pandemi ini.

Akhirnya, tulisan ini hendak menegaskan bahwa di tengah pandemi akibat Covid-19, bukan saatnya lagi bagi setiap orang untuk memberikan penjelasan abstrak mengenai mengapa ia berbuat baik dan untuk apa ia mesti peduli terhadap orang lain. Yang jauh lebih penting adalah bahwa ada tuntutan nurani yang tak patut disepelekan yang mendorong kita untuk berderma kepada orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita. Tuntutan nurani itu seringkali muncul begitu saja sebagai sesuatu yang wajib kita lakukan, sebagai wujud rasa kemanusiaan kita. Ia sering kali tak bernama dan tak berwajah. Yang kita tahu adalah kita wajib melakukannya. Aturan inilah yang hendaknya mendorong setiap influencer untuk membantu sesamanya di tengah pandemi ini.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya