Independensi Mahkamah Konstitusi

Pengajar di STPM Santa Ursula Ende
Independensi Mahkamah Konstitusi 17/04/2024 401 view Politik Antarafoto.com

Pemilihan Umum 2024 telah diselenggarakan dan sedang menyisahkan proses sengketa yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Masing-masing pihak dari tiga kandidat presiden dan wakil presiden tengah berjuang meyakinkan MK dengan berusaha menghadirkan sejumlah saksi dan bukti di dalam persidangan. Tim pasangan calon presiden dan wakil presiden Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud rupanya memiliki pekerjaan yang terbilang cukup berat kerena keduanya hadir sebagai pemohon yang tentunya harus berusaha memberi bukti kepada materi aduan.

Sejumlah saksi telah dihadirkan oleh masing-masing pasangan calon, bahkan dengan menghadirkan sejumlah menteri kabinet Jokowi dalam persidangan sengketa. Empat menteri yang bersaksi di MK itu adalah Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Keempatnya memaparkan lengkap terkait pembagian bansos menjelang pemilu dan juga alasan mengapa pembagian bansos dirapel menjelang Pemilu 2024 (detik.com, 6 April 2024).

Bahkan dalam proses sengketa beredar wacana untuk juga menghadirkan Kapolri, Kepala BIN, Megawati hingga Presiden Jokowi. Namun hingga saat ini MK belum memutuskan untuk menghadirkan sejumlah tokoh publik tersebut dalam proses sengkata Pilpres.

Di tengah proses kisruh sengketa Pilpres yang telah berlangsung sejak 27 Maret hingga putusan pada 22 April publik juga disuguhkan oleh opini Megawati Soekarnoputri pada Senin, 08 April 2024 dengan judul "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi". Dalam opininya tersebut Presiden ke-5 RI menguraikan tentang penantian akan keadilan sejati di Mahkamah Konstitusi. Mega berharap bahwa hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengambil keputusan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanan, dan tidak membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan (”abuse of power”) dalam sejarah demokrasi Indonesia terjadi.

Lebih lanjut Megawati juga menyatakan bahwa ketukan palu hakim MK akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan (kompas.id, Senin 08 April 2024). Bertolak dari pernyataan Megawati dan kisruh sengketa Pilpres yang sedang terjadi di MK maka ada beberapa hal yang patut ditelaah lebih jauh. Hal ini terutama berkaitan dengan konflik kepentingan dan di sisi lain berkaitan dengan independensi hakim mahkamah konstitusi.

Konflik Kepentingan

Pernyataan Megawati tentang kenegarawanan hakim MK tidak bisa terlepas pisahkan dengan posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDIP yang merupakan partai pengusung Ganjar-Mahfud yang juga merupakan salah satu pemohon dalam gugatan Pilpres 2024. Pernyataan Megawati terkait keputusan yang sejatinya harus diambil oleh MK tentunya sarat akan conflict of interest (konflik kepentingan). Hal ini terutama Megawati bagian dari pemohon yang mengajukan gugatan dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Konflik kepentingan juga terutama berkaitan dengan agenda kepentingan di balik wacana yang ditujukan dengan maksud mempengaruhi orang lain atau mempengaruhi keputusan orang atau kelompok lain. Konflik kepentingan terjadi terutama keterlepasan kita pada independensi.

Menjadi sangat etis ketika kita mengarahkan orang atau kelompok lain ketika kita berada pada zona independen. Menjadi sosok yang independen tentunya harus menjadi teladan. Teladan menjadi kunci penting, agar bisa bebas kepentingan.

Mencari sosok teladan barangkali adalah salah satu permasalahan pada setiap bangsa, termasuk negara ini. Salah satu kisah teladan yang cukup masyhur di negeri ini adalah riwayat tentang Hoegeng. Ketika diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia, Hoegeng ”memerintahkan” istrinya untuk menutup toko kembangnya karena khawatir akan mengganggu pelaksanaan tugasnya tersebut. Padahal, toko tersebut adalah pendukung ekonomi keluarganya karena banyaknya kebutuhan setelah pindah tugas dari Medan (Suhartono, 2016).

Negarawan sejati juga seharusnya belajar dari Hoegeng, ketika sesorang hendak menempatkan dirinya sebagai negarawan sejati maka ia harus juga mampu menanggalkan jubah-jubah kepemimpinan kepada orang lain. Sebab jika ia berbicara tentang negarawanan sejati, berbicara tentang etika dengan maksud menilai dan menjudge orang lain tentu posisinya harus bebas dan independen.

Independensi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi tentunya harus bergerak pada prinsip-prinsip supermasi hukum. Hakim Mahkamah Konstitusi tentunya harus bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

Penyelesaian sengketa Pilpres memberikan ruang hukum bagi pihak yang kalah dalam pilpres untuk membuktikan dalil-dalil hukumnya di persidangan. Dengan adanya mekanisme hukum dalam sengketa pilpres ke MK akan memberikan saluran hukum untuk pihak yang merasa telah dirugikan untuk dapat mengajukan permohonan, mengikuti persidangan, dan mendapat keputusan.

Secara teoritis, untuk dapat menggugurkan keputusan KPU tentang penetapan perolehan hasil pemilu pemilu presiden dan wakil presiden adalah dengan membuktikan telah terjadi pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam pemilu.

Terstruktur artinya pelanggaran yang melibatkan penyelenggara pemilu serta aparatur pemerintah dan keamanan. Sistematis maksudnya pelanggaran tersebut sudah direncanakan sejak awal, dan masif atau meluas artinya terjadi secara menyeluruh di banyak tempat. Semua tindakan itu harus mempengaruhi hasil pilpres. Jika tidak mempengaruhi hasil pilpres, maka tidak masuk dalam TSM (detik.com, 1 April 2024).

Pada penyelesaikan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi menggunakan asas speedy trial dalam membuktikan adanya kecurangan yang TSM. Menurut Edward Omar Sharifj Hiariej (2019) dalam keterangannya sebagai saksi ahli dalam persidangan di MK, mengatakan bahwa dalam speedy trial, kualitas dari alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan menjadi sangat penting, bukan pada kuantitas atau banyaknya bukti. Alat bukti menjadi sangat penting tidak hanya sekedar narasi dan opini semata. Negara Indonesia tidak berdiri atas narasi-narasi semata melainkan berdiri atas prinsip keadilan substantif dan keadilan prosedural. Sengketa pemilu ini sangat khusus, menyangkut kelangsungan nasib bangsa dan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum.

Sengketa pilpres juga merujuk pada asas actori in cumbit probatio bahwa “siapa yang menuntut, dialah yang wajib membuktikan”. Dalam konteks pilpres pemohon harus mampu membuktikan bahwa memang ada pelanggaran pemilu, dan pembuktian tersebut harus sejalan dengan alat bukti dan keterangan saksi bukan atas narasi-narasi.

Dengan demikian maka, pihak pemohon atau penggugat jangan memaksakan kehendak kepada hakim MK dan di sisi lain tidak dapat menunjukan bukti yang signifikan. Mahkamah konstitusi tentunya bergerak sesuai dengan alur dan mekanismenya dalam menentukan keputusan. Ikuti alur dan mekanismenya dengan mengajukan bukti yang cukup.

Melalui penyerahan proses penyelesaian sengketa Pilpres kepada MK maka terdapat beberapa point penting yakni; Pertama, publik berharap agar pertarungan hukum dalam sengketa Pilpres 2024 mampu menghadirkan bukti-bukti yang memiliki nilai pembuktian sehingga bisa menjadi fakta hukum, bukan mencampurkan atau memaksakan narasi atau opini menjadi fakta persidangan.

Kedua, di tengah tergerusnya kepercayaan publik terhadap MK menyusul dampak putusan kontroversial terkait keputusan perkara Nomor 90, publik pun berharap MK harus bersikap independent dan imparsial tanpa memihak sehingga akan melahirkan suatu putusan hukum yang adil bagi seluruh rakyat.

Ketiga, putusan MK bersifat final dan mengikat, oleh karena itu putusan MK harus diterima oleh para pihak dan pendukungnya dengan jiwa besar dan putusan MK dimaknai bagian dari proses rekonsiliasi pasca Pilpres 2024.

Keputusan MK tentunya tidak harus mampu memenangkan semua pihak namun melalui alat bukti yang ada dan didukung dengan keterangan saksi harus mampu memberikan rasa adil kepada publik. Sebab keadilan tidak hanya milik golongan tertentu, melainkan menjadi milik seluruh rakyat Indonesia dan milik mayoritas pemilih.

Memaksakan kehendak kepada hakim MK tentunya tidak etis dan bertentangan dengan prinsip supermasi hukum. Apalagi memaksakan kehendak punya kaitannya dengan memberikan dua pilihan dan disaat yang sama kita berada pada salah satu pilihan yang harus diambil oleh MK.

Pada akhirnya semua pihak harus mendukung Mahkamah Konstitusi bekerja seprofesional mungkin agar keadilan bisa terwujud bagi semua orang, bukan hanya pada golongan tertentu. Dan lebih dari itu keadilan bukanlah milik orang-orang yang haus akan kekuasaan, melainkan milik orang-orang yang memiliki hati nurani pada negeri ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya