Implikasi Pemikiran Pendidikan Socrates

Socrates (470-399 SM) adalah filsuf besar dan telah menjadi pilar penting dalam sejarah filsafat Yunani bahkan Barat. Kita mengenal Socrates secara tak langsung melalui tulisan-tulisan Plato (muridnya) dan sahabat-sahabat sezamannya. Khusus dalam bidang pendidikan, Socrates menjadi salah satu pemikir yang gagasannya diterima sebagai kiblat penting dalam dunia pendidikan. Melalui The Story of Philosophy (1926), Will Durant mengafirmasi bahwa Socrates adalah salah satu tokoh besar dalam dunia pendidikan. Terkait pendidikan, Socrates menyumbangkan gagasan cemerlang terutama tentang metode pendidikan dan syarat penting dalam proses pendidikan.
Pertama, metode pendidikan terbaik menurut Socrates adalah “metode kebidanan” (majeutika tekne). Seperti peran bidan dalam proses membantu kelahiran anak, demikian juga peran pendidik dalam membantu peserta didik. Pendidik harus membantu anak didik agar bisa “melahirkan”, mengaktualisasikan diri, dan mendorong keluar potensi pengetahuan yang dimiliki. Pendidik seumpama bidan yang “membantu kelahiran” bukan “melahirkan” pengetahuan. Pendidik hanya membantu proses “kelahiran” pengetahuan. Anak didik sendirilah yang “menjadi subjek yang melahirkan”.
Kiasan ini hendak mengatakan bahwa sukses dalam proses pendidikan sangat ditentukan oleh kesanggupan seorang pendidik dalam menuntun dan mengarahkan anak didik untuk “melahirkan” potensi-potensi dasar terbaik mereka. Namun proses ini mengandaikan keahlian dan kapasitas guru khususnya melalui metode dialektika (metode dialog pendidik-peserta didik). Proses pendidikan dan sistem pengajaran berjalan dalam dua arah, dialektis. Cara ini dimaksudkan untuk menghasilkan ide-ide alami yang datang dari pemikiran dan pandangan peserta didik sehingga dengannya tindakan yang tepat dapat dimungkinkan.
Kedua, syarat penting dan hasil didik itu sendiri. Metode majeutika tekne melalui dialog jika dilakukan akan mampu menuntun para peserta didik mencapai gnoti se auton (pengenalan akan diri sendiri). Pengenalan diri sesungguhnya menjadi tuntutan dan syarat utama agar manusia dapat hidup, berperilaku, dan bertindak secara rasional dan moral. Namun kesadaran rasional dan moral pun hanya mungkin kokoh jika ditopang oleh refleksi yang terus menerus atas setiap pengalaman hidup. Maka refleksi juga adalah bagian penting dalam dunia pendidikan karena berpengaruh pada kemajuan dalam proses didik.
Socrates memberi penekanan tentang arti pentingnya refleksi. Dalam persoalan hidup umumnya, Socrates menegaskan bahwa hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak dihidupi. Dengan kata lain, hidup itu bermakna, bernilai, dan layak dihidupi jika direfleksi secara terus menerus. Hidup menjadi dinamis, aktif, terus bergerak, dan terus berkembang. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa selain majeutika tekne dan gnoti se auton, refleksi berada pada posisi penting dalam dunia pendidikan. Refleksi dimaksudkan agar individu sanggup melihat ke dalam diri sendiri, ke dalam relung-relung kehidupan sendiri dalam kaitannya dengan kehidupan sosialnya.
Refleksi adalah suatu “gerakan kembali”, untuk memeriksa setiap pengalaman hidup, segala yang telah dilakukan, sikap dan keputusan-keputusan atas suatu peristiwa di masa lalu. Dengan refleksi individu memperoleh kekuatan baru untuk menjalani hidup di masa datang. Kekuatan dan semangat hidup di masa depan hanya mungkin diperoleh setelah penyelisikan dan pengoreksian atas setiap pengalaman, perilaku, tindakan, dan keputusan masa lalu. Senada dengan Socrates, John Dewey dalam bukunya Experience and Education (1938) melihat pengalaman sebagai basis pendidikan. Karena itu pendidikan baginya adalah proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus demi menyusun kembali (reconstruction) dan menata ulang (reorganization) hidup subjek didik.
Sejarah peradaban telah membuktikan kekuatan dari refleksi. Refleksi telah melahirkan berbagai gerakan-gerakan sosial kemanusiaan seperti gerakan-gerakan pembebasan (Amerika Latin, Afrika, dan Asia). Dengan demikian penting agar refleksi diberi ruang di dalam hidup manusia pada umumnya dan dalam dunia pendidikan pada khususnya.
Tidak dimungkiri jika dunia pendidikan Indonesia mengalami kemajuan pesat, menghasilkan jutaan cendekiawan, dan orang-orang hebat, yang kemudian menduduki berbagai jabatan strategis di tengah masyarakat. Melalui kemajuan sains dan teknologi, dunia pendidikan terasa melesat maju dalam hal infrastruktur maupun sistem. Namun rupa-rupanya, di tengah gemerlap benderang dunia pendidikan modern, tergores pula kisah pedih yang mengakar begitu dalam ke relung paling sublim dari pendidikan itu sendiri. Proses pengenalan diri, yang sebetulnya terkait metode dan refleksi dalam proses pendidikan, mengalami persoalan serius. Berbagai fakta memperlihatkan aneka kontradiksi antara konsep dan hakikat pendidikan. Cukup banyak pendidik dan terdidik bergantian melakukan tindakam tak terpuji di tengah masyarakat. Berbagai kasus immoral menginfeksi pendidik dan peserta didik. Kecenderungan ini melahirkan paradoks dan kontraproduktif dalam dunia pendidikan.
Terkait gagasan Socrates tentang tiga unsur penting dalam pendidikan (metode, pengenalan diri, dan refleksi), pendidikan hari ini perlu meningkatkan ketiga unsur ini. Terdapat kecenderungan bahwa pendidikan mengedepankan “mengajar” ketimbang “mendidik”. Kecenderungan ini bukan kebetulan tetapi dipengaruhi oleh beragam faktor di antaranya desakan materi ajar, dan lebih-lebih, pendidikan sendiri sedang mengalami pergeseran orientasi. Terutama dunia pendidikan berada pada momentum modernitas dimana mesin dominasi bernama teknologi perlahan mengakuisisi semua bidang kehidupan, dunia pendidikan ikut terseret ke dalam kepentingan ekonomi, disemangati nuansa kompetitif demi persaingan di pasar global. Semangat menciptakan insan yang memiliki ketajaman pikiran, peka, dan halus perasaan kian tenggelam oleh orientasi pasar.
Akhirnya metode pendidikan kini terasa mirip “pendidikan gaya bank” (Paulo Freire, 1970) dimana pendidikan hanya seperti menabung. Peserta didik sebagai tabungan dan guru sebagai penabung. Dengan begitu proses “melahirkan” potensi-potensi terbaik diri menjadi semakin sulit. Simpulnya peserta didik “dipaksa” untuk hidup dalam “keragaman rumus” bukan “keragaman realitas”. Peserta didik kesulitan mengenal diri, mengenal kedalaman pengalaman hidupnya (interaksi dan relasi dengan dunia di luar dirinya), dan sulit bertindak dalam kaidah dan koridor etis komunitas. Pendidikan cenderung menopang pengajaran-pengajaran ilmu teknis. Peserta didik lebih banyak “dijejali” bahan ajar demi kejar target “kemajuan” ketimbang “dibimbing” untuk mengenal sisi-sisi hidupnya, kemanusiaannya.
Berbagai argumentasi di atas tidak bermaksud menyepelekan dan menyamaratakan pendidikan Indonesia hari ini. Berbasis pada refleksi atas UU Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, beragam paradoks dan ambiguitas dunia pendidikan terutama masifnya penyimpanan etik dan moral yang dilakukan pendidik dan peserta didik, ada hal yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini. Perlu diakui bahwa dunia pendidikan Indonesia (dalam beberapa alasan) kehilangan daya magisnya sebagai ruang kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan rasional dan moral yang cakap bagi manusia Indonesia. Memang terkesan berlebihan. Namun permasalahannya juga mengglobal. Sehingga kritik dari Henry Giroux melalui bukunya On Critical Pedagogy (2020) rasanya tepat. Pendidikan bergerak ke arah sebaliknya, dari perannya sebagai pembentuk kehidupan publik, politik, dan kultural menjadi pendidikan yang dibentuk oleh dunia pasar yang menekankan bagaimana beradaptasi dengan dunia industri.
Pada akhirnya, pokok persoalan dari berbagai fenomena dunia pendidikan yang dialami bangsa ini, berdasarkan inspirasi Socrates, dapat dipetakan ke dalam tiga masalah krusial yang telah mengakar. Pertama, penerapan metode majeutika tekne yang belum konsisten di dalam ruang kelas. Kedua, upaya mencapai gnoti se auton melalui dialektika guru-murid belum maksimal. Ketiga, minimnya waktu untuk koreksi dan refleksi bersama terkait kedua hal di atas. Untuk itu pengalaman dalam dinamika pendidikan hari-hari ini (positif dan negatif) kiranya dapat memperkaya segenap elemen terkait untuk duduk bersama dan bermusyawarah sehingga rekonstruksi dan re-organisasi sistem pendidikan dapat dimungkinkan demi kebaikan bersama. Mengakarkan kembali gagasan Socrates dapat menjadi salah satu alternatif bagi pendidikan Indonesia di tahun-tahun mendatang. Maka penting bagi kita semua untuk memikirkannya.
Artikel Lainnya
-
150524/04/2021
-
112614/12/2021
-
134923/06/2020
-
Pilkada Serentak 2020 dalam Perangkap Oligarki
104225/01/2020 -
60613/05/2022
-
Teknologi Digital Versus Kaum Biarawan-Biarawati
208230/11/2020