Implementasi Prinsip Diferensiasi Fungsional Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Jika kita berbicara mengenai hukum acara pidana atau hukum pidana formil maka tidak akan lepas kaitannya dengan apa yang kita sebut sebagai sistem peradilan pidana. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai “the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana.
Dengan kata lain sistem peradilan pidana dengan segala macam peralatannya menjadi jembatan penghubung antara ketentuan tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan bagaimana cara mengimplementasikannya, yakni melalui lembaga penegak hukum sebagaimana yang telah ditentukan di dalamnya.
Menurut Romli Atmasasmita (2010:4), yang dimaksud sebagai sistem peradilan pidana ialah suatu penegakan hukum atau law enforcement, maka di dalamnya terkandung aspek hukum yang menitikberatkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum. Di lain pihak, apa bila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitik beratkan kegunaan (expediency). Secara inheren upaya pembagian kewenangan lembaga dalam menyelenggarakan penegakan hukum sistem peradilan pidana telah dikenal di dalam prinsip diferensiasi fungsional sebagaimana yang dipahami di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pada prinsipnya, diferensiasi fungsional menyatakan bahwa setiap bagian sistem peradilan pidana yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain. Namun, arti terpisah di sini bukan berarti tidak adanya keterkaitan atau hubungan di antaranya. Karena pada faktanya ke semua sub-sistem tersebut terkoneksi dan terintegrasi sebagai suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang bertajuk Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, hal. 47 yang menyatakan bahwa prinsip diferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas "penjernihan" (clarification) dan "modifikasi" (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.
Penjernihan pengelompokkan tersebut diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi.
Berkaitan dengan hal itu secara yuridis KUHAP telah menempatkan semua sub-sistem tersebut ke dalam kewenangannya masing-masing, seperti misalnya lembaga Kepolisian yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyelidikan (Pasal 5 Ayat (1) huruf a KUHAP) dan penyidikan (Pasal 7 Ayat (1) KUHAP), kemudian lembaga Kejaksaan yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan penuntutan (Pasal 14 huruf g KUHAP), serta lembaga Pengadilan yang diberikan kewenangan untuk mengadili suatu perkara (Pasal 152 Ayat (1) KUHAP).
Beberapa pihak beranggapan bahwa keberadaan prinsip diferensiasi fungsional justru berimplikasi terhadap semua sub-sistem peradilan pidana yang menjadi terfragmentasi. Ironisnya, situasi tersebut tentu berdampak pada sulitnya mewujudkan sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system), karena tak jarang antar lembaga penegak hukum terjadi konfrontasi persepsi, mis-interpretasi, dis-koordinasi sehingga yang terjadi hanyalah ego-sektoral, bukan justru berupaya untuk mewujudkan keadilan yang substansial.
Kesalahan memahami konsep diferensiasi fungsional tersebut tentunya menimbulkan rendahnya koordinasi dan ketiadaan chemistry antar lembaga penegak hukum dalam mewujudkan suatu sistem peradilan pidana yang selain integratif tetapi juga efektif.
Seperti contoh misalnya, dari suatu perkara pidana yang sedang diperiksa pada tingkat penyidikan dalam hal ini penyidik sudah yakin betul bahwa berkas sudah lengkap (P-21) setelah dilakukan penyidikan, pengumpulan alat bukti dan pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP) dan saksi-saksi dan dengan itu penyidik segera melimpahkan berkas hasil penyidikan tersebut pada penuntut umum untuk diperiksa kembali, diteliti dan dipelajari (Pra-penuntutan).
Akan tetapi, misalnya, penuntut umum memiliki pendapat lain atas perkara tersebut seperti tidak cukupnya bukti atau bahwa perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi kepentingan hukum, yang kemudian atas pertimbangan Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP dan disertai pendapat lain yang memperkuatnya pada akhirnya penuntut umum dengan kewenangannya kemudian menghentikan penuntutan dan menutup perkara tersebut.
Atau contoh lain misalnya, tertundanya penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada penuntut umum sehingga hal semacam itu justru tidak merefleksikan asas koordinasi, transparansi dan prinsip persidangan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang diperintahkan dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP, kendati telah berubah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang dalam pokok amar putusannya pada butir kedua menyatakan bahwa Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum" tidak dimaknai "penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan".
Tentu dari kedua contoh tersebut diakibatkan karena ketidaksinkronan persepsi, minimnya transparansi, lemahnya koreksi dan pengawasan antar lembaga penegak hukum dan tidak adanya prinsip koordinasi sehingga menimbulkan hal-hal sebagaimana yang dicontohkan.
Jadi prinsip diferensiasi fungsional sebagaimana yang dipahami dalam hukum acara pidana bukan serta-merta dimaknai sebagai sebuah konsep tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) yang memberikan sekat atau mensegregasi atau mengkotak-kotakkan, mengatomisasi sistem menjadi terpisah.
Upaya menyamankan frekuensi dalam melihat prinsip diferesiasi fungsional sebagai bagian dalam mendistribusikan kewenangan agar supaya tidak terjadi dualisme (saling tumpang tindih) kewenangan atau rangkap kewenangan, meminimalisir adanya tindakan abuse of power atau praktik-praktik inkonstitusional dan atas dasar tersebut maka prinsip diferensiasi fungsional seyogianya dimaknai selain terkait pembagian kewenangan juga dipahami sebagai fungsi pengawasan antar lembaga penegak hukum agar supaya menciptakan ekosistem law enforcement yang proporsional dan efektif.
Dan atas semua hal yang telah dikemukakan di atas kita semua selalu berharap dan berupaya untuk mewujudkan suatu sistem peradilan pidana yang dapat memberikan rasa keadilan, kepastian hukum sesuai dengan asas-asas yang dikenal dalam hukum acara pidana yang menjadi pondasi dalam menyelenggarakan praktik peradilan pidana yang tidak hanya berorientasi pada penegakan atau penindakan, tetapi juga perlindugan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dimaknai dalam due process of law.
Artikel Lainnya
-
49704/07/2021
-
72702/12/2021
-
140108/02/2020
-
Koreografer Siberprotes dan Keperkasaan Massa Demonstran
49519/08/2020 -
Menyuluh Api Kesadaran Otentik di Tengah Pandemi Global
89825/03/2020 -
25012/11/2022