Hoaks dan Pembudayaan Literasi

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Hoaks dan Pembudayaan Literasi 03/03/2020 1622 view Lainnya Pixabay.com

Hoaks menjadi sebuah tema diskursus hangat di ruang publik karena kehadirannya meresahkan dan menyengsarakan sekelompok orang, tetapi pada saat yang sama menggembirakan segelintir orang.

Hoaks pertama-tama meresahkan karena “kebohongan” hanya dijadikan sebagai kuda tunggangan untuk mencapai kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan agama dengan cara menyebarkan propaganda, kalimat kebencian, dan fitnah.

Tidak dapat disangkal bahwa hoaks paling sering beredar dalam media sosial. Media sosial yang menjadi ekspresi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi-komunikasi dijadikan sebagai sarana untuk menyebarluaskan hoaks.

Penyebaran hoaks di media sosial bukan semata-mata aksi individu, melainkan aksi yang terorganisir dan berkelompok. Terbongkarnya kasus Saracen beberapa waktu lalu yang diduga aktif menyebarluaskan hoaks bernuansa sara di media sosial adalah satu bukti yang membenarkan tesis tersebut.

Secara etis dapat dikatakan bahwa hoaks adalah sebuah actus humanus yakni sebuah tindakan manusia dalam arti etis karena dipertimbangkan secara rasional dan dikehendaki secara bebas. Intensi pelaksanaan actus humanus selalu terarah kepada pencapaian tujuan yang berada di luar objek.

Tujuan tersebut dapat dibedakan atas tiga yaitu pertama, tujuan menurut bentuk yang meliputi tujuan konstruktif dan tujuan destruktif. Kedua, tujuan menurut sasarannya yang meliputi tujuan eksklusif-partikular dan tujuan inklusif-universal. Ketiga, tujuan menurut masa berlakunya yang meliputi tujuan untuk masa kini, tujuan untuk masa depan, dan tujuan untuk masa kini dan masa depan sekaligus.

Hoaks sebagai actus humanus selalu memiliki tujuan. Dalam hal ini, seorang penyebar hoaks memegang prinsip yang terkenal yaitu omne agens agit propter aliquem finem (setiap pelaku bertindak demi tujuan tertentu).

Tujuan penyebaran hoaks dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, karena substansi hoaks adalah kebohongan dan kebohongan an sich adalah buruk, maka tujuan yang hendak dicapai dari penyebaran hoaks ialah tujuan destruktif, seperti mencoreng nama baik orang tertentu atau menciptakan ketakutan massal atau ingin memopulerkan diri sendiri seperti yang dibuat oleh Ustad Bangun Samudera.

Kedua, karena hoaks hanya menggembirakan segelintir orang serentak menyengsarakan sekelompok orang lain, maka tujuan penyebaran hoaks bersifat eksklusif-partikular.

Ketiga, tujuan penyebaran hoaks berlaku untuk masa kini sekaligus masa depan. Hoaks yang dijadikan sebagai sarana untuk mengumbar fitnah terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu, misalnya, akan menyengsarakan pihak tersebut bukan hanya untuk konteks masa kini tapi juga untuk konteks masa depan. Pemulihan nama baik seseorang atau sekelompok orang tertentu membutuhkan waktu yang sangat lama.

Pada tataran epistemologis, hoaks yang substansinya ialah kebohongan dapat dipandang sebagai musuh kebenaran. Kalau kebenaran dimengerti sebagai persesuaian antara rasio dan realitas, hoaks dapat dipahami sebagai ketidaksesuaian antara rasio dan realitas. Pertanyaan penting yang perlu dijawab ialah instansi apa yang paling berpengaruh dalam memproduksi hoaks?

Secara epistemologis, ada distingsi yang tajam antara peran instansi akal budi dan peran instansi kehendak dalam memproduksi putusan. Hoaks adalah ekspresi dari putusan yang salah. Putusan dimengerti sebagai actus intelektual; jadi sebabnya ialah akal budi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebab dari putusan yang salah (hoaks) adalah akal budi.

Namun, jawaban tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab dari kodratnya akal budi selalu terarah kepada pengejaran akan kebenaran. Aristoteles menegaskan bahwa seseorang akan mencapai kebahagiaan kalau ia hidup seturut akal budi karena dalam akal budi ada aspek ilahi. Manusia mengambil bagian dalam keilahian dewa-dewi melalui olah akal budi. Oleh karena itulah, Aristoteles terkenal dengan eudaimonisme rasionalnya.

Kalau akal budi bukan instansi yang memengaruhi produksi putusan yang salah, lantas apakah instansi yang memengaruhi putusan yang salah (hoaks)? Jawabannya ialah kehendak. Manusia berkehendak karena ia ingin mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa dicapai baik dengan menempuh cara positif maupun cara negatif. Dalam hal hoaks, yang terjadi adalah manusia berkehendak karena ingin mencapai tujuan tertentu dengan menempuh cara negatif.

Secara metafisis ditegaskan bahwa kebenaran selalu ada lebih dahulu mendahului kebohongan. Artinya, kebenaran dapat dipikirkan dalam dirinya sendiri, tetapi kebohongan tidak dapat dipikirkan tanpa kehadiran kebenaran. Dalam hal ini, kebohongan adalah suatu privatio (kekurangan) dari kebenaran yang seharusnya ada.

Implikasi praktis dalam diskursus tentang hoaks ialah penyebar hoaks bukanlah pribadi yang tidak mengenal dan mengakui kebenaran. Akan tetapi, karena pengenalan dan pengakuan akan kebenaran tidak mendatangkan profit baginya, maka hoaks disebarluaskan. Hoaks disebarluaskan karena darinya eksistensi pihak tertentu semakin terjamin dan keuntungan yang diperoleh semakin banyak.

Tidak dapat disangkal juga bahwa hoaks acapkali mengalahkan kebenaran. Hemat saya, ada dua penyebabnya. Pertama, ada yang disebut dengan pengulangan argumentasi. Argumentasi jenis ini adalah salah satu ekspresi sesat pikir. Sesat pikir terjadi ketika pihak tertentu mengulang-ulang argumentasi, informasi atau opini yang keliru atau bohong dengan tujuan agar pembaca dan pendengar yakin bahwa argumentasi itu benar.

Jadi, lewat argumentasi ini, kebenaran dicapai bukan berdasarkan isi objektif informasi, melainkan pertama-tama pada aspek repetisi yaitu penyampaian berulang-ulang dan terus menerus informasi atau opini tersebut melalui media massa.

Kedua, ada yang disebut dengan teori kebenaran performatif. Teori kebenaran performatif adalah salah satu bentuk teori kebenaran yang ditolak oleh banyak pihak. Penolakan terjadi karena kebenaran suatu berita, argumentasi atau informasi ditentukan oleh pihak yang menyampaikannya yang memiliki kapabilitas dalam bidang tertentu.

Jadi, melalui teori kebenaran performatif, kebenaran dicapai bukan berdasarkan isi objektif informasi atau opini, melainkan terutama pada aspek subjek yang menyampaikannya.

Kehadiran media sosial yang dikagumi oleh banyak orang tentu bukan tanpa masalah. Penyebaran hoaks oleh segelintir orang dengan memanfaatkan media sosial menjadi sebuah fenomena yang mengekspresikan disfungsi media sosial. Kehadiran media sosial yang bermanfaat bagi manusia untuk membangun komunikasi tanpa disibukkan oleh masalah jarak, waktu, dan biaya disalahfungsikan oleh pihak tertentu untuk menyebarkan hoaks.

Media sosial menjadi sarana yang paling diandalkan oleh pihak tertentu untuk menyebarluaskan hoaks karena media sosial tidak seperti media mainstream yang terikat dengan kode etik jurnalistik untuk melaksanakan keberimbangan dan verifikasi terhadap berita.

Tambahan pula, diferensiasi sosial yang ada dalam masyarakat berdasarkan umur, jenis kelamin, riwayat pendidikan dan pekerjaan, agama, suku, ras, dan besarnya pendapatan tidak mendapat tempat dalam penggunaan media sosial sehingga siapa saja bisa mengambil bagian dalam media sosial dan bahkan menyebarluaskan hoaks.

Kenyataan seperti ini dapat digunakan untuk membantah argumentasi Rocky Gerung, Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, yang menegaskan bahwa pembuat hoaks terbaik adalah penguasa sebab mereka memiliki peralatan lengkap untuk berbohong: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan sebagainya (tempo, 11 Januari 2017).

Seseorang yang bertitel S3 seperti Sitti Hikmawatty, Ustad Bangun Samudera hingga Rangga Sasana, petinggi Sunda Empire sama-sama menjadi penyebar hoaks handal yang bisa menciptakan kegaduan sosial dalam hidup, bukan saja untuk konteks nasional, melainkan juga untuk konteks internasional.

Perlawanan terhadap hoaks membutuhkan kehadiran dan peran pribadi-pribadi literatif. Ada beberapa ciri yang dimiliki oleh pribadi literatif sebagai modal untuk melawan hoaks.

Pertama, pribadi literatif adalah pribadi yang kritis dalam membaca berita. Pribadi literatif tidak cepat percaya terhadap berita yang disajikan oleh media-media tertentu, tetapi terlebih dahulu membuat studi komparatif terhadap sebuah berita yang disajikan oleh media-media, baik media cetak maupun media sosial.

Kedua, pribadi literatif adalah pribadi yang tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang mencela pihak tertentu dengan menggunakan isu politik, agama, dan ideologi. Patut diakui, de facto, aksi radikalisme dan fundamentalisme agama yang keliru yang selalu disertai dengan brutalisme dilakukan oleh orang-orang yang tidak kritis dalam membaca berita dan tidak mau mencari kebenaran yang sesungguhnya sehingga mudah terprovokasi.

Pembudayaan literasi menjadi salah satu langkah untuk menghasilkan anak-anak bangsa yang kritis dan tidak mudah terpancing oleh hoaks yang disebarluaskan oleh pihak-pihak tertentu.

Sangat dibutuhkan kerja sama antara pihak pemerintah, sekolah, dan keluarga untuk menanamkan kebiasaan membaca dalam diri para peserta didik. Pribadi-pribadi literatif, kritis, dan argumentative sangat dibutuhkan di era kebanjiran informasi seperti sekarang ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya