Hari Ibu dan Usaha Mendobrak Badai Patriarki

Hari Ibu dan Usaha Mendobrak Badai Patriarki 23/12/2019 1654 view Budaya www.qureta.com

Tepat pada tanggal 22 Desember kita merayakan hari spesial bagi seorang ibu. Hari dimana seluruh ibu dikenang karena jasa besar yang telah melahirkan kita. Peran ibu dalam masyarakat sangat penting yang mana peran tersebut tidak bisa dialihfungsikan kepada laki-laki.

Mengingat betapa penting dan berharga peran ibu dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, sosok ibu menjadi orang yang paling disayang dan dikasihi. Benar kalimat yang sering kita dengar, ‘surga ada di telapak kaki ibu’. Kalimat ini merupakan wujud dari peran seorang ibu yang begitu besar dan nyaris tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.

Namun dalam masyarakat primitif yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai lama (konservatisme), posisi perempuan pada umumnya selalu menjadi sasaran empuk dari budaya masyarakat.

Salah satu contoh yang hingga kini masih menghantui perempuan dalam masyarakat ialah budaya patriarki. Melekatnya budaya patriarki dalam masyarakat semakin mempertegas budaya yang dianut oleh masyarakat masih sangat kental. Posisi perempuan dalam masyarakat seperti ini seringkali selalu berbenturan dengan ‘hukum adat’ yang selalu menempatkan keberadaan perempuan kian terpinggirkan.

Dalam masyarakat model ini, perempuan selalu menjadi bagian dari ‘keberingasan’ yang diperankan oleh laki-laki. Hukum adat yang berlaku menempatkan perempuan dalam ranah yang terjepit dan mudah ditindas. Di sini sebetulnya keinginan mendominasi terhadap perempuan semakin terasa dan terus terawat dalam pikiran kaum laki-laki.

Dengan kondisi yang demikian, perempuan sulit melawan budaya patriarki yang semakin menggerus keberadaan mereka dalam struktur masyarakat. Jika pun perempuan berani mengambil sikap dalam menentang budaya patriarki, bisa dipastikan seorang perempuan akan dirundung dengan sumpah serapah dan hingga menyudutkan mereka. Konsekuensi ini akan membuat perempuan sulit bergerak dari lingkaran dominasi laki-laki.

Kekerasan simbolik yang tidak terasa tetapi dengan efek yang meluas justru semakin membuat peran laki-laki menjadi begitu besar. Sedangkan di satu sisi, perempuan makin mengalami kemunduran karena tidak mampu melawan kekerasan simbolik. Dalam kondisi apapun, kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang paling berbahaya sekaligus melemahkan eksistensi perempuan.

Potensi perempuan yang harusnya dikembangkan, misalkan menjadi seorang wartawan, pengacara, kepala desa dan sebagainya justru terhalangi. Ini merupakan sikap antagonisme kaum laki-laki yang dibungkus rapi dalam masyarakat primitif.

Perempuan mengalami kondisi yang buruk karena tidak mampu menerjang badai patriarki yang diikuti dengan kekerasan simbolik. Di satu sisi, pihak laki-laki akan terus menggendor jalan mereka dalam memenangkan posisi yang pantas dari perempuan.

Adanya kekerasan simbolik semakin memuluskan keinginan mereka sehingga menempatkan perempuan kian terdegrdasi. Pihak laki-laki akan berdaku mereka tidak melakukan apa-apa terhadap perempuan bahkan mereka justru mendukung emansipasi bagi kaum perempuan.

Tetapi di sisi lain, perempuan dengan segala kondisinya justru terdegradasi dari dirinya sendiri dan dari masyarakat karena kentalnya budaya patriarki yang diselubungi dengan kekerasan simbolik.

Bukan berarti budaya patriarki dalam masyarakat salah. Itu bentuk pemikiran yang keliru, tetapi budaya patriarki yang cenderung menempatkan perempuan sebagai objek merupakan sesuatu yang salah. Sehingga budaya patriarki yang terlalu mengikat keberadaan perempuan, dinilai sebagai budaya yang dapat melemahkan keberadaan mereka.

Kita harus mengakui, budaya masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki cenderung menempatkan perempuan dalam lingkaran dominasi laki-laki.

Sejarah perempuan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini, merupakan wanita perkasa yang mampu mendobrak kebekuan masyarakat lama yang masih dibayangi dengan pikiran sempit terhadap keberadaan perempuan.

Dengan suara yang menantang sekaligus buah pikir yang brilian, Kartini menjadi perempuan yang berani melawan kemapanan yang muncul di tengah merebaknya eksistensi perempuan saat itu.

Menurutnya, perempuan dalam struktur masyarakat tidak hanya sebatas pada lingkup keluarga, misalnya mengurus anak, memasak, mencuci dan pekerjaan lain yang lazim dikerjakan oleh perempuan. Baginya perempuan harus diberi ruang yang sama dengan laki-laki dalam segala hal apapun.

Emansipasi yang didengungkan Kartini tidak serta merta lahir dari keinginan pribadi, pasalnya Kartini melihat perempuan dalam kondisi masyarakat lama yang masih dibentengi budaya patriarki justru membuat mereka kehilangan hak sebagai perempuan. Misalkan, perempuan di larang sekolah dan pekerjaannya hanya mengurus dapur.

Kartini merupakan wanita yang berani melawan zaman dengan segala pikiran dan tindakan yang mengharuskan keberadaan perempuan diakui sebagai manusia yang setara.

Contoh yang lain, misalnya, seorang wanita pekerja, Marsinah. Perempuan ini merupakan seorang pekerja dengan karakter keras dan berani melawan ketidakadilan yang selama ini menghantui pekerja.

Kedua perempuan itu merupakan contoh nyata yang dapat menggambarkan perjuangan untuk menghancurkan garis demarkasi yang tumbuh dan mengakar kuat dalam masyarakat.

Di sini kita semakin sadar, keberadaan perempuan dalam ruang masyarakat kian penting. Karena bagaimaimanapun peradaban manusia tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan punya peran penting dalam menentukan garis zaman.

Pada akhirnya hari ibu mempunyai makna yang sangat penting bagi seluruh perempuan dalam menentang budaya patriarki yang hingga hari ini masih santer dalam budaya masyarakat Indonesia.

Melalui sikap inklusif, perempuan dapat berpacu mengembangkan potensi sama seperti laki-laki. Selamat hari ibu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya