Guru Tanpa Dosa
Isi Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dapat di bahasakan, “setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pelajaran dan pengajaran.”
Serentak pemerintah tanpa hitung-hitung men-drop segala sesuatu yang perlu. Uang, guru, murid disediakan, kurikulum, fasilitas gedung, laboratorium, dan tidak terlupakan kamar WC sekolah. Bahkan, pemerintah hendak membangun lembaga-lembaga pendidikan negeri melalui gerakan “pemberdayaan SDM ASN”.
Lembaga-lembaga swasta, seperti yayasan pun tidak kalah gertaknya membangun dunia pendidikan dengan membuat partnership dalam dunia pendidikan Indonesia. Artinya, semua lembaga pendidikan, baik swasta maupun negeri memiliki tujuan yang sama, yakni mengharapkan agar masyarakat Indonesia dapat belajar dan tidak mengalami ketertinggalan pengetahuan.
Segala aktivitas ini menggambarkan betapa dalamnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap masalah pendidikan. Sebaliknya, rakyat pun mulai menyerbu sekolah-sekolah, dari tingkat Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi (PT).
Apabila satu lembaga pendidikan dinyatakan tidak menerima lagi peserta didik karena kapasitas jumalah sudah terpenuhi, maka orang tidak canggung-canggung menunggu antrian tahun ajaran berikutnya. Hal ini berarti masyarakat mulai menyadari pentingnya pendidikan.
Kesadaran ini bukan tanpa alasan; bukan secara terpaksa langsung maupun tak langsung. Sama sekali tidak! Kesadaran ini meluap dari lubuk-lubuk sukma yang luhur, karena bukti-bukti nyata tentang manfaat pendidikan telah disodorkan berbagai lembaran sejarah kehidupan.
Orang mengetahui bahwa tanpa pendidikan, Dr. Sun Yat Sen tidak gila membuat revolusi di China, atau pun pasukan Budi Utomo merintis kemerdekaan Indonesia.
Omong-omong tentang pendidikan, otak manusia pasti lari pada “guru”. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, guru adalah kunci sukses pendidikan. Guru adalah manusia biasa yang mengenyam pendidikan guru untuk menjadi guru. Dengan demikian, guru dipandang sebagai “orang pintar” yang mengetahui seluk-beluk pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran.
Seorang guru harus tahu untuk apa ia menjadi guru, apa saja yang dikerjakannya sebagai guru, dan apa pula resikonya kalau ia menjadi guru. Sehingga kelak ia tidak menyesal atau pun mengomel kalau terjadi malapetaka yang mengeroyoknya.
Demikianlah guru harus dihayati sebagai suatu profesi. Guru harus dihayati sebagai sebuah wadah tempat manusia tertentu beraktivitas demi peningkatan bobot kemanusiaannya. Guru harus diimani sebagai sebuah medan tempat manusia memergoki diri dalam pertempurannya melawan kehidupan. Guru harus diamalkan tanpa kalkulasi laba-rugi. Kalau tidak, orang serta-merta mencap “ada guru komersial”, “ada guru cangkokan”, “ada guru cari makan”, dan lain sebagainya.
Sesungguhnya, guru adalah orang penting dalam struktur kehidupan manusia. Tanpa guru, mustahil ada presiden atau pun menteri. Karena itu, tanggung jawab sebagai guru sesungguhnya berat setengah mati; sekaligus imbalan resikonya pun susah setengh mati.
Hal tersebut merupakan resiko dan konsekuensi menjadi guru, serta tanggung jawab atas panggilan hidup sebagai guru. Hal tersebut menunjukan hidup ini tidak menuntut ngomel-ngomelan atau pun sikap bandel-bandelan. Artinya, mau tidak mau, sadar tidak sadar setiap orang hidup menurut ketabahan total dalam bingkai profesi masing-masing tanpa keluh-kesah.
Banyak peristiwa terjadi akibat peserta didik diperlakukan ‘tidak wajar’ oleh guru. Misalnya, rumah guru-guru dikeroyok, masyarakat ramai-ramai mengomel “guru bodoh”. Masyarakat tahu dalam pengetahuan eksperiensial mereka bahwa guru adalah fundamen bagi sukses tidaknya suatu iklim pendidikan. Dengan demikian, apabila terjadi kasus di sekolah yang berkaitan dengan peserta didik, masyarakat tidak berpikir panjang lagi. Mereka semua tetap pada semacam dogma pendidikan “gurulah yang salah”; bahkan “bodoh”.
Beberapa waktu lalu, seorang kenalanku mengeluh bahwa anaknya terus-terusan tahan di kelas II SD selama tiga tahun. “Ya, guru yang bodoh,” tandas kenalanku. Pendapat yang sama pun saya peroleh dari seorang kenalanku. Beliau sarjana sastra sekaligus guru di sebuah menengah atas.
Beliau mengatakan, “bagaimanapun guru harus bertanggung jawab atas grafik mutu pendidikan”. Soal gajian terlambat adalah resiko atas pilihan hidup sebagai guru. Hal yang sama pun disinyalir oleh Prof. Wu The Yao dari Singapura bahwa "staf pengajar adalah persoalan serius dalam pendidikan".
Dalam konteks Indonesia, tidak dapat dimungkiri bahwa keberhasilan pendidikan adalah tanggung jawab guru. Karena itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan guru harus diperhatikan secara total. Hal-hal seperti buku-buku, kurikulum, pengangkatan pangkat ataupun kenaikan golongan gaji sangat penting dan perlu menjadi prioritas perhatian pemerintah, karena guru pun perlu makan seperti manusia umumnya.
Apabila gajian terlambat dan sebagainya, guru tidak tenteram dalam pengajaran hariannya. Akibatnya murid bodoh, mutu pendidikan rendah, dan masyarakat pun mulai maki-maki guru. Bahkan kita dapat telusuri keluhan guru-guru di daerah pedalaman menyangkut gajian yang terlambat hingga kenaikan pangkat yang tersendat.
Hal tersebut dapat mengakibatkan guru-guru terpaksa jadi tengkulak ataupun pedagang kaki lima, berutang, belajar tidak tenteram, murid-murid bodoh, mutu pendidikan merosot, dan masyarakat caci-maki. Itu sebetulnya rentetan peristiwa derita yang dengan sendirinya kait-mengait sekaligus harus terjadi.
Barangkali persoalan-persoalan seperti itu perlu ditanggapi dan ditangani serius oleh pemerintah, karena persoalan mengenai aksi ketidakpuasan guru dapat berimbas pada perkembangan pendidikan. Walaupun profesi guru menuntut ketabahan yang luar biasa, tetapi imbalan atas ketabahan total itu sendiri menjadi rewel. Dengan demikian, seluruh sektor kehidupan pun bakal rewel. “Nila setitik rusak susu seember”, begitu kata orang bijak.
Masa ini masalah pendidikan kita menyesaki diskusi, seminar, bahkan ngobrol-ngobrol kampungan di warung, karena orang tahu manfaat dan daya guna pendidikan. Dengan demikian, andaikata pendidikan terinfeksi setitik pun orang ramai-ramai murka dan main kambing hitam.
Peristiwa-peristiwa yang ramai jadi topik pembicaraan adalah soal mutu pendidikan yang kurus, soal kurikulum yang acak-acakan, soal para lulusan yang tidak siap pakai di lapangan kerja. Persoalan ini sudah menyusup ke pelosok-pelosok yang paling pelosok pun.
Sebagian orang pintar mengatakan hal itu dikarenakan kekurangan fasilitas. Maksudnya, mesti dibutuhkan lagi berkarung-karung uang untuk membeli buku-buku. Terlepas dari pendapat ini orang lebih condong mengatakan “gurulah yang salah”. Wajar juga pendapat ini, lantaran masyarakat Indonesia tidak mau pusing-pusing mencari dalang kegagalan pendidikan secara lebih cermat. Mereka hanya tahu guru yang hari-hari jual ilmu di depan kelas. Dengan demikian guru harus hidup mati di atas grafik pendidikan yang sakit-sakitan.
Masalah ini sesungguhnya ruwet bin susah, lantaran hingga kini masyarakat hanya tahu bahwa komponen pendidikan utama adalah guru. Bukan orang lain. Padahal perlu digali alasan-alasan lainnya, yang menyebabkan kelesuan pendidikan itu.
Guru memang menanggung dosa di anak tangga pertama, tetapi sudahlah dipikirkan bahwa soal profesi guru adalah soal yang berbelit-belit. Lebih-lebih menyangkut sebab-akibat berdasarkan pengabdian total pada profesi guru. Uanglah yang menjadi sebab-musabab malapetaka pendidikan.
Andaikata gajian terlambat, ataukah dipotong sekian persen tanpa logika yang benar, ataupun kenaikan golongan gaji yang dikelola secara semrawut, maka otomatis guru sakit hati. Justru sakit hati inilah yang menyebabkan sakitnya dunia pendidikan.
Setiap orang paham bahwa profesi adalah soal-soal pengabdian tanpa ngomel. Dan, gajian adalah akibat dari pengabdian itu. Dengan demikian, andaikata gajian rewel, akibatnya pendidikan juga rewel. Iya, siapa yang berdosa?
Tudingan-tudingan terhadap guru, saya pribadi sudah merasa kelewat. Karena ada semacam gejala lempar batu sembunyi tangan. Ada bos-bos yang main di belakang. Misalnya dalam soal-soal urusan gaji dan kenaikan golongan gaji. Hal ini perlu diperjelas karena mau tidak mau gurupun adalah manusia yang butuh uang untuk makan. Kalau gajian onar, ya, guru-guru malas. Siapa yang seharusnya berdosa?
Barangkali, dalam konteks seperti ini guru lah yang menjadi cacian masyarakat. Titik! Karena, memang masyarakat tidak mau pusing kepala dengan soal belum terima gajian atau kenaikan golongan gaji yang tertahan. Tegasnya, gurulah yang dianggap berdosa dalam soal-soal pendidikan, tetapi tidak selamanya gurulah yang bertanggungjawab atas dosa-dosa itu.
Sesungguhnya cucu-cucu Adam dan Hawa yang pintar lempar batu sembunyi tangan alias main kambing hitam. Paling aman, kita diam-diam cari makan secara wajar. Jangan main api di belakang!
Artikel Lainnya
-
26111/06/2024
-
155329/03/2021
-
206826/04/2020
-
UAS dan Netizen Tidak Sedang Ingin Membeli Kapal Selam
358801/05/2021 -
Generasi Muda dan Budaya Manggarai
165407/04/2024 -
302302/02/2020