Geliat Spiritual Renaissance Masyarakat Kota

Mahasantri Mahad Aly Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo
Geliat Spiritual Renaissance Masyarakat Kota 11/02/2022 1139 view Budaya sorogan.id

Levi Starauss mengidentikkan modern dengan “panas” untuk dibedakan dengan primitif yang “dingin”, sehingga masyarakat modern adalah hot society sedangkan masyarakat primitif adalah cold society. Masyarakat modern mencurahkan energi maksimal (panas) untuk mencapai tujuan yang disebut kemajuan (progres), dan masyarakat primitif hanya mempertahankan apa yang telah ada dan mengulangi apa yang telah ada, tidak mencurahkan energi maksimal untuk kemajuan (dingin). (Paz, 1997)

Masyarakat kota tidak bisa dikarakteristikkan melalui pembandingan dengan masyarakat desa (begitu pua sebaliknya), karena sebuah desa di era modern dipastikan (sedikit atau banyak) menerima pengaruh dari kota. Namun, kota itu sendiri (tanpa membandingkan dengan desa) adalah representasi nilai modern (panas). (Soekanto, 2007: 136)

Masyarakat kota sebagai hot society bisa dibaca melalui keberadaan kota sebagai pusat industri (Muhammad, 2017: 152). Dunia entertainment, pembangunan, bisnis, hingga politik memposisikan masyarakat kota pada kesibukan ekstra (busyness complexity/high busyness). Hal ini berdampak pada kebudayaan, gaya hidup, dan atau pada aspek kehidupan secara individu masyarakat kota itu sendiri.

Salah satu dampak dari kesibukan padat di kota adalah gaya hidup masyarakat kota yang cenderung individualis (Howell, 2007: 3). Masyarakat kota cenderung tertutup dengan lingkungan sekelilingnya dan cenderung mementingkan pribadi masing-masing. Sikap individualis ini menjauhkan masyarakat kota dari komunikasi sesama sekaligus menjebak masyarakat kota dalam kesibukan masing-masing (Chandra, 1998: 84).

Sikap individualis juga menjauhkan masyarakat kota dari nilai-nilai spiritual. Hal ini karena high busyness seolah tidak memberi kesempatan bagi masyarakat kota untuk menyelami spiritualitas. Maka, masyarakat kota “kering” spiritual karena kesibukan. Kering spiritual di kota, oleh Soerjono Soekanto disimpulkan merupakan kehidupan minim nilai keagamaan. (Soekanto, 2007, 139)

Pada akhirnya, kehidupan kota yang kering spiritual justru mengkonfrontasi masyarakat kota untuk bergerak menuju spiritualitas, karena sadar/merasa terlalu kering. Geliat untuk spiritualitas dari masyarakat kota belakangan ini diisitilahkan “spiritual renaissance” (Melton, 1991: 3 dan Vardey, 1996).

Di samping adanya geliat untuk spiritualitas seperti disebutkan di atas, masyarakat kota tetap tidak bisa menghindar dari high busyness. Antara kesibukan ekstra dan geliat spiritual bagi masyarakat kota seolah memunculkan alternatif  “menuju spiritual”, yakni melalui media digital. Hal ini karena masyarakat kota dalam kesehariannya pun dengan kesibukannya bisa dianggap tidak bisa lepas dari media digital.

Keterikatan masyarakat kota dengan media digital dan geliat spiritual mereka (alternatif menuju spiritual, seperti dijelaskan di atas), dimanfaatkan oleh para pegiat agama yang berorientasi ekstremisme untuk memengaruhi masyarakat kota melalui sosial media dan atau media digital. Tidak mengherankan, jika paham-paham atau nilai keagamaan ekstrem lebih mudah berkembang di kota daripada di desa. Maka dapat disimpulkan, kepentingan paham-paham ekstrem tersebar di media digital (secara peluang kemungkinan terbesar) adalah untuk memengaruhi masyarakat kota.

Dari hal ini, spiritual renaissance adalah titik awal munculnya spiritual yang dikejar melalui media digital (keberagamaan melalui media digital). Karena berbasis digital, spiritual semacam ini ikut terseret pada berbagai kepentingan industri (sehubung era industri modern juga tidak terlepas dari era digitalisasi). Yang artinya, menyeret spiritual untuk jauh dari nilai dasarnya yang semata-mata untuk “perbaikan jiwa” karena “disenggolkan dengan kepentingan industri.

Fenomena spiritual melalui media digital menjadi ajang bagi oknum ekstremis agama untuk menyebarkan paham-paham mereka, yakni paham-paham agama yang keluar dari nilai agama. Sekaligus, fenomena spiritual ini juga menjadi ajang baru bagi perindustrian untuk memunculkan “produk” yang “berlabel” keagamaan.

Masyarakat desa tidak memiliki semacam high busyness seperti di kota. Sehingga, hubungan komunikasi antar masyarakat desa relatif harmonis terpelihara, cenderung tidak individualis seperti masyarakat kota (Muhammad, 2017: 153). Kuatnya tradisi dan budaya lokal di desa yang relatif tidak terkontaminasi oleh kesibukan yang disebabkan perindustrian. Menjaga komunikasi antar masyarakat juga merupakan hal yang penting, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh hal baru yang datang dari luar mereka termasuk oleh paham keagamaan ekstrem.

Kesimpulannya, masyarakat kota sebagai representasi masyarakat modern berada dalam kesibukan tinggi yang disebabkan oleh perindustrian. Kesibukan ini membuat gaya hidup masyarakat kota menjadi cenderung individualis. Karena kesibukan ini, masyarakat kota terseret jauh dari nilai spiritualis.

Lantas, masyarakat kota berada pada titik konfrontasi menuju spiritual karena sadar atau merasa kering spiritual. Sehubungan dengan masyarakat kota yang tidak bisa menghindar dari kesibukan tinggi, mereka menjadikan media digital sebagai alternatif untuk menuju spiritual sehubung kehidupan mereka sangat dekat (atau berada) dengan (dalam) media digital. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pegiat agama ekstremisme untuk memengaruhi masyarakat kota melalui media sosial.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya