"Freedom"!
Sajojo, tuan. Lagu itulah yang mengiringi mahasiswa/i Indonesia menari di Indonesia Cultural Day (ICD), beberapa malam yang lalu.
Lagu Papua itu berkisah tentang seorang gadis cantik. Ia amat disayang dan dirawat oleh orang tuanya. Membuat banyak pemuda mendambakannya. Maka warna merah jambu inilah yang menjadi rasa dari lagu Sajojo itu. Penuh kebahagiaan.
Saat penonton larut di dalam alunan lagu, sebuah perasaan menyelinap. Ingin saya bertanya kepada dua teman Papua dulu. Bukan tentang Sajojo. Bukan tentang virus merah jambu bagaimana yang sedang dirasa muda-mudi mereka di sana sekarang ini. Tapi bagaimana perihnya hidup sebagai manusia yang tak punya kebebasan.
Tuan-tuan pembaca. Malam itu mata dan pendengaran saya memang melihat orang-orang menari bersama kebahagiaan Sajojo. Tetapi perasaan saya tahu bagaimana situasi Papua hari-hari ini. "Oni, Obet, ko punya kisah bagaimana? Papua yang ada dibenakku bukanlah yang menari sebahagia Sajojo di panggung itu, kawan. Karena tak ada kebebasan di sana."
Freedom, kebebasan, hadir dalam rupa menakutkan di Papua. Ia melayani hasrat buruk segelintir orang dengan menindas yang lainnya.
"Siapapun bebas", kata negara. Maka korporasi tambang dan industri besar bebas membeli tanah dan manusia di Papua. Namun ketika saudara kita di sana menolak untuk menjual tanah dan tubuhnya, mereka tak boleh mengatakannya. Penolakan itu dilarang. Semua musti dijual.
Lantas ketika bisnis-bisnis raksasa itu telah merusak alam dan budaya mereka, Papua ingin bersuara. Tapi dilarang. "Tak boleh teriak, kamorang diam saja, sudah".
Sungguh tak ada kebebasan di sana. Tak ada kebebasan untuk hidup dengan cara mereka sendiri. Tak ada kebebasan untuk menolak menjual tanah dan tubuh mereka. Dan tak ada kebebasan untuk bersuara mempersoalan hal itu. "Malanglah betul, nasib mu kawan...".
Freedom, kebebasan. Sejak lama telah menjadi persoalan di negeri ini. Tak hanya di papua, tapi di banyak tempat. Bukan hanya sekarang, tapi dari dulu. Dan karena itu pula freedom menjadi bahan olok-olokan.
Ahh...sedap betul cara Sangaji (2009) mengejek "freedom" di jaman Presiden SBY. Coba perhatikan.
"…tahun 2005", demikian dibukanya. "...sekelompok kelas menengah terpelajar Jakarta… dengan bebas memasang iklan mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM… Itu adalah freedom. Bukan karena beberapa orang di antara mereka adalah pengurus Freedom Institute".
Kemudian ia lanjutkan. Pada tahun 2008, "[di] Jamaksari, seorang buruh tani dengan kerja serabutan, … secara 'bebas' pula memilih gantung diri dengan tali plastik, yang diikat di dahan pohon Petai, di kebun milik warga setempat. Sehari sebelumnya, dia berkeluh kesah kepada para tetangga, bahwa ia sangat terpukul dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM".
Melalui dua contoh itu Sangaji ingin bercerita betapa mirisnya "freedom" di negeri ini. Adalah sah-sah saja, atas nama kebebasan, seseorang mendukung kenaikan harga BBM. Dan sah-sah pula, seseorang mengakhiri hidupnya karena terpukul kenaikan itu. Ironis.
Papua dan kenaikkan harga BBM itu mengabarkan kepada kita. Betapa Freedom yang dijalankan negara adalah kebebasan yang tak adil. Pemerintahan bebas merancang kebijakannya sendiri. Tapi rakyat tak bebas untuk memprotesnya. Rakyat tak sepenuhnya punya kebebasan memilih jalan hidupnya dan menyuarakan penolakan. Bahkan negara tak hadir ketika rakyat menanggung imbas buruk kebijakan tersebut.
“Freedom” untuk rakyat dibungkam negara lewat cara-cara tertentu. Cobalah lihat bagaimana para pakar plat merah dimainkan pada kasus ekspor lobster. Di hadapan mereka ini, penolakan nelayan tak punya kuasa. Kedaulatan rakyat digusur oleh kedaulatan pakar. Informasi dan pengetahuan nelayan yang berusia ratusan tahun menjadi tak valid di hadapan ribuan halaman laporan riset para pakar itu.
Seolah pemerintah berkata. "Ini urusannya orang-orang pintar. Kamu yang cuma nelayan, setiap hari melaut, tahu apa tentang lobster. Rumus ekonomi ilmiah dan laboratorium canggih para pakar lebih tahu dari pada mu". Maka kebebasan nelayan dibungkam pakar plat merah milik pemerintah.
Lainnya, saran saya sekali waktu coba pula tuan pembaca amati bagaimana negara memperalat agama. Ajaran progresif sarat keadilan berubah menjadi pembenar sejumlah kebijakan pemerintah.
Dulu di jaman Soeharto, ada seorang guru sekolah di bawah naungan ormas Islam yang diberhentikan. Lantaran ia ikut ke Jakarta memprotes proyek Kedung Ombo. Mega proyek yang menenggelamkan banyak desa dan menggusur ribuan orang itu. Ia lalu diberhentikan ormas Islam tersebut, atas tekanan Bupati (Aditjondro, 2003).
Beberapa waktu lalu, agama juga menekan kebebasan rakyat untuk merasa keberatan atas kebijakan sepihak pemerintah. Misalnya, pengajian akbar di calon lokasi mega proyek di Kulon Progo menyuruh mereka pasrah dan bersabar. Pun begitu, tak sedikit pula para ustad yang mengharamkan demonstrasi kepada penguasa.
Dan sekarang barangkali tuan-tuan pembaca merasa empati, “malang nian nasib mereka korban kebijakan. Tak punya kebebasan menyuarakan penolakannya”.
Tapi maaf tuan. Sebetulnya nasib kita adalah sama dengan mereka. Kita punya alasan untuk protes, namun juga tak punya kebebasan.
Misalnya, apakah pantas negara mencatut nama kita, rakyat Indonesia, untuk memaksa saudara-saudara kita di Papua hidup dengan cara lain yang tak diinginkan mereka? Apakah pantas negara memaksa mereka menebangi pohon sagu diganti padi, menghancurkan alam untuk mendapatkan emas dan nikel, demi kesejahteraan kita, rakyat Indonesia?
Dan apa hak negara mencatut nama kita untuk memaksa kaum samin merelakan gunung mereka supaya gedung-gedung di Jakarta bersemen? Atau menggusur masyarakat pesisir Kulon Progo supaya bisnis pariwisata Jogja tumbuh? Dan masih banyak kasus lainnya.
Tentu tak ada kepantasan. Satu-satunya yang pantas adalah melayangkan protes kepada negara. Namun adakah saya dan tuan-tuan pembaca benar-benar bebas menyuarakan protes?
Masih ingatkah, tuan? Bagaimana aparat negara menghalang-halangi rakyat menyuarakan nuraninya di #reformasidikorupsi, sebuah protes berkaitan dengan isu pembangunan di atas? Aparat menghalang-halangi bis mengangkut demonstran, melakukan sweeping di kereta, sampai dengan melakukan kekerasan di beberapa kasus tertentu.
Bukan hanya sekarang, sejak dulu demikian. Kita yang bukan korban pembangunan juga tak punya kebebasan. Kita tak punya kebebasan menyuarakan protes sebagaimana mestinya.
Jadi ketika korban pembangunan tak punya kebebasan, kita pun sebetulnya sama dengan nasib mereka, tuan. Tak ada “freedom” bagi penentang pembangunan. Kebebasan adalah barang mewah. Ia hanya ada untuk yang berduit yang mengeksploitasi republik.
"Datanglah kemari orang-orang berduit.. kami punya komoditas bagus untuk anda. Harga murah. Tanah, sungai, rawa, semuanya. Bahkan ratusan juta manusia di sini siap membuat uang anda bertambah. Dan jangan khawatir, kami tak memberi kebebasan bagi mereka-mereka yang dilindas pertumbuhan uang anda..".
Referensi:
Arianto Sangaji, Neoliberalisme (1).
David Harvey, 2005, A Brief History of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press.
George J. Aditjondro, 2003, Pola-Pola Gerakan Lingkungan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Karl Polanyi, 2001 [1944], The Great Transformation, Boston: Beacon Press.
Milton Friedman, 1982, Capitalism And Freedom, Chicago: Chicago University Press.
Artikel Lainnya
-
86524/06/2023
-
118027/01/2022
-
306830/08/2021
-
Budaya K-POP Semakin Merajalela di Indonesia
103220/12/2023 -
240122/08/2021
-
Informasi Cacat Cela di Balik Kemapanannya
110201/09/2020