Fenomena Pakaian Syar'i pada Perempuan Islam dalam Semiotik Roland Barthes

Roland Barthes merupakan salah satu tokoh filsafat bahasa yang fokus memperhatikan bidang semiotik. Bagi Barthes, bahasa adalah rangkaian tanda-tanda yang mencerminkan suatu asumsi yang timbul di masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Menurutnya, setiap sesuatu yang terjadi selalu terdapat tanda dibaliknya.
Mari melihat fenomena yang cukup masif di sosial media tiktok hingga di kehidupan masyarakat Indonesia. Yakni masyarakat yang menaruh anggapan-anggapan kepada perempuan Islam yang mengenakan pakaian syar’i (kerudung panjang, jubah dan niqab).
Media sosial tiktok hari ini masih sangat gencar mengangkat konten-konten ajaran agama yang berisi tentang kutipan kata-kata yang diambil dari tokoh-tokoh perempuan muslim yang cukup berpengaruh. Tujuan dari pembuatan konten tersebut adalah untuk membuat edukasi karena banyak penganut agama yang terkadang sebagian dari mereka masih awam pengetahuan soal agama.
Namun, yang perlu dicermati kembali adalah bagaimana para pemilik akun tiktok memakai pola yang sama dalam setiap konten-konten dakwah. Kutipan-kutipan ajaran agama tersebut disejajarkan dengan visualisasi perempuan dengan penampilan berkerudung panjang, mengenakan jubah serta niqab. Pola yang sama diterapkan pada hampir seluruh video yang berisikan konten dakwah ajaran agama.
Konten-konten yang sama muncul secara bergantian dengan pola tersebut hingga sampai pada bagaimana anggapan masyarakat menanggapi fenomena tersebut.
Masyarakat kemudian menyimpulkan bahwa perempuan muslim yang sejati adalah dengan berpakaian seperti itu. Pakaian yang gencar divisualisasikan dalam media sosial sampai pada hari ini menjadi sebuah doktrin bertahap tentang representasi sesuatu adalah dilihat dari pakaian mereka.
Doktrin semacam ini tidak hanya berhenti di dunia maya. Bahkan sebelum bagaimana visualisasi tersebut digencarkan di media sosial tiktok, sebagian masyarakat Indonesia menyebut bahwa pakaian syar’i oleh perempuan muslim adalah sebuah representasi dari keimanan. Sebagian masyarakat Indonesia memiliki asumsi kuat bahwa perempuan yang berpakaian semacam itu adalah perempuan yang level keimanan mereka cukup tinggi. Tidak heran, kemudian mereka mendapatkan julukan “Sholihah” sebagai ungkapan pengganti representasi dari pakaian syar’i yang mereka kenakan.
Melihat dari kedua latar fenomena yang serupa, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari, anggapan semacam ini dibangun sangat kuat dan semakin kuat di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sehingga muncul sebuah standarisasi dari hasil pembacaan masyarakat tentang fenomena pakaian syar’i pada perempuan Islam yang seolah-olah bagaimana perempuan Islam harus berpakaian agar mereka dikatakan sempurna dan memenuhi standar wanita muslim.
Dalam hal ini, masyarakat secara tidak langsung menganggap bahwa pakaian syar’i yang telah disebutkan tersebut merupakan pakaian keagamaan. Namun apakah benar demikian?
Ikut kepada bahasa semiotik oleh Roland Barthes, bahwa masyarakat Indonesia memaknai pakaian syar’i hanya terbatas pada makna denotasinya saja tanpa menyelam kepada konotasi. Terbukti dari bagaimana masyarakat terburu-buru menyetujui bahwa pakaian syar’i merupakan sebuah representasi sekaligus standarisasi bagi perempuan Islam. Yang mana secara konotasi, pakaian syar’i bisa mengandung berbagai makna yang tidak bisa dipastikan betul adanya apakah seperti itu atau tidak.
Padahal, jika membawa fenomena ini kepada latar sebenarnya, di mana pakaian syar’i adalah sebuah produk dari salah satu negara Timur Tengah. Bagaimana mereka membuat pakaian untuk melindungi diri mereka daripada sengatan terik matahari yang sangat panas dibanding negara lain.
Seluruh masyarakat di sana mengenakan pakaian seperti itu, tidak melihat latar agama mereka. Oleh karenanya, diciptakanlah pakaian serba panjang seperti jubah dan niqab untuk menutupi kulit mereka karena paparan panas. Sebab, Timur Tengah merupakan negara dengan suhu yang tinggi. Hidup dengan suhu di atas lima puluh derajat celcius, maka kulit manusia akan melepuh karena panas.
Melihat kondisi tersebut, maka bisa jadi makna konotasi dari pemakaian jubah, niqab dan kerudung panjang yang di Indonesia dimaknai sebagai pakaian keagamaan, melainkan pakaian adat penduduk Timur Tengah. Pakaian adat diciptakan salah satunya melihat geografis dari suatu tempat tersebut, jadi satu negara dengan negara yang lain model pakaiannya berbeda.
Memang secara denotasi, dahulu tokoh-tokoh besar wanita muslim juga berpakaian syar’i seperti yang kita kenal sekarang. Dan itu jelas, karena mereka adalah masyarakat asli Timur Tengah. Jadi bukan tanpa sebab mereka mengenakan pakaian semacam itu.
Maka dari itu, masyarakat Indonesia yang menyimpulkan dari hanya sekadar sebuah makna konotasi yang dangkal tentang pakaian syar’i bahwa itu merupakan representasi level keimanan seseorang, maka itu tidak cocok. Pakaian merupakan bentuk fisik sedangkan menghubungkannya dengan persoalan batin tentu sangat tidak tepat. Masyarakat perlu menyelam lebih dalam untuk menanggapi fenomena pakaian syar’i ini terlebih kepada kaum perempuan.
Memandang perempuan Islam adalah bukan tentang pakaian yang ia kenakan. Lagi pula, persoalan iman adalah hal yang ada tersimpan di dalam diri seseorang yang tidak bisa serta-merta diterjemahkan begitu saja apalagi sampai menjadi sebuah standar untuk bagaimana seharusnya perempuan muslim berpakaian.
Artikel Lainnya
-
82602/07/2020
-
70622/05/2022
-
169131/10/2019
-
88201/08/2020
-
Paskah: Meraih Asa, Menimba Harap
68224/04/2022 -
143930/06/2020