Fenomena Melimpahnya Janda di Masa Pandemi

Statistisi di Badan Pusat Statistik
Fenomena Melimpahnya Janda di Masa Pandemi 26/01/2021 2439 view Lainnya izzanisa22m2k.wordpress.com

Dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi VIII DPR/MPR RI, Menteri Agama Fachrul Razi mengeluarkan pernyataan bahwa angka perceraian meningkat selama Covid-19 yang terjadi di tahun 2020 ini (Pikiran Rakyat, 23/11/2020). Meskipun Kemenag belum melaksanakan survei lebih lanjut untuk memastikan berapa angka peningkatannya.

Namun benarkah selama Covid-19 ini terjadi peningkatan jumlah para duda dan janda baru di Indonesia? Ternyata pernyataan tersebut diamini oleh data statistik. Berdasarkan data yang dirilis BPS, selama tahun 2020 memang terjadi peningkatan jumlah penduduk yang bercerai. Jika pada tahun 2019 sebanyak 4,18% laki-laki menyandang status duda, pada tahun 2020 ini meningkat menjadi 4,32%. Sementara itu persentase janda pun meningkat dari 13% pada tahun 2019 menjadi 13,11% pada tahun 2020.

Namun, hal yang cukup menarik disini adalah betapa banyaknya para janda di Indonesia. Hampir tiga kali lipat dari jumlah para duda. Jika kita pikir Covid-19 ini adalah penyebab meningkatnya jumlah para janda, ternyata tidak demikian, sebab sejak sepuluh tahun yang lalu yakni pada tahun 2010, jumlah para janda sudah mencapai 12,41%, empat kali lipat dari jumlah para duda yang mencapai 3,08%.

Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal rasio jenis kelamin penduduk Indonesia sejak tahun 2000 hingga tahun 2020 berkisar di 100-102 yang artinya untuk 100 sampai 102 laki-laki terdapat 100 perempuan, atau perbandingannya hampir 1:1. Jika dalam sebuah perceraian yang melibatkan seorang lelaki dan seorang perempuan, maka seharusnya jumlah duda dan janda tidak terlalu jauh. Selisih jumlah duda dan janda yang terlalu jauh ini bisa disebabkan banyaknya janda yang muncul karena kematian suami. Secara statistik, ternyata hal ini benar, sebab dari 13,11% wanita yang berstatus janda, 10,52% menjanda karena kematian suami, sementara 2,59% menjanda karena perceraian. Hal ini berbeda dengan para duda. Dari 4,18% laki-laki yang menduda, hanya 2,71% yang menduda karena kematian istri, sementara 1,61% menduda karena perceraian (BPS, 2020).

Melihat data-data di atas, sebenarnya tidak menjadi masalah ada banyak para wanita yang menjanda selama tidak menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Hal ini sama seperti fenomena kependudukan lainnya seperti banyaknya pemuda, banyaknya lansia, atau banyaknya balita. Namun fenomena ini menjadi masalah ketika menimbulkan kesulitan bagi mereka. Seperti fenomena banyaknya pemuda akan menjadi masalah ketika banyak pemuda yang pengangguran, banyak lansia akan menjadi masalah ketika mereka terlantar, banyak balita akan menjadi masalah ketika mereka stunting. Kenyatannya, menjadi janda bisa memberikan kesulitan bagi seorang wanita, tidak hanya secara ekonomi namun juga sosial dan psikologis.

Secara ekonomi, menyandang status janda mungkin tidak masalah bagi mereka yang merupakan wanita karir atau ditinggal mati oleh suaminya dengan uang pensiunan atau harta kekayaan melimpah. Namun wanita-wanita ini hanya sebagian kecil. Kenyataan di lapangan, banyak para janda yang tidak bekerja atau sudah berhenti bekerja ketika menikah, sehingga ketika bercerai mereka harus mencari kerja, namun terbentur di usia yang tidak lagi muda atau pendidikan yang rendah. Berdasarkan data BPS (2019), terdapat 84,54% kepala rumah tangga laki-laki dan sisanya 15,46% kepala rumah tangga wanita, sebagian besar kepala rumah tangga wanita ini didominasi oleh para janda, 67,48% dari mereka hanya tamatan SD ke bawah. Dengan pendidikan yang rendah, pada akhirnya mereka harus rela bekerja serabutan dengan gaji pas-pasan. Belum lagi jika mereka ditinggalkan bersama para anak, tentu akan semakin menambah beban hidupnya.

Selain harus mencari pekerjaan, para janda juga harus menghadapi stigma negatif yang selama ini berkembang di masyakat sebagai perempuan penggoda, genit, dan perebut suami orang. Saking berkembangnya stigma ini, bahkan industri film pun tak segan-segan menggambarkan para janda dengan kesan tersebut, seperti film Gara-gara Djanda Muda (1954), Gara-gara Janda Kaya (1977), Sembilan Janda Genit (1977), Misteri Janda Kembang (1991), Kembalinya si Janda Kembang (1992), dan Mati Muda di Pelukan Janda (2011). Padahal para janda ini kebanyakan tidak menginginkan status tersebut sebab data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka menjanda karena kematian suaminya, bukan karena perceraian. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sedih karena kehilangan suami dan lelah menafkahi keluarga, ditambah harus menghadapi stigma negatif masyarakat.

Dalam urusan percintaan para janda pun tidak lagi seberuntung dan sebebas para gadis. Para janda bukan lagi menjadi pilihan utama para laki-laki karena status “bekas” yang melekat pada dirinya. Data BPS membuktikan bahwa sejak tahun 2010 hingga 2020 persentase para janda tidak mengalami penurunan yang berarti, bahkan persentase para gadis yang semakin berkurang karena tidak hanya para bujang yang turun dalam kancah perebutan para gadis, namun juga para duda dan orang yang sudah menikah. Sehingga stok gadis yang tersisa hanya 27,39%, sementara para bujangnya jauh lebih banyak mencapai 37,21%.

Dengan kondisi seperti ini, hendaknya menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik para wanita, orang tua, maupun pemerintah. Bahwa hendaknya seorang wanita dibekali dengan akhlak dan pendidikan yang baik sebelum menikah, dan pemerintah pun harus menjamin terpenuhinya pendidikan hingga minimal SMA/sederajat dan tidak ada yang putus sekolah. Jangan hanya karena stereotipe bahwa wanita itu kodratnya dapur- sumur- kasur, lalu menyekolahkan anak wanita seadanya, seperti kondisi sekarang dimana 63,44% wanita tamat SMP ke bawah, 26,32% tamat SMA/sederajat, dan hanya 9,89% tamat diploma atau sarjana (BPS, 2020).

Dengan pendidikan yang tinggi dan akhlak yang mulia seorang wanita akan menjadi permata yang sangat berharga dan membuat suami tidak rela kehilangannya. Jika takdir buruk terjadi, dan perceraian harus terjadi atau suaminya meninggal pun, ia masih bisa menggunakan ilmu dan ijazah yang dimilikinya untuk memberdayakan dirinya di lapangan pekerjaan yang lebih baik sehingga dapat menafkahi diri dan anak-anaknya dengan layak. Dengan pendidikan dan akhlak yang baikpun ia masih bisa memperoleh pasangan baru, tidak kesulitan seperti kondisi sebagian besar para janda saat ini.

 
Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya