Fenomena Keagamaan Otoritarian dan Feodalisme Spiritual

Mahasantri Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo/ Alumni PP. Mathali'ul Anwar Pangarangan-Sumene
Fenomena Keagamaan Otoritarian dan Feodalisme Spiritual 27/06/2024 335 view Budaya depositphotos.com

Ada fenomena menarik yang pernah saya jumpai saat sedang menimba ilmu di pondok pesantren. Kala itu sandal teman saya pernah dighasab (dipakai orang lain tanpa seizinnya). Sebenarnya peristiwa ghasab-mengghasab sandal merupakan hal lumrah yang sering terjadi di kehidupan para santri. Bahkan, kalau boleh dikata, ghasab adalah salah satu tradisi buruk kaum-kaum sarungan tersebut, yang sampai saat ini masih mengakar. Namun, yang bikin saya agak sedikit heran adalah di saat yang sama (yakni tepat ketika sandal teman saya dighasab), kebetulan juga ada salah seorang santri meng-ghasab sandal korban yang salah sasaran. Alih-alih ia mengira sandal milik santri sebayanya, ternyata sandal yang ia ghasab milik salah satu ahlul-bait (keluarga besar kyai).

Jadi dalam satu waktu, ada dua korban ghasab sekaligus dua pelaku ghasab yang terjadi secara bersamaan. Santri A menjadi korban ghasab santri B, sedang ahlul-bait menjadi korban ghasab santri C. Namun, keheranan saya bukanlah terletak pada dua peristiwa yang kebetulan tersebut. Perbedaan indentitas korban ternyata dapat mempengaruhi tanggapan atau pandangan para santri, tanpa terkecuali saya sendiri. Mayoritas temen-temen santri saat itu acuh tak acuh untuk sekedar menanggapi ghasab-menggashab yang dilakukan B kepada A, namun sangat tanggap dan antusias terhadap peng-ghasaban C kepada sandalnya ahlul-bait. Ada yang bilang si-C tak beradab, tak tahu diri, miskin akhlak dan segala macam tudingan buruk lainnya. Namun cercaan itu tidak mereka lontarkan kepada si-B yang mengghasab sandalnya si-A.

Dari dua tanggapan yang berbeda itu, saya mendapatkan sebuah pertanyaan; benarkah dosa seorang pengghasab bergantung kepada korban yang menjadi sasaran? Saya tidak yakin untuk menjawab; tidak. Sebab fakta yang terjadi malah menunjukkan sebaliknya. Dimana si-C menderita akibat cercaan temennya, sedang si-B malah santai seolah tak terjadi apa-apa. Namun barangkali ini ada kaitannya dengan apa yang telah dijelaskan oleh Erich Fromm tentang pengaruh perilaku keberagamaan.

Erich Fromm dalam bukunya; Psychoanalisis and Religion membagi tipe keberagamaan dalam dua kategori; Keberagamaan Otoritarian (Religion Authoriy) dan Keberagamaan Humanis (Religion Humanistic). Kategori pertama yakni tipe keberagamaan otoritarian merupakan perilaku seseorang yang sangat dipengaruhi oleh perilaku keagamaannya. Dalam model tipe pertama ini, pikiran seseorang cenderung terbelenggu dan terkurung dalam wajah otoritas agama. Elemen krusial dalam jenis keagamaan ini menekankan kepada sosok yang memiliki otoritas tertinggi. Sehingga orang-orang dengan perilaku keberagamaan otoritarian mementingkan sikap ketundukan kepada otoritas tersebut, alih-alih bersikap rasional.

Berbeda dengan itu, tipe keberagamaan humanis justru mementingkan nilai-nilai rasionalistik. Perilaku keberagamaan ini hanya mengakui bahwa ada entitas tertinggi dari diri sendiri. Pengakuan tersebut tidaklah sama sekali menghilangkan nalar kritis perilaku umatnya. Sebab dalam keberagamaan humanis hanya sekedar mengekspresikan bagian lebih tinggi dari dirinya sendiri.

Jika mengacu pada teori yang dipaparkan oleh Erich Fromm, maka barangkali pikiran yang terbentuk dari beberapa para santri disebabkan oleh perilaku keberagamaan otoritarian. Dimana sosok ke-kyai-an sebagai pemilik otoritas tertinggi selalu dan selalu dianggap sebagai pemilik kebenaran mutlak. Akibatnya nalar pandangan seorang santri selalu tidak objektif dan tidak proporsional.

Dengan melihat dari sudut pandang yang lain perilaku keberagamaan otoritarian, agaknya sangat mirip dengan budaya feodalisme pasca abad pertengahan. Jika pada waktu itu otoritas seseorang bergantung pada materi atau kekayaan yang ia miliki, maka pada kehidupan lingkungan pesantren, otoritas tertinggi bergantung pada tingkatan spiritualitas seseorang. Kehidupan abad pertengahan, otoritas tergambar dalam sosok seorang raja atau bangsawan. Sedang otoritas dalam lingkungan pesantren terletak dalam sosok ustadz atau kyai. Ketundukan seorang santri kepada kyainya sama dengan ketundukan seorang rakyat terhadap rajanya. Maka watak kepribadian yang dimiliki seorang santri terkurung oleh otoritas seorang kyai, sebagaimana kurungan otoritas raja kepada watak kepribadian rakyatnya.

Jika peristiwa ghasab sebagaimana di atas belum cukup kuat untuk mengidentifikasi pola pikir para santri sebagai yang terbentuk oleh perilaku keberagamaan otoritarian dan budaya feodalisme spiritual, barangkali gambaran peristiwa di bawah ini bisa sedikit anda terima.

Di pondok yang sama, saya pernah menyangkal pendapat guru atau ustadz saya, tapi tidak dihadapannya secara langsung. Hal ini saya lakukan sebab saya takut cenderung menyakiti hati beliau jika beradu argumen di dalam kelas, alih-alih mau membenahi. Entah saya lupa pembahasan itu tentang apa, yang jelas segala macam referensi dan argumentasi ilmiah sudah saya buktikan kepada teman-teman sekelas saya. Namun yang terjadi adalah mereka tetap tidak menghiraukannya, atau bahkan malah ada yang mencecar saya, alih-alih melawannya secara argumentatif.

Dari kejadian ini lagi-lagi saya berkesimpulan bahwa; nilai kebenaran ilmiah seseorang ternyata bergantung pada kekuasaan spiritualitasnya. Artinya, betapapun ilmiah dan objektif pendapat yang kita ajukan, itu hanya akan dianggap bualan apabila mengkritik nalar yang digunakan oleh pemilik otoritas keagamaan, sekalipun itu tidak ilmiah. Barangkali teman-teman saya berlindung atas nama adab dan tatakrama. Namun, demi hasil yang objektif bukankah kita harus melepas segala macam nilai, termarsuk nilai keagamaan, dalam pembahasan ilmiah, sebagaimana yang diajukan oleh Fransisco Bacon?

Fenomena tentang keberagamaan otoritarian dan feodalisme spiritual seringkali tergambar dalam kehidupan umat beragama. Akibat dari fenomena ini adalah kerentanan sikap seseorang untuk dimanipulasi oleh seseorang yang memanfaatkan label agama demi kepentingannya sendiri. Tak jarang isu terorisme dan perang dilontarkan atas nama Tuhan. Bodohnya kita mudah terpengaruh hanya karena mereka berteriak menyebut keagungan Tuhan. Seringkali kita dibodoh-bodohi oleh orang yang bersenjatakan agama, yang bahkan rukun Islam pun tak hafal. Bodohnya lagi, kita sudi menghamba kepadanya hanya karena ia beriklan agama. Barangkali pengikut seorang Mama yang kini sedang viral, telah dimabuk asmara oleh rayuan agamanya?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya