Fashion dan Eksistensi Ketubuhan

What the public wants is the image of passion, not passion itself.
-Roland Barthes.
Saya awali kata-kata Roland Barthez untuk mengawali tulisan ini.
Bagi kebanyakan masyarakat dewasa ini, penampilan selalu dijadikan sebuah patokan dasar dan tolak ukur dari bentuk kemoderenan. Selain menjadi sebuah simbol sosial, pakaian juga adalah salah satu bentuk dari modernisasi tubuh dan hasrat.
Pada hakikatnya, tubuh adalah sebuah penanda penting bagi status sosial maupun religius. Bagi seorang pengiat kajian antropologi, anatomi dan gerak-gerik tubuh dalam berbagai ritus dan seni, sering dijadikan tema yang penting dalam setiap studi atas problem dan kajian kebudayaan-kebudayaan. Baik itu kuno ,klasik maupun kontemporer.
Tubuh dan pakaian tidak bisa dilepaskan satu sama lainya. Tubuh dan pakaian selalu bergandengan sepanjang sejarah manusia. Berbagai macam jenis pakaian lahir dari setiap peradaban di dunia dengan berbagai macam jenis pola dan motif. Seprimitif apapun peradaban manusia, pakaian akan selalu hadir di dalamnya.
Di tengah arus globalisisasi yang begitu kuat ditandai dengan adanya hyperspace atau pemahaman runtuhnya makna ruang, informasi-informasi kebudayaan dan lifestyle dari berbagai macam penjuru dunia dengan mudah sekali masuk. Ditambah dengan iklan-iklan di berbagai macam media seperti televisi, internet , majalah dan lainya. Dalam majalah sebut saja majalah bulanan Vogue yang membahas tubuh dan pakaian dengan begitu eksotis. Dalam paradigma postmodernisme, fenomena itu semua adalah sebuah “game of sign” atau permainan “tanda” yang melahirkan galaksi simulakra sehingga mampu mengeksploitasi alam bawah sadar agar berjalan menuju gaya hidup masyarakat konsumer. Dari permainan tanda itupulah kemudian melahirkan kalangan society of the spectacle atau (masyarakat tontonan).
Terlepas dari pandangan postmodernisme tersebut, mari kita telusurui lebih jauh tentang tubuh dan fashion ke dalam relung kedalaman manusia.
Dalam filsafat klasik Yunani, menyoal masalah tubuh, ada tiga corak pemikiran yang utama. Yang diwakili oleh Cyrenaic,Epicurus dan Orpheus. Corak pertama adalah corak yang digagas oleh Cyrenaic, yang menyatakan bahwa kebahagiaan tubuh adalah kebahagiaan yang terpenting. Tokoh corak kedua adalah Epicurus yang memproklamirkan keyakinan tentang arti penting dari kebahagiaan jiwa. Bagi kubu epicurus, kebahagiaan tubuh tetap diperlukan, namun kebahagiaan jiwa jauh lebih penting. Dan corak yang ketiga diwakili oleh Orpheus yang dengan lantang berpihak pada kebahagiaan jiwa. Kubu yang didirikan oleh Orpheus ini menegakkan paradigma ekstrem bahwa tubuh adalah neraka bagi jiwa.
Di dalam berbagai macam tradisi agama, baik itu agama semitik ataupun non semitik, menyoal masalah tubuh, sebenarnya ketiga pandangan dari pemikir Yunani tersebut saling berkaitan satu sama lainya. Namun pada umumnya hampir di setiap tradisi agama secara umum lebih cenderung ke dalam paham Orpheus dan Epicurus yang mengatakan bahwa kebahagiaan tubuh tetap diperlukan, namun kebahagiaan jiwa jauh lebih penting. Atau yang ekstremnya tubuh dianggap sebagai penjara/neraka.
Dalam agama Islam misalnya terutama dalam fan fiqh, tubuh terkesan diposisikan sebagai sumber maksiat dan kotor sehingga wajib disucikan secara khusus lewat sebuah tata cara penyucian (wudlu) tiap kali hendak melakukan sebuah ritus ibadat. Begitu juga dengan fashion atau tata cara berpakaian dalam fiqh Islam pun diatur. Islam bahkan memiliki “term” khusus untuk bagian tubuh yang haram untuk diperlihatkan yaitu kata “aurat”. Sehingga Islam memiliki tata cara bagaimana berpakaian yang ‘benar’.
Dalam tradisi Hindu Yoga misalnya tubuh menjadi sarana utama untuk mencapai samadhi atau moksha. Begitu pun dalam tradisi Buddhist yang mengistilahkan nya sebagai arahat atau nirwana. Terlalu mengejar kenikmatan tubuh bisa membuat seseorang akan sulit mencapai nirwana sehingga akan bereinkarnasi ke dalam wujud yang lebih buruk di kehidupan selanjutnya. Itulah sebabnya sejumlah ritual yang meminimalisir kebahagiaan tubuh menjadi penting dalam tradisi Buddha. Tentu berbeda soal jika tubuh di pandang dalam perspektif aliran tantrayana. Intinya bahwa persoalan tubuh akan senantiasa mendapatkan perhatian khusus dalam setiap tradisi agama.
Tubuh memiliki kisah yang panjang dalam peradaban manusia. Tubuh sering dijadikan sebuah simbol akan sesuatu. Baik itu bersifat spritual,sosial, maupun sexual. Kita mungkin mengenal tarian-tarian semacam flamenco, tanggo, belly dance dan tarian eksostis lainya. Ditambah di era ini, lahir dan maraknya tarian striptis modern. Hal itu menunjukan bahwa tubuh tidak akan pernah kehilangan pesonanya sepanjang zaman. Masalah utama dari tubuh sebenarnya si pemilik tubuh itu sendiri. Tubuh sejatinya bersifat netral. Ia adalah tanda yang tidak akan pernah bermakna ketika tidak ada sebuah penanda dan petanda dari subjek pemakna itu sendiri.
Di dalam buku purity and danger Mary Douglas meyakini tubuh adalah suatu sistem simbol. Permasalahan tentang tubuh ini pernah dibahas secara panjang lebar oleh Michael Foucault seorang filsuf asal Perancis di dalam buku The History of Sexuality (1978). Tubuh meskipun selalu berkaitan dengan fashion, namun dari hal keterkaitan tersebut, terdapat perbedaan yang sangat kentara dalam tatanan ontologinya. Selain itu Michael Foucault pun berpendapat bahwa ada proses “pendisiplinan tubuh” dalam setiap ruang kehidupan.
Misalnya dalam paradigma pop culture , dalam perspektif pop culture tubuh dan seni fashion adalah sebuah sistem simbol dari berbagai macam jenis kebudayaan. Sebuah fashion, yang ada hari ini adalah hasil dari berbagai macam kebudayaan yang ada. Satu hal yang tak terbantahkan oleh kita bahwa, manusia adalah mahluk dominan di bumi ini. Buah karyanya telah mengubah wajah dunia. Dalam hal apapun itu. Manusia mampu berkembang melampaui batas-batas fisik mereka sendiri. Dan seni fashion adalah salah satunya. Fashion sering dijadikan sebuah simbol kemapanan ataupun bentuk dari pengekspresian diri baik itu bersifat pemberontakan, keebasan dan hal lainya. Thomas Carlyle mengatakan, "Pakaian adalah perlambang jiwa. Pakaian tak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia." Dalam buku The Fashion System,(1915) Roland Barthes membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode. Menurut Roland barthes, tata busana atau fashion tidak lagi menjadi sekedar pakaian. Tetapi juga telah menjadi mode. Menjadi peragaan busana, dan pengelompokan kelas serta identitas. ia menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, sehingga hal itu menjadi simbol status kehidupan.
Dunia mode merupakan salah satu proyek model kaum kapitalis agar melahirkan kesan pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai ‘tanda’. Yang akan membedakan antara pakaian sesuai warna dan pola realitas sosio antropologis serta geografis yang dihadapinya. Maka oleh sebab itu dalam dunia fashion kita mengenal istilah pakaian kantoran, olah raga, liburan, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur. Bisa dikatakan singkatnya fashion adalah penanda identitas dan adaptasi tubuh dan ruang paling luar. Saat orang melekatkan pakaian yang berbeda ‘style’ pada tubuhnya, maka secara tidak langsung ia telah melakukan travelling identity atau penjelajahan identitas terhadap eksistentsi dirinya. "Eksistensi ketubuhan",tidak bisa dilepas dari pakaian. Tubuh dan fashion senantiasa berkelindan dengan rangkaian kuasa kesemestaan semiotiknya. Maka dari itu Tubuh adalah pakaian dan pakaian adalah tubuh itu sendiri.
Tabik.
Artikel Lainnya
-
56730/06/2021
-
97507/10/2020
-
71828/06/2020
-
Menjadi Bahagia Ala Augustinus
13324/12/2022 -
Coronavirus dan Kegaduhan Sains Modern
165528/02/2020 -
64205/11/2021