Eksploitasi Tubuh dan Media
Ruang diskusi masyarakat sekuler akhir-akhir ini dipenuhi dengan pembicaraan soal ekspolitasi tubuh perempuan. Perbincangan soal eksploitasi tubuh perempuan akan senantiasa menarik dengan diwarnai perkembangan teknologi sebagai basis promosi utamanya.
Berbagai produk teknologi semisal media massa secara nyata mempertontonkan kevulgaran tubuh perempuan. Hal ini sudah membumi dengan hadirnya para kapitalis guna meraup keuntungan. Tubuh perempuan sudah menjadi semacam “objek” dagangan agar laku keras di pasar dan mendulang profit.
Rambut perempuan menjadi sasaran produksi sampoo, bibir menjadi sasaran produksi lipstick dan aneka krem lainnya merupakan contoh yang dapat dengan mudah kita temui.
Meskipun tubuh laki-laki turut menjadi pasar konsumsi, tetapi hal ini belum semasif perempuan. Persoalan ini semakin menjadi-jadi dengan hadirnya inovasi teknologi yang turut merubah paradigma publik akan kesakralan tubuh.
Tubuh yang seharusnya bersifat sakral, dihormati, bahkan dirawat justru mengalami pergeseran kepada aktivitas pengobjekkan tubuh. Tubuh bukan lagi dilihat sebagai ruang privasi yang mesti dijaga tetapi sebagai “obyek” untuk meraup keuntungan. Dalam hal ini, tentunya perendahan martabat manusia adalah konsekuensi utamanya.
𝗠𝗲𝗱𝗶𝗮 𝗠𝗮𝘀𝘀𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗺𝗽𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗢𝘁𝗼𝗻𝗼𝗺𝗶 𝗧𝘂𝗯𝘂𝗵 𝗣𝗲𝗿𝗲𝗺𝗽𝘂𝗮𝗻
Silvia Federici, satu scholar cum activist terkemukan lewat buku Caliban and The Witch: Women, The Body, and Privitive Accumulation yang pertama kali terbit pada tahun 2004 menjelasakan bahwa perampasan otonomi atas tubuh perempuan salah satunya ialah melalui pembagian kerja secara seksual yang meletakkan kerja dan fungsi reproduksi perempuan ke dalam reproduksi tenaga kerja (Izzati, 2020).
Tubuh perempuan dicitrakan sebagai salah satu lahan kerja secara seksualitas. Otonomi atas tubuh perempuan kemudian mengalami sedikit pergesaran pada tataran ini. Otonomi atas tubuh bukan lagi menjadi hak individual setiap perempuan. Akan tetapi, hak otonomi atas tubuh perempuan kemudian diambil penuh oleh media massa. Perempuan kehilangan kesakralan atas tubuhnya yang kemudian dimonopoli oleh media massa.
Perampasan atas otonomi perempuan tersebut tentunya adalah kejahatan kemanusiaan. Media massa justru melihat eksistensi tubuh perempuan yang terus mengalami degradasi karena adanya ekspolitasi tubuh secara seksual dan tujuan sensualitas. Dalam sistem kapitalis modern, hal itu kemudian dapat dipandang sebagai tahap komersialiasi tubuh oleh penguasa media (Thadi, 2014).
Berbagai macam cara semisal strategi marketing menonjolkan kemolekan tubuh perempuan guna menarik minat konsumen akan suatu produk. Tubuh perempuan menjadi “objek” yang diperalat oleh media massa. Hal ini dilakukan dengan cara merenggut kekayaan dan estetika tubuh demi mengiklankan fashion dan aktuliasasi budaya popular-kontraditif dengan budaya domestik.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tubuh perempuan kemudian dapat dieksploitasi secara massif, mengingat nilai pasar dan eknominya yang tinggi di industri media.
Perempuan sering menjadi sasaran media karena industri media masih didominasi laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki dan media memiliki penjelasan atas status eksploitatif perempuan.
𝐒𝐞𝐧𝐢 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐰𝐚𝐭 𝐓𝐮𝐛𝐮𝐡
Dalam kacamata estetis, merawat tubuh adalah seni menciptakan keelokan dan memproteksi tubuh. Seni merawat tubuh tidaklah sebatas perawatan secara fisik, akan tetapi juga menyentuh dimensi spiritual. Seni merawat tubuh tidaklah hanya dengan akvitas mandi, memakai skincare, serta lain sebagainya. Seni merawat tubuh juga menyangkut otoritas seseorang dalam menjaga kesakralan tubuhnya.
Perawatan tubuh mesti menyentuh sisi kerohaniaan dan psikis manusia. Dalam pengertian ini, tubuh bukanlah “objek” yang dapat dikomersialisasi lewat berbagai macam bentuk atau cara. Tubuh mesti dijaga keprivasiannya dengan cara tidak mempertontonkan keelokan dan keindahan tubuh. Hal ini relevan dengan luhurnya martabat manusia sebagai mahkluk yang bebas dan bermartabat. Tubuh merupakan simbol keluhuran dan kehormatan seseorang di tengah dunia.
Tubuh manusia yang terdiri atas unsur transendetal adalah hal yang tak terpisahkan. Otonomi tanpa batas adalah hal terpenting dalam tubuh manusia.
Bagi penulis, paradigma tubuh manusia harus direkonstruksi sebagai sesuatu yang simbolik. Dengan kata lain, seluruh diri di luar materi adalah simbol dari tubuh manusia. Tubuh manusia adalah sumber persatuan, dirancang demi cinta dalam hubungan, serta terdapat jiwa yang menopangnya.
Oleh karena itu, membatasi tubuh manusia (baca: eksploitasi tubuh) melalui berbagai praktik komodifikasi tubuh adalah sebuah kesalahan. Tubuh manusia adalah simbol kebebasan, tidak didominasi oleh orang lain. Tubuh bukanlah obyektifikasi untuk kepentingan profit tanpa memandang keluhuran dan kesakralan tubuh itu sendiri.
Artikel Lainnya
-
181008/01/2020
-
46818/02/2024
-
54412/10/2022
-
142004/01/2021
-
Angkringan Politik dan PR Gerakan Mahasiswa
251131/01/2020 -
Titik Terang Menuju Kebebasan Berdemokrasi
94322/02/2021