Dunia Para Perundung

Akademisi Psikologi
Dunia Para Perundung 21/10/2019 2231 view Lainnya

Terjadi lagi. Kasus bunuh diri akibat perundungan (bullying) menunjukan eskalasi yang kian mengkhawatirkan. Yang terbaru adalah kisah bocah YSS (14) yang nekat mengakhiri hidup karena sering dirundung teman-temannya. Padahal tak kurang dia punya prestasi. Selain memonopoli status juara kelas sejak SD, dia juga jagoan olimpiade matematika dan IPA hingga tingkat provinsi. Hadiah sepeda dari Presiden Jokowi semakin mempermanis torehannya.

Tetapi sayang kilauan prestasi tersebut tak mampu memadamkan kobaran stigma negatif yang sering dialamatkan padanya. Ayahnya yang berprofesi sebagai tukang cor adalah pembunuh ibunya sendiri. Dengan tragis, sang ibu dicor dalam bak semen. Sejak saat itu, YSS mendapat ejekan dari teman-temannya sebagai keturunan pembunuh dan anak tukang cor. Tak kuat menanggung ujian hidup yang teramat berat, jiwa belia itu menyerahkan diri di bawah utasan tali.

Kasus YSS hanyalah secuil contoh dari kasus perundungan yang kian memprihatinkan. KPAI mencatat ada 253 kasus perundungan sejak tahun 2011-2016, terdiri dari 122 anak menjadi korban dan 131 anak menjadi pelaku.

Data UNICEF lebih menohok lagi. Rilis terbaru yang dikeluarkan bulan September lalu mengatakan 1 dari 3 anak muda usia 13-24 tahun di 30 negara, Indonesia termasuk, pernah jadi korban perundungan. Survey yang diikuti lebih dari 170.000 responden itu juga mengungkap bahwa 1 dari 5 responden pernah bolos akibat perundungan dan kekerasan.

Perundungan, terutama yang dilakukan secara langsung (face to face), memang paling marak terjadi di sekolah. Faktor penyebabnya beragam. Kebutuhan untuk diakui dan dihargai oleh teman sebaya menjadi salah satu diantara pemicunya. Karena memang sudah menjadi rahasia umum bahwa anak sekolah biasa hidup berkelompok (geng). Dan perundungan adalah bahan bakar yang sangat efektif untuk mengakselerasi kohesivitas geng tersebut.

Sebenarnya tidak melulu anak yang disasar perundungan itu lemah. Kadang yang merundung justru lebih lemah daripada yang dirundung. Tetapi ketergabungan perundung dalam sebuah kelompok membuat identitasnya melebur jadi satu dengan identitas kelompok. Sehingga hilanglah identitas ‘lemah’ yang dimiliki perorangan tadi.

Dalam psikologi kelompok juga ada dalil yang mengatakan bahwa tanggung jawab perbuatan dari seorang anggota akan terdistribusi merata ke seluruh anggota lainnya. Merundung memiliki konsekuensi psikologis yang berat jika dilakukan sendiri, tapi karena distribusi tanggung jawab tadi, merundung bersama kelompok jadi terasa lebih ringan.

Perundungan juga bisa terjadi karena kondisi korban yang berbeda, baik dari segi fisik, status sosial, maupun kepribadian. Anak yang berbeda suku dari mayoritas suku tempat dia bersekolah termasuk kedalam kelompok rentan perundungan.

Selain itu, orangtua juga bisa menjadi faktor anak melakukan perundungan kepada teman sebayanya. Tidak jarang kita temukan orangtua yang suka mengejek anaknya sendiri, misalnya menyebut anak cengeng ketika dia menangis. Padahal ejekan adalah stressor bagi anak dan untuk menekannya, anak akan melakukan salah satu mekanisme pertahanan diri yang oleh Freud disebut pengalihan (displacement). Disini anak akan mengalihkan amarahnya dari orangtua kepada pihak yang dianggap lebih lemah, bisa adik, bisa pula temannya

Tak ketinggalan, lingkungan pun punya andil dalam menyuburkan perundungan. Masyarakat seringkali terlalu permisif dan cenderung menikmati perundungan sebagai suatu hiburan. Bahkan kalau kita menonton tv, berbagai acara yang mengeksploitasi kekurangan seseorang sering menjadi acara favorit dan ditayangkan di waktu utama (primetime). Mungkin sekedar akting, tapi hal tersebut menjadi kursus terbaik bagi anak-anak untuk belajar (modelling) merundung.

Cyberbullying
Kecanggihan teknologi membuat perundungan berevolusi menemukan bentuk terjahatnya. Dulu perundungan hanya dilakukan secara face to face dengan pelaku yang biasanya hanya segelintir orang. Waktunya pun terbatas. Perundungan di sekolah misalnya, akan usai ketika jam sekolah berakhir.

Tetapi teknologi internet membuat perundungan menjadi semakin liar dan ganas. Cyberbullying kini dengan mudah menyelinap masuk ke dalam selimut kita, 24 jam sehari 7 hari seminggu. Tak kenal waktu dan tempat, dia datang mengoyak jiwa secara acak. Artis, politisi, pejabat, aparat, hingga teman sejawat bisa jadi target rundungan. Mencerabut kebahagiaan dari jiwa malang itu. Dengan pelaku yang bukan lagi satu dua orang, tapi seisi dunia.

Kematian Sulli (25), artis papan atas Korea, adalah kasus teranyar. Dia ditemukan tewas bunuh diri di apartemennya. Serupa dengan kasus YSS, salah satu tertuduhnya adalah para perundung dari kalangan netizen. Bertahun-tahun dilawannya rundungan itu. Tapi semakin dilawan semakin tak jelas dimana ujungnya. Sampai akhirnya dia memilih mengakhiri perlawanan tersebut. Kejadian ini sekaligus menjadi penegas bahwa efek mematikan perundungan bukan hanya menyasar jiwa-jiwa belia.

Kasus YSS dan Sulli adalah kado pahit di Hari Kesehatan Mental Dunia yang baru saja diperingati 10 Oktober lalu. Semakin miris karena tema yang diambil tahun ini adalah pencegahan bunuh diri. WHO mencatat ada 800.000 orang meninggal bunuh diri tiap tahunnya. Sadis! Itu artinya ada satu orang mati bunuh diri tiap 40 detiknya, yang salah satu sebabnya karena perundungan.

Cyberbullying lebih kompleks daripada perundungan tradisional. Kalau tanggung jawab perundungan tradisional terbagi merata kepada kelompok perundung, dalam cyberbullying seseorang bisa begitu saja lepas dari tanggung jawab karena menggunakan akun anonim. Satu akun diblok, mereka dengan mudah membuat akun lain. Sehingga satu orang bisa memiliki puluhan atau bahkan ratusan identitas.

Perundungan netizen seringkali menjadi jauh lebih agresif dan kejam karena mereka tak melihat langsung respon targetnya. Ruang maya mengaburkan pandangan netizen dari bahaya serius seperti stres, kecemasan, perasaan rendah diri, depresi, bahkan bunuh diri orang yang dirundung.

Di sisi lain, mereka yang dirundung sangat tidak berdaya karena tidak memiliki kontrol, sesiapa yang melihat unggahan netizen perundung, juga tidak mampu menghentikan olokan tersebut. Sekali unggahan disebar, dengan cepat dia beranak pinak ke berbagai pelosok dunia. Membuat cyberbullying cenderung kekal di dunia maya.

Tetapi berbagai kompleksitas tersebut bukan alasan bagi kita untuk berhenti mencari solusi menekan kasus perundungan. Karena sudah cukup tersiksa nurani kita dengan sajian berita bunuh diri para korbannya. Dan semakin terusik ketika mendapati komentar yang justru menyalahkan korban bunuh diri sebagai orang yang lemah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya