Djoko Tjandra, Rumah Kaca, dan Jati Diri Bangsa

Mahasiswa
Djoko Tjandra, Rumah Kaca, dan Jati Diri Bangsa 16/07/2020 1966 view Politik gesuri.id

“Kisah Joko Tjandra menampar wajah hukum Indonesia, menampar wajah republik,” demikian tulis Budiman Tanuredjo di harian Kompas (11/7/2020). Memang, hari-hari terakhir ini, namanya selalu muncul di beberapa platform mainstream kita, bahkan pernah menjadi liputan khusus harian Kompas. Pasalnya, buronan korupsi selama 11 tahun ini tiba-tiba muncul (datang dan pergi) tanpa terdeteksi oleh sistem imigrasi. Bahkan disinyalir, setiap tiga bulan sekali keluar masuk Indonesia. Rasa-rasanya, sistem hukum negara terbesar ke-13 ini hanya menjadi mainannya.

Pada tahun 1988, Pramoedya Ananta Toer menerbitkan seri keempat tetralogi Pulau Buru berjudul Rumah Kaca. Berbeda dengan judul-judul sebelumnya, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, para pembaca akan langsung memahami maksud Rumah Kaca ini di seperempat halaman awalnya.

Tuan Minke, tokoh yang diangkat Pramoedya dari sosok Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Indonesia, kini dimata-matai oleh Jacques Pangemanann, seorang komisaris polisi Hindia Belanda yang berhamba pada Gubernur Jendral Idenburg. Hanya melalui kertas kerjanya ia mampu mengendalikan Tuan Minke di tanah Hindia Belanda; mengasingkannya ke Maluku, membredel Harian Medan, memecah belah badan Syarikat Islam, bahkan menciptakan kematian yang “wajar” bagi Tuan Minke.

Alhasil, nama Tuan Minke benar-benar lenyap dari cerita “bumi manusia”. Di akhir cerita, para pembaca harus mengakui bahwa tak pernah ada yang mampu mengendalikan negeri ini sebegitu rapi layaknyaTuan Pangemanann mengendalikan Tuan Minke dan pengaruhnya di awal tahun 1990-an itu.

Nah, seperti Novel Rumah Kaca, kisah buronan Djoko Tjandra melahirkan dua kemungkinan ini di mata publik; Djoko Tjandra yang berhasil menguasai “rumah kaca” dan karenanya mampu membereskan kecoa kecil di bawah lemari ataukah pemerintah yang gagal menjadi tuan atas “rumah kacanya”nya sendiri?

Akhir-akhir ini kita tahu Djoko Tjandra adalah buronan terpidana perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali tahun 2009 silam dengan kerugian negara mencapai Rp 546 miliar. Sehari sebelum Mahkamah Agung memvonis hukumannya, yakni pada Kamis, 11 Juni 2009, Djoko Tjandra kabur ke luar negri menuju Papua Nugini. Sejak saat itu, ia tidak pernah terlacak lagi. Sebelas tahun pun berlalu. Terakhir secara mengejutkan ia sudah berada kembali di Tanah Air tanpa sedikit pun terlacak oleh sistem.

Berdasarkan penulusuran Kompas pada 8 Juni 2020, Djoko dan pengacaranya mendatangi kantor kelurahan Grogol Selatan untuk melakukan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Tiga puluh menit selesai dengan pelayanan eksklusif. Dari sana, Djoko Tjandra dan kuasa hukumnya bergerak menuju Kantor Pengadilan Negri (PN) Jakarta Selatan untuk mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkama Agung terkait perkara cassie Bank Bali.

KTP-el yang baru saja dibuat Joko langsung digunakan sebagai salah satu syarat PK (Kompas, 6/7/2020). Uniknya, tak satu pun yang menyadari Djoko Tjandra sebagai buronan kelas kakap. Safari ria Djoko Tjandra di Indonesia pun berlangsung aman terkendali, sebelum kemudian ia berpura-pura sakit di Kuala Lumpur, Malaysia.

Setelah melakukan check dan recheck, beberapa fakta mengejutkan pun mulai bermunculan.

Pertama, tak satu pun jejak Djoko Tjandra yang terekam CCTV. Di kantor kelurahan Grogol Selatan, terdapat 4 unit CCTV, tapi tak satu pun yang merekam kedatangan Djoko. Rupanya semua CCTV tersebut hanya menjadi hiasan alias tidak berfungsi selama sekitar 3 bulan terakhir. Dikabarkan, Lurah Grogol Selatan ini sudah dinonaktifkan.

Hal yang sama pun berlangsung di PN Jakarta Selatan. Rekaman tersebut sudah terhapus karena server sistem CCTV pengadilan itu hanya dapat menyimpan rekaman selama sepekan. Sementara kehadiran Djoko Tjandra baru disadari dua pekan setelah itu (Kompas, 8/7/2020). Publik mafhum semoga semua hal tersebut adalah kebetulan.

Kedua, nama Djoko Tjandra tidak terlacak di pelintasan imigrasi. Ini gawat dan sangat elusif. Apalagi, disinyalir bahwa Djoko Tjandra setiap tiga bulan sekali masuk ke Indonesia tanpa diketahuai Direktorat Jendral Imigrasi Kementrian Hukum dan HAM. Mengutip Budiman Tanuredjo, tampaknya perlintasan imigrasi di Indonesia sedang bermasalah.

Sebelumnya publik geger ketika kedatangan Harun Masiku, buronan KPK, juga terlambat dideteksi Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta. Harun masuk ke Jakarta pada 7 Januari 2020, tetapi baru diketahui pihak imigrasi 22 Januari 2020. Itupun setelah media membongkar kepulangan Harun (Budiman Tanuredjo, Kompas, 4/7/2020).

Ketiga, pada 5 Mei 2020 ada pemberitahuan dari sekretariat NCB/Interpol bahwa data red notice atas nama Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak 2014. Adapun red notice itu dikeluarkan oleh Interpol terhadap Djoko Tjandra pada 10 Juni 2009 silam (Kompas, 4 Juli 2020). Barangkali karena hal ini, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly ‘berbahasa’: “jadi seandainya masuk dengan benar, ia tak bisa kami halangi karena tidak masuk red notice,” (Kompas, 3/7/2020). Sangat disayangkan!

Layaknya membaca Novel Rumah Kaca, sederet fakta di atas membawa saya pada spekulasi bahwa Djoko Tjandra adalah seorang “Tuan Pangemanann” dalam kasus ini. Ia mengenal isi “rumah kaca”nya dengan baik, gerak-gerik korbannya, dan kehausan pendukungnya. Ia tahu di mana tikus-tikus kelaparan menghabiskan malam, kecoa-kecoa jorok bercokol, dan lubang-lubang rahasia terletak atau bahkan menciptakan kondisi yang wajar bagi mereka.

Jika demikian, logika selanjutnya ialah menuding pemerintah sebagai tuan yang “gagal” atas rumahnya sendiri. Cerita di balik CCTV, kejanggalan di pelintasan imigrasi, red notice yang terhapus, dan silang pendapat lembaga yang terkait menunjukkan kegagalan negara dalam menindak Djoko Tjandra.

Karena itu, sebagai tuan atas rumahnya sendiri pemerintah mesti bersungguh-sungguh menjadikan Indonesia ini sebagai “rumah kaca”nya. Kejanggalan sistem hukum dalam menindak Djoko Tjandra menyadarkan kita tentang lubang-lubang rahasia dan tikus-tikus rakus yang yang tidak disadari pemerintah. Bahaya ini akan menjadi permulaan dikotomi kekuasaan yang ambivalen dalam badan birokrasi kita.

Tapi lebih dari itu semua, penulis menemukan fenomena lain yang harus disadari pemerintah dalam “rumah kacanya”, yakni krisis jati diri bangsa. Semegah apapun bangunan fisik sebuah negara, tanpa jati diri bangsanya adalah serupa rumah yang dibangun atas dasar pasir (bukan wadas); begitu hujan dan badai menerpa, robohlah ia. Distorsi kekuasaan, sikut-menyikut, dan suap-menyuap seperti dalam kasus Djoko Tjandra adalah badai dalam “rumah kaca” yang harus disadari pemerintah.

Zygmunt Bauman, sebagaimana yang dikutip oleh A. Sudiardja, dalam bukunya The Individualized Society (2001) misalnya memperlihatkan bahwa dewasa ini segala macam keteraturan yang disusun dalam era modern menjadi kacau. Di zaman modern orang tidak merasa gelisah karena segalanya pasti. Tata tertib sosial dijalankan atas dasar hukum dan rasionalitas. Birokrasi dan administrasi merupakan perangkat penting yang ditaati.

Sebaliknya dalam zaman posmodern - yang sering juga disebut zaman global - budaya keteraturan dan kepastian kaum “permukim” telah berubah menjadi ketidakpastian dari pengembaraan kaum “gelandangan”. Maksud Bauman dengan metafora ini mau memperlihatkan bahwa kehidupan sekarang lebih mendorong gerak dan perpindahan individu, tidak hanya dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga dari satu nilai ke nilai lain, dari satu posisi ke posisi lain” (A. Sudiarja, BASIS No 09-10, Tahun ke-57, September-Oktober 2008).

Kejanggalan sistem hukum dalam kasus Djoko Tjandra barangkali dapat dilihat dari kaca mata Zygmunt Bauman ini. Krisis jati diri bangsa dalam tubuh birokrasi mesti disadari lebih awal oleh negara sebelum dikendalikan oleh Djoko Tjandra dan kawan-kawannya yang lain. Sebab, seperti kata Bauman, di zaman posmodern ini orang telah kehilangan jati dirinya. Atau sarkastiknya, bisa menjadi musuh dalam selimut karena tidak mempunyai pegangan.

Oleh karena itu, keseriusan pemerintah dalam mengenal “rumah kaca”nya, termasuk lubang-lubang rahasia, tikus-tikus kelaparan dan krisis jati diri birokrasinya, akan berguna bagi pemerintah dalam mengendalikan negara ini sebagaimana Tuan Pangemanann mengendalikan Tuan Minke dan pengaruhnya di Hinda Belanda kala itu.

“Memang sulit diterima kebenarannya, tetapi bahkan negara dalam bentuknya yang paling sempurna pun, suatu saat, akan terburai juga” (The Republic 546a).

Hemat saya, negara mesti menyadari kelemahan ini!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya