Disorientasi Desentralisasi
Sejarah sebuah bangsa selalu ditandai oleh pergeseran dari sistem lama menuju sistem baru. Pergeseran tersebut dimotivasi oleh kesadaran setelah melihat kelemahan sistem yang lama sambil disertai harapan bersama untuk mencapai kondisi yang lebih baik berkat pelaksanaan sistem yang baru. Indonesia, misalnya, membebaskan dirinya dari otoritarianisme militer Orde Baru ke demokrasi pada masa reformasi.
Reformasi lahir dari sebuah kesadaran kolektif bahwa rezim Orde Baru gagal menghadirkan negara yang bersedia menjunjung demokrasi, bukan hanya pada tataran prosedural, melainkan juga pada tataran substansial yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat.
Keterpenjaraan demokrasi dalam jeruji rezim Orde Baru terekspresi secara nyata melalui kinerja sistem politik dan ekonomi di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Orang-orang yang memiliki akses terhadap jabatan politik dan kemakmuran ekonomi didominasi oleh orang-orang yang dalam keadaan apapun selalu mengatakan “ya” untuk semua kebijakan yang diambil dan dieksekusi secara sepihak oleh korps perpolitikan Orde Baru.
Sistem regenerasi dan kaderisasi menjadi sangat mandul. Kebebasan berpendapat dalam bentuk menyuarakan aspirasi, kritikan, dan protes yang didasarkan pada analisis epistemologis atas fakta di lapangan dipangkas habis-habisan oleh rezim otoritarian dan militeristik ala Orde Baru.
Pihak yang memberikan aspirasi, kritikan apalagi protes terhadap jalannya pemerintahan dianggap sebagai pembangkang yang mesti segera dieliminasikan dengan menggunakan segala cara.
Di level pemerintahan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) datang dari pusat dan harus dilaksanakan di setiap komponen pemerintahan sampai ke level desa. Sentralisasi kekuasaan seperti pada zaman Orde Baru menggunakan pendekatan top-down. Instansi yang lebih rendah harus bertahan menjadi boneka dari instansi yang lebih tinggi.
Sebagai boneka, instansi yang lebih rendah wajib melakukan semua keputusan yang sudah ditetapkan oleh instansi yang lebih tinggi meskipun keputusan tersebut diambil secara sepihak dan hanya menguntungkan pihak tertentu.
Sentralisasi yang berlebihan pada zaman Orde Baru melahirkan suatu pemerintahan yang kaku dan mekanistik. Efek lanjutan dari sentralisasi adalah nilai-nilai politik lokal, etika politik daerah dan budaya politik lokal tidak diberi tempat dalam proses penyelenggaraan kehidupan publik.
Secara faktual, sistem sentralisasi pada masa pemerintahan Soeharto menyebabkan nasib buruk bagi daerah dan masyarakat lokal. Sentralisasi bergerak dari asumsi bahwa kehidupan bernegara dan bermasyarakat mesti diatur berdasarkan keputusan dari pusat yang seringkali bertentangan dengan kebutuhan masyarakat luas di daerah-daerah karena ada banyak kepentingan terselubung yang ingin dicapai.
Dalam keadaan seperti ini, tampak secara jelas bahwa sentralisasi menolak prinsip kesamaan dan kesederajatan di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menjadi salah satu prinsip fundamental dalam sistem demokrasi. Kebijakan yang disampaikan dari pemerintah pusat menetapkan secara definitif dinamisme penataan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kelahiran reformasi yang mengubah sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, pada awalnya, menjadi berita gembira bagi masyarakat lokal di daerah-daerah. Sistem desentralisasi memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Desentralisasi umumnya dimengerti sebagai pelimpahan wewenang pengambilan keputusan. Setiap provinsi dan kabupaten diberi hak dan kewajiban untuk mengelola pemerintahan sendiri dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, transparansi, akuntabilitas, partisipasi yang luas, dan aspirasi rakyat Indonesia dari daerah tertentu.
Otonomi daerah bertujuan secara efektif melayani kebutuhan masyarakat Indonesia di setiap daerah dan menyiapkan program-program pembangunan yang sesuai dengan potensi dan situasi dari setiap daerah.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di bawah sistem desentralisasi dan otonomi daerah, berada dalam suatu kesamaan derajat: yang satu tidak berhak mengklaim diri superior sementara yang lainnya inferior. Pemerintah pusat memberikan intervensi sejauh diperlukan oleh pemerintah daerah. Inilah yang dinamakan sebagai prinsip subsidiaritas.
Kendati demikian, sistem desentralisasi dan otonomi daerah pada masa reformasi tidak seindah yang dicita-citakan. Sistem desentralisasi dan otonomi daerah mengantar masyarakat lokal pada dua kenyataan pelik.
Pertama, keterkejutan berkaitan dengan membesarnya volume wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri. Keterkejutan tersebut muncul, hemat saya, karena tidak disertai kesiapan dan kemampuan akademis, kepemimpinan, dan administrasi untuk mengurus rumah tangga sendiri secara mandiri.
Kedua, serangan oligarki yang memproposalkan agenda utama yaitu perebutan jabatan politis tertentu dan eksploitasi kekayaan alam dalam rangka penumpukkan kekayaan.
Dua kenyataan pelik tersebut sudah cukup menunjukkan bahwa puluhan tahun pasca pelaksanaan sistem desentralisasi dan otonomi daerah, sistem tersebut tampaknya memasuki suatu kondisi disorientasi. Kondisi disorientasi tersebut tampak dalam bidang kehidupan politik dan ekonomi masyarakat lokal di daerah-daerah yang salah urus karena hanya menjawabi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pada masa reformasi, persoalan oligarki menjadi semakin kompleks yang ditandai oleh fenomena desentralisasi oligarki. Desentralisasi oligarki adalah sebuah fenomena yang ditandai oleh meluasnya keterlibatan para oligark, bukan hanya untuk konteks pemerintah pusat, melainkan juga sampai pada upaya untuk mempengaruhi kehidupan dan kebijakan pemerintah daerah.
Upaya untuk mendewasakan demokrasi di Indonesia melalui demokratisasi bidang-bidang kehidupan masyarakat jauh panggang dari api idealisme perjuwudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi sebuah idealisme tanpa realisme.
Demokrasi dan desentralisasi kita saat ini kian jauh panggang dari api kedaulatan rakyat. Demokrasi yang pada hakikatnya akrab dengan kehidupan rakyat dan berjuang untuk menjawab kebutuhan rakyat, kini bermetamorfosis menjadi demokrasi yang hanya memberi orientasi pada aspek prosedural dan dengannya hanya menjadi akrab dengan kehidupan kaum elite dan oligark.
Demokrasi yang hanya mengedepankan aspek prosedural dengan mudah menjelma menjadi demokrasi oligarkis yaitu demokrasi yang hanya dinikmati oleh para oligark dan hanya melayani kepentingan mereka.
Demokrasi oligarkis cenderung mencanangkan kegiatan-kegiatan politik yang sesungguhnya merupakan produk dari alasan-alasan pribadi yang mengatasnamakan kegiatan umum dan dirasionalisasikan menurut jasa umum.
Demokrasi oligarkis menjalankan perannya dengan memegang teguh prinsip etsi populus non daretur (seolah-olah rakyat tidak ada). Yang ada hanyalah kaum oligark dengan segala kepentingan mereka dan demokrasi didesain sedemikian rupa untuk memenuhi segala kepentingan mereka. Aspek untuk rakyat yang menjadi substansi demokrasi serentak berubah menjadi untuk diri sendiri dan keluarga.
Demokrasi oligarkis jarang sekali mendiskusikan persoalan-persoalan politik krusial yang jauh lebih substantif seperti masalah urgen apa yang sedang dihadapi masyarakat, kebutuhan konkret apa yang dibutuhkan warga, lalu merencanakan strategi-strategi apa saja yang bisa mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Hal-hal seperti di atas bukan cakupan wilayah demokrasi oligarkis. Demokrasi oligarkis membatasi dirinya hanya pada persoalan-persoalan seputar kaum oligark: bagaimana strategi untuk mempertahankan kekayaan? Dalam rangka memenuhi kepentingan kaum oligark, semua strategi dan upaya, termasuk yang melawan hukum menjadi sebuah kemungkinan.
Dari uraian di atas, tentu disepakati bahwa prosedur, syarat-syarat atau mekanisme baku tentang demokrasi seperti keniscayaan partai politik, pemilihan umum, dan sistem perwakilan pasti selalu dibutuhkan. Itulah praksis standar demokrasi.
Perbedaan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial tidak dimengerti sebagai sebuah hambatan bagi keduanya untuk saling menunjang satu sama lain. Dalam sebuah negara demokrasi, aspek prosedural dan aspek substansial mesti selalu dihadirkan.
Aspek prosedural demokrasi mesti selalu diarahkan pada upaya untuk mewujudkan aspek substansial demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Demokrasi prosedural bukan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan lebih dipandang sebagai sarana untuk mencapai aspek substansial dari demokrasi yaitu kedaulatan rakyat dan kebaikan bersama
Hal penting yang mesti disadari adalah aksentuasi yang berlebihan terhadap aspek prosedural atau menganggap demokrasi prosedural sebagai tujuan dalam dirinya sendiri membuat kita terjebak pada empirisisme yang mereduksi substansi demokrasi. Patut diingat bahwa demokrasi digunakan secara luas bukan sekadar untuk menciptakan keramaian prosedural, melainkan juga demi perwujudan substansi yaitu penghormatan terhadap kedaulatan rakyat dalam berbagai bidang kehidupan bernegara.
Kalau demokrasi hanya sampai pada aspek prosedural, pertanyaan tentang manfaat konkret demokrasi bagi rakyat akan selalu muncul. Demokrasi, secara paradoksal, solah-olah justru menjauhkan kebijakan-kebijakan publik dari kepentingan publik. Ada demokrasi, namun tidak ada keterwakilan publik. Situasi seperti inilah yang dimanfaatkan oleh para oligark untuk bekerja sesuka hati.
Desentralisasi dan otonomi daerah sudah menjadi milik kita. Tugas kita bukan hanya menerima, melainkan mengawasi pelaksanaannya agar menjawabi kebutuhan masyarakat di daerah.
Artikel Lainnya
-
22427/08/2024
-
212319/09/2019
-
140018/08/2020
-
Jadilah Orang Sukses Menurut Epikuros
134306/01/2024 -
Riuh Capres Menyonsong Pemilu 2024
43925/08/2023 -
117613/04/2021