Diskusi Free Will: Perdebatan Sengit Santo Agustinus Melawan Pelagianisme

Mahasiswa
Diskusi Free Will: Perdebatan Sengit Santo Agustinus Melawan Pelagianisme 28/11/2024 108 view Agama vatikankatolik.id

Konsep kehendak bebas (free will) menjadi salah satu perdebatan klasik dalam dunia filsafat. Pertanyaan utamanya adalah: apakah manusia benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih, ataukah keputusan mereka selalu ditentukan oleh sebab-sebab eksternal atau ketetapan sebelumnya?

Secara umum, ada tiga pendekatan utama terhadap isu tersebut. Pertama, libertarianisme, yang berpendapat bahwa manusia benar-benar bebas. Kedua, determinisme, yang meyakini bahwa segala sesuatu telah ditentukan. Ketiga, kompatibilisme, yang mencoba menggabungkan elemen dari kedua pandangan tersebut.

Dalam ranah teologi, kehendak bebas sering dikaitkan dengan tanggung jawab moral di hadapan Tuhan. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, dan Hindu menyebutkan bahwa manusia diberi kesempatan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan. Meskipun Tuhan memiliki sifat mengatur kehidupan manusia, teologi mengakui adanya elemen kebebasan dalam pilihan-pilihan manusia sebagai bukti eksistensi kehendak bebas. Perdebatan tentang kehendak bebas dalam tradisi Kristen terutama diwakili oleh dua tokoh besar: Santo Agustinus (354 M – 430 M) dan Pelagius (360 M – 418 M). Pandangan mereka mencerminkan dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap hubungan antara kehendak bebas, dosa, dan rahmat Tuhan.

St. Agustinus memandang dosa pertama yang dilakukan oleh Adam dan Hawa memberikan pengaruh buruk kepada manusia. Dosa tersebut bersifat turun temurun dan mengalir kepada seluruh keturunannya, sehingga setiap manusia yang lahir memiliki kemungkinan untuk berbuat dosa. Dosa pertama tersebut memberikan kecacatan terhadap kehendak bebas manusia. Di sini manusia tetap memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya, tetapi kebebasannya "terbelenggu" oleh dosa, sehingga perbuatan yang terjadi lebih mengarah pada kejahatan daripada kebaikan. Ini menjelaskan bahwa meskipun manusia masih memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan, namun pilihan-pilihan tersebut dianggap berasal dari keinginan yang egois.

Dalam keadaan tersebut, manusia dianggap tidak mampu mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri. Kemudian Agustinus berpendapat mengenai persoalan ini, bahwa hanya dengan rahmat Tuhan, kehendak manusia dapat diperbaiki. Rahmat ini membuat manusia dapat memilih kebaikan dan menjalani hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan Tuhan.

St. Agustinus juga memandang bahwa kehendak bebas yang dimiliki manusia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berdampingan dengan kehendak Tuhan yang mutlak. Ini menjelaskan bahwa meskipun kehendak bebas manusia nyata, namun tetap dibatasi oleh dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa, serta ketergantungan pada rahmat Tuhan. Ia mengemukakan bahwa kehendak Tuhan yang mutlak bekerja melalui rahmat-Nya untuk memperbaiki kehendak manusia yang cacat akibat dosa pertama. Manusia dapat memilih kepada jalan kebaikan hanya jika kehendaknya dipengaruhi oleh rahmat tuhan, yang Tuhan berikan kepada pilihan-pilihannya untuk diselamatkan (predestinasi).

Selain itu, Agustinus mengatakan kehendak Tuhan tidak menghapus kehendak bebas manusia, tetapi bekerja secara bersamaan dengan kehendak tersebut untuk membawa manusia kepada keselamatan.

Pelagius merupakan seorang teolog abad ke-4 hingga ke-5 masehi yang memiliki pendapat berbeda dengan St. Agustinus. Ia mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan tanpa campur tangan anugerah Tuhan. Menurut Pelagius, dosa pertama yang dilakukan Adam dan Hawa tidak mengalir kepada anak cucunya, dan dosa tersebut tidak dapat mencacatkan sifat dasar manusia, tetapi hanya sekedar mencontohkan sesuatu yang buruk untuk dihindari. Setiap manusia lahir dalam keadaan netral, tanpa ada kecondongan melakukan dosa atau kebaikan dan memiliki kehendak bebas untuk memilih jalannya sendiri, apakah akan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan atau menolaknya. Akal budi dan tanggung jawab moral berperan sebagai alat yang dianggap mampu membantu manusia menjalani kehidupan yang benar tanpa perlu bergantung pada rahmat Tuhan.

Pelagius juga mengemukakan bahwa rahmat Tuhan bukanlah sesuatu yang diperlukan manusia untuk memilih kebaikan. Sebaliknya, rahmat Tuhan berperan sebagai ajaran atau teladan yang membantu manusia untuk hidup sesuai kehendak Tuhan, tetapi tidak termasuk menentukan pilihan-pilihan manusia. Pandangan ini berbeda dengan pemahaman tradisi teologi Kristen, seperti yang diajarkan oleh St. Agustinus, dimana ia menegaskan bahwa dosa pertama telah mempengaruhi seluruh umat manusia yang membuat mereka lebih condong untuk berbuat dosa dan membutuhkan rahmat Tuhan untuk mendapatkan keselamatan dari pengaruh tersebut.

Pelagius juga berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya sendiri dan bahwa keselamatan dapat dicapai melalui berbagai macam usaha seperti menjalankan hukum Tuhan dan meneladani ajaran Kristus. Kemudian Agustinus menolak kembali pandangan Pelagius karena dianggap mengabaikan dampak dosa pertama dan rahmat Tuhan. Dengan Gereja yang akhirnya menerima pemikiran St. Agustinus sebagai doktrin resmi, pemikiran Pelagius dianggap sebagai bidah dalam Konsili Kartago (418).

Perbedaan pemikiran utama St. Agustinus dengan Pelagius adalah bagaimana mereka memandang hubungan antara kehendak bebas, dosa, dan rahmat Tuhan. Agustinus menekankan bahwa kehendak bebas manusia telah cacat dan membutuhkan rahmat Tuhan untuk dapat membantu memilih kebaikan dan mencapai keselamatan. Sedangkan Pelagius menekankan bahwa kehendak bebas manusia tetap baik-baik saja, dan manusia diberi hak istimewa, yaitu memiliki kemampuan dalam menentukan nasibnya sendiri tanpa ada pengaruh dari dosa pertama.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya