Diskursus Korupsi dan Neoliberalisme
Diskursus korupsi saat ini masih cukup hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Korupsi masih menjadi kasus dengan catatan panjang dalan dinamika bangsa yang belum terselesaikan. Fenomena korupsi telah menjadi budaya atau lebih ekstrimnya korupsi menjadi style baru bagi elite dan pejabat tinggi negara. Korupsi telah menjadi wabah yang merebak luas.
Menjamurnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dipastikan hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maraknya korupsi di Indonesia, membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN lain, seperti Vietnam dan Malaysia.
Dari peringkat dunia, Indonesia termasuk Negara 10 besar terkorup. Di tingkat Asia Tenggara kita termasuk Negara terkorup nomor satu. Stigma ini tak pelak melahirkan suara-suara yang keluar secara sporadis tentang prestasi Indonesia sebagai negara terkorup di tingkat Asia Tenggara.
Korupsi masih menjadi budaya yang melekat kuat dalam tubuh para petinggi dan elite politik bangsa. Dalam paparan ICW, terdapat 271 kasus korupsi yang ditangani pada 2019 dengan total 580 tersangka dan jumlah kerugian negara mencapai Rp 8,04 triliun. Adapun kasus korupsi yang dicatat oleh ICW adalah kasus yang disidik oleh KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian selama 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2019.
KPK tercatat menangani 62 kasus dengan 155 tersangka, Kejaksaan menangani 109 kasus dengan 216 tersangka, dan Kepolisian menangani 100 kasus dengan 209 tersangka. Data ICW menunjukkan, kasus korupsi bermodus suap masih dominan dengan junlah kasus sebanyak 51 kasus dan total nilai suap mencapai Rp 169,5 miliar dan nilai pencucian uang mencapai Rp 46 miliar (Kompas.com, 18/02/2020).
Kekuasaan menjadi jalan yang melanggengkan pejabat publik untuk melakukan praktik korup. Orientasi kerakyatan dikesampingkan dan berbalik sejurus ke arah orientasi uang (money oriented). Persoalan ini menjadi tontonan menarik bagi bagi elite lain. Bonum commune diabaikan dan beralih ke bonum privatum. Ini menjadi kegelisahan yang mendalam bagi rakyat banyak.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, alih-alih bertindak jujur malah kemudian tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Selain masalah korupsi, ada hal lain yang juga turut memperlambat pertumbuhan ekonomi di negeri ini, yakni pembangunan di Indonesia memiliki corak neoliberalisme ala Bank Dunia. Dikatakannya, sejak Presiden Soeharto, pembangunan Indonesia berkiblat pada neoliberalisme ala Bank Dunia. Dan ini pintu masuk neokolonialisme. Kembali pada neoliberalisme sebagai diskursus ketika korupsi dan pemerintahan yang buruk dan rezim negara-negara dunia ketiga dilihat sebagai akar tunggal krisisnya kapitalisme.
Dalam masa kejatuhan kapitalisme tersebut diskursus baru diciptakan untuk mereformasi sistem kapitalisme tersebut. Diskursus baru ini tidak jauh berbeda dengan sistem dan struktur kapitalisme. Diskursus baru tersebut dikenal dengan neoliberalisme dan dalam teori pembangunan diskursus ini menunggangi motor globalisasi sebagai sarana efisien dalam pasar global.
Diskursus neoliberalisme dengan mudah diterima secara luas sebagai sebuah dogma pembangunan ekonomi. Kemampuan neoliberalisme dalam menciptakan konsep serta kerangka tujuan yang mudah dipahami serta konsisten dalam mengatasi problem-problem dasar dalam pembangunan perekonomian. Tingkat inflasi, pertumbuhan, pasokan uang dan tingkat suku bunga adalah keunggulanya yang sederhana dalam indikator perekonomian.
Diskurus neoliberalisme bergerak secara masif dan dilaksanakan di negara-negara berkembang secara sukarela ataupun secara terpaksa. Kondisi ekonomi negara berkembang, laju inflasi yang tidak stabil serta afiliasi politik memudakan wacana ini diterapkan. Hadirnya neoliberalisme dalam negara berkembang memuat berbagai dalil konstruktif bahwa kehadiranya dapat memperbaiki problem perekonomian.
Perjanjian dengan IMF dilakukan secara terpaksa karena membutukan pasokan devisa dalam mengatasi krisis perekonomian negara berkembang. Pada tataran ini rejim neoliberal tidak akan menciptakan pemerintahan yang bersih, apalagi akan bebas dari korupsi. Sejatinya, neoliberalisme dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah sistem perampokan, termasuk merampok keuangan negara.
Dengan latar standar ganda yang diterapkan agen kapitalisme neolib itu, maka harus pula dipahami bahwa terberantasnya korupsi tak mengotomatisasi kemakmuran. Korupsi memang merupakan penyumbang kemiskinan dan kesenjangan, tapi bukan satu-satunya. Ada faktor yang lebih determinan mendorong menumbuhsuburkan korupsi, yakni kapitalisme-neoliberal.
Struktur ekopol kapitalismelah yang menentukan hubungan-hubungan sosial, politik, dan kebudayaan. Sehingga, bukan keterdesakan finansial yang mendorong aparatur negara untuk menilap uang rakyat, melainkan relasi ekopol yang di satu sisi mengandaikan konsumerisme dan individualisme sebagai gaya hidup massa, serta di sisi lain melapangkan jalan bagi konsentrasi kekayaan yang berujung pada terbangunnya struktur politik oligarkis.
Pertanyaan yang harus ditelaah adalah apakah gerakan anti korupsi dan penegakan hukum atas kasus korupsi tidak penting? Tidak! Penegakan hukum atas kasus korupsi tetap harus terus diupayakan. Bahkan tanpa penegakan hukum, menjamurnya perampokan uang rakyat makin sulit terdeteksi jejaknya. Yang perlu dihindari adalah model gerakan anti korupsi yang tidak radikal dan “hanya” berfokus pada penegakan hukum. Jangan sampai formalisme hukum telah meminggirkan. Dan, inilah yang didesakkan oleh neoliberalisme dalam agenda pemberantasan korupsi.
Saatnya Indonesia membuat suatu gerakan progresif anti korupsi dengan mengonsolidasi diri dengan kekuatan progresif yang ada untuk memahami problem yang ada untuk memahami secara radikal dan membentuk satu blok historis. Gerakan ini dibutuhkan dan menjadi suatu kemendesakan dalam melawan korupsi dan neoliberalisme yang mencengkeram kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Saatnya membangun komitmen yang utuh dan menyeluruh dalam membebaskan diri dari korupsi dan neoliberalisme yang dilihat sebagai neokolonial. Tatanan oligarkis dan kapitalis harus diruntuhkan.
Artikel Lainnya
-
178326/12/2023
-
112820/04/2020
-
232615/04/2021
-
244722/03/2021
-
216924/11/2020
-
Rumah: Wujud Cinta Seorang Nelayan untuk Keluarga
143607/08/2020