Diskriminasi Dan Produk Ketidakjujuran Yang Berbahaya

Mahasiswa
Diskriminasi Dan Produk Ketidakjujuran Yang Berbahaya 22/04/2020 1515 view Lainnya pixabay.com

"Di mana, di atas segalanya, hak asasi manusia itu dimulai? Ia dimulai dari sebuah tempat sederhana, dekat rumah kita. Tempat di mana pria, wanita, serta anak-anak mendapat perlakuan sama, kesempatan sama, kehormatan sama, tanpa diskriminasi.” (Eleanor Roosevelt)

Pernyataan Eleanor Roosevelt, Ibu Negara Amerika Serikat (1933-1945) dan seorang pejuang HAM (hak asasi manusia), patut menjadi permenungan kita bersama di tengah pandemik Covid-19 saat ini. Berbagai cerita pilu tentang tindakan diskriminasi terus menghiasi berbagai media di Indonesia. Bukan saja pasien yang menjadi sasaran dari tindakan tak terpuji ini, para tenaga medis dan relawan yang menjadi garda terdepan dalam menangani wabah ini pun, turut menjadi korban keganasan diskriminasi.

Sebelum pandemik ini mengguncang pertiwi, berbagai tindakan diskriminasi telah marak terjadi di Indonesia. SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) adalalah isu basi yang selalu dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok. Kehidupan masyarakat Indonesia yang selalu dipenuhi drama kekanak-kanakan ini adalah situasi yang sudah dianggap biasa di negeri yang katanya cinta perbedaan ini. Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang merupakan semboyan bangsa ini, seakan hanya sebuah semboyan kurang pengamalan.

Ketika badai Covid-19 ini telah sampai ke Indonesia, masyarakat kita berlahan-lahan dirasuki budaya diskriminasi yang menurut penulis, ini adalah diskriminasi yang paling berbahaya. Bagaimana tidak, diskriminasi ini tidak lagi memandang SARA. Siapa pun bisa menjadi pelaku sekaligus korban. Suku, agama, ras, dan golongan seakan ditinggalkan untuk sementara. Semua seakan berpegangan tangan dan bersatu melakukan aksi diskriminasi terhadap semua yang berkaitan dengan Covid-19.

Mulai dari ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), pasien Covid-19, pasien yang sembuh, keluarga yang bersangkutan dengan Covid-19, hingga tenaga medis menjadi target berbagai aksi tak terpuji ini.

Dilansir dari Voxday, sebuah keluarga di Desa Winetin, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, harus tinggal di hutan karena mengalami diskriminasi dari warga sekitar. Mereka menerima sindiran, tidak memperoleh bantuan dari pemerintah, hingga warung mereka menjadi sepi tanpa pengunjung. Mereka menerima perlakuan seperti itu dikarenakan rumah mereka berdekatan dengan rumah salah satu pasien Covid-19. Merasa seakan didiskriminasi. Keluarga itu pun memilih hutan menjadi tempat tinggal yang mana menurut mereka itu lebih nyaman.

Cerita dari perlakuan diskriminasi warga juga dialami oleh PDP dan pasien Covid-19. Mereka menjadi bahan hujatan masyarakat, kata-kata kotor, hingga seruan “capat mati saja, jangan bawa virus” pun harus mereka terima dari sikap tidak manusiawinya masyarakat kita. Jenazah yang ada kaitannya dengan Covid-19 pun ditolak warga, ambulance dilempari dan dihadang, hingga jenazah yang sudah dikubur pun harus digali kembali untuk dipindahkan.

Keluarga yang berkaitan dengan Covid-19 juga harus menerima perlakuan yang sama. Mereka dikucilkan, dijauhi, bahkan juga dicap pembawa virus. Lebih tragisnya lagi, para tenaga medis yang menangani kasus Covid-19 juga mengalami hal yang sama. Mereka bahkan diusir dari kontrakan dan kos-kosan mereka, hingga harus tidur di rumah sakit. Mereka yang sebagai pahlawan di medan perang saat ini, malah harus menerima kenyataan pahit dari sikap masyarakat kita yang telah termakan ketakutan dan kepanikan yang berlebihan.

UUD 1945, pasal 28 I ayat 2 berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Amanat UUD ini sangat jelas dan seharusnya yang terjadi di masyarakat kita seperti yang diamanatkan. Namun seakan di luar kendali, kepanikan overdosis telah mengurung masyarakat kita dalam kandang yang mematikan kemanusiaan, sehingga rasa kemanusiaan pun ditinggalkan demi ego pribadi.

Produk ketidakjujuran yang berbahaya

Sikap diskriminasi terhadap segala yang berkaitan dengan Covid-19 saat ini telah membudaya di masyarakat kita. Tetapi tanpa kita sadari, budaya diskriminasi masyarakat kita telah menghasilkan sebuah sikap yang sangat berbahaya. Sikap berbahaya ini adalah outcome (dampak/akibat) dari budaya masyarakat kita yang mendewakan kepanikan di tengah pandemik ini. Sikap ini adalah sikap ketidakjujuran masyarakat kita.

Meskipun ketidakjujuran adalah sikap yang turut tercipta ketika manusia itu ada dan akan terus ada selama manusia itu ada, namun budaya diskriminasi saat ini telah menjadikan sikap tidak jujur sebagai monster sosial. Diskriminasi yang terus dilakukan masyarakat kita, mengakibatkan semua orang enggan berkata jujur, bahkan menutupi berbagai fakta yang terjadi.

Rasa takut didiskriminasi oleh warga, seperti berbagai kasus yang selalu terlihat oleh mata kita, baik secara langsung maupun melalui media, telah memupuk ketidakjujuran masyarakat. Orang-orang yang ada kaitannya dengan Covid-19 akan menyembunyikan rapat-rapat riwayat perjalanan mereka, gejala yang mereka alami, kontak yang mereka buat dengan sesama dan hal-hal lainnya. Mereka lebih takut didiskriminasi oleh masyarakat ketimbang takut akan pandemik ini.

Rumah dan lingkungan tempat mereka pulang terlihat seperti neraka, tidak ada tempat yang nyaman bagi mereka untuk pulang jika mereka ada kaitannya dengan Covid-19. Ini adalah masalah sosial yang serius, perlu perhatian lebih, jika tidak maka akan merambat dampak buruknya.

Kita lihat saja akibat dari ketidakjujuran masyarakat yang berkaitan dengan Covid-19, telah menghasilkan produk-produk yang sangat berbahaya. Produk-produk itu adalah semakin tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia. Ketidakjujuran masyarakat kita juga menyulitkan tenaga medis, hingga mengakibatkan tenaga medis terpapar virus corona.

Dilansir dari GoRiau.com, contoh sikap ketidakjujuran dan produk yang dihasilkannya terjadi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang. Banyak pasien yang tidak terbuka mengenai gejala yang dialami menyebabkan pasien-pasien non-Covid-19 berstatus PDP serta 57 pegawai RS tertular Covid-19, 34 diantaranya dokter dan petugas fisioterapi. Beberapa kepala daerah juga membenarkan salah satu penyebab meningkatnya kasus Covid-19 ada sikap warga yang tidak jujur.

Bayangkan saja jika semua yang masyarakat yang memiliki kaitan dengan Covid-19, baik yang melakukan perjalan dari daerah yang memiliki kasus, gejala yang dialami, serta kontak yang telah dibuat, tidak disampaikan secara jujur maka akan memperparah keadaan. Pemerintah dan tenaga medis akan kesulitan dalam menangani masalah, segala upaya yang selama ini telah dibuat juga akan sia-sia.

Hemat saya, semua sikap ketidakjujuran itu adalah bentuk perlindungan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk menyelamatkan dirinya dari segala sikap diskriminasi masyarakat.

Produk-produk berbahaya dari ketidakjujuran seperti para tenaga medis yang telah terpapar Covid-19 harus sedini mungkin kita antisipasi. Rasa nyaman harus diciptakan oleh masyarakat bagi semua orang yang ada kaitannya dengan Covid-19.

Jika mereka diberikan rasa nyaman, dijauhkan dari sikap diskriminasi, maka semua orang akan berkata jujur. Mereka juga ingin selamat dari Covid-19, namun jika diskriminasi yang akan mereka terima, maka tentu saja mereka akan memilih untuk menyelamatkan diri dari diskriminasi masyarakat. Kejujuran adalah sikap dasar yang menyelamatkan semua orang dari pandemik ini.

“Kejujuran ternyata dapat merupakan kebutuhan penting, bukan untuk diteputangani melainkan untuk menyelamatkan jiwa.”-Goenawan Mohamad.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya