Dinamika Politik Lokal - Nasional Menuju Pemilu

Era orde baru politik lokal kurang diminati karena kekuasaan yang terpusat pada pemerintah pusat. Pemimpin daerah hanya digunakan sebagai simbol dengan otoritas yang terbatas. Bergeser dari orde baru ke orde reformasi politik lokal seakan mengalami perubahan yang signifikan. Dimana politik lokal mendapatkan otoritas yang cukup besar dalam mengelola daerahnya.
Otoritas yang besar tersebut adalah desentralisasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintahan yang berada di tingkat bawah, seperti provinsi atau kabupaten/kota, untuk mengelola daerahnya sendiri. Politik lokal di era reformasi sudah menjadi incaran elite politik nasional, karena otoritas dan pengelolaanya yang mandiri. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya calon pemimpin daerah yang kariernya di politik nasional, seperti pimpinan pusat partai politik dan anggota DPR RI.
Desentralisasi tidak hanya melimpahkan kekuasaan yang sifatnya positif saja, tetapi banyak hal yang sifatnya negatif juga ikut terdesentralisasi, contoh kongkritnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Di era desentralisasi, kekuasaan yang besar sudah didistribusikan ke pemerintahan yang berada di bawah untuk mengelola SDA, keuangan dan lain-lain, disitulah mulai muncul praktik penyimpangan yang dilakoni pemimpin daerah.
Contoh kasus yang dapat merepresentasi tiga bentuk penyimpangan tersebut adalah kasusnya mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Dengan otoritas sebagai Gubernur, keluarga besar Ratu Atut dengan mudah mendapatkan konsepsi tambang dan mengisi jabatan politik di Provinsi Banten. Total ada 11 orang keluarga dekat Ratu Atut memiliki jabatan baik eksekutif maupun legislatif.
Variatif jabatan yang diemban oleh keluarga Ratu Atut, mulai dari DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi sampai Bupati/Walikota. Tetapi yang paling populer di antaranya yaitu Chaery Wardana (Wawan) mantan Walikota Tangerang dengan kasus menyuap Ketua MK, Akil Moktar. Oligarki kekuasaan sangat kental hingga bisa masuk ke ruang tertutup seperti MK, tanpa oligarki besar seperti di Banten ruang ini tidak bisa dimasuki.
Mungkin ada pertanyaan jabatan politik yang emban oleh keluarga Ratu Atut adalah jabatan representatif dari masyarakat, atau mandat dari masyarakat, bukan jabatan birokrasi, seperti kepala dinas. Kenapa ada anggapan bahwa jabatan tersebut kolusi dan nepotisme? Jawabannya ialah Oligarki yang diternak dan dibesarkan di Banten sudah menjalar ke berbagai tempat, dari hegemoni doktrin di masyarakat, nepotisme dan kolusi partai politik (kendaraan politik), politik transaksional dan lain sebagainya.
Kemungkinannya sangat kecil oligarkis bisa kalah dengan pasangan lain, yang hanya mengandalkan modal intelektual, mengingat rata-rata pemilih Indonesia tingkat ekonominya belum sejahtera. Maka dari itu politik transaksional adalah pilihan yang paling efektif bagi oligarkis untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Akan tetapi jika sistem seperti ini dibiarkan, diternak dan dipelihara jangan heran akan ada kasus korupsi yang merebak di daerah.
Piere Bordeau dalam teori modal menyatakan bahwa modal dibagi menjadi 3 yakni, modal finansial (uang, aset), modal simbol (keturunan, keyakinan) dan modal intelektual (kecerdasan berpikir, public speaking). Semuanya saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain, jika ingin mendapatkan dukungan paling tidak salah 2 harus dimiliki calon kompetitor.
Modal finansial harus dimiliki terlebih dahulu, kenapa? Kerena berpolitik harus ada uang. Uang disini belum digunakan dalam hal negatif seperti membeli suara atau sering disebut serangan fajar dan membayar partai politik sebagai kendaraan politik, akan tetapi sebagai modal untuk mobilisasi massa, membiayai biaya kampanye seperti baliho, stiker, buzzer untuk kampanye online dan lain sebagainya. Apalagi kalau cara untuk mendapatkan dukungan dengan cara money politics, pasti biaya yang dibutuhkan lebih besar lagi.
Jika modal finansial yang buat pejabat tersebut dipilih menjadi pejabat publik, maka jangan heran apa bila dengan jabatan yang ada oknum pejabat tersebut sering tersandung kasus korupsi. Karena cara untuk mendapatkan jabatan dengan cara yang koruptif. Maka demikian jangan memilih calon pejabat yang orientasinya hanya pada uang dengan cara menyogok, sebab potensi korupsinya sangat kuat.
Uang diberikan mungkin berkisar Rp. 300.000 (tiga ratus), tetapi uang rakyat (uang saya, uang anda, uang kami, uang kita, uang mereka) yang nantinya digunakan untuk kepentingan bersama seperti membangun jalan, konstruksi bangunan, pemberdayaan, BLT, beasiswa dal lain-lain, akan dikorupsi oleh oknum pejabat dalam sistem dengan jumlah yang luar biasa banyak dari ratusan juta sampai triliunan rupiah. Itu sebabnya kalau kita tidak hati dalam memilih pemimpin.
Modal Simbolik adalah modal yang dapat dimiliki oleh segelintir orang, yang secara keturunan sudah mendapatkan modal tersebut, tanpa adanya usaha. Modal ini sudah melekat pada diri seseorang sejak dilahirkan seperti keturunan pahlawan, raja, tokoh masyarakat, pejabat tinggi, tokoh adat bahkan tokoh agama. Relasi yang kuat dan sudah bertahan lama dari para pendahulunya dapat mempermudah generasi berikutnya untuk menanam basis, sebab keturunan dari keluarga terpandang akan lebih mudah mempengaruhi massa, karena didengarkan.
Modal simbolik sebenarnya tidak masalah kalau digunakan oleh orang yang kompeten dan punya integritas serta memiliki modal intelektual. Jadi masalah kalau modal ini hanya sekedar digunakan untuk mendapatkan dukungan oleh orang-orang yang tidak kompeten dan koruptif, potensi kecurangan dan kebodohan dalam menjalankan jabatan akan ada. Contoh kegagalan modal simbolik dan finansial adalah kasus Gubernur Banten dan keluarganya, secara biologis mereka adalah keturunan ningrat dengan gelar Tubagus.
Modal simbolik sangat populer di lingkungan masyarakat yang feodal dan primordial. Hegemoni terhadap pemikiran mengakibatkan kefanatikan, dan daya kritisnya sudah tidak ada menjadi penyebab utama modal simbolik diperhitungkan menjadi modal politik yang kuat dalam praktik politik daerah.
Modal simbolik berupa elite agama juga sangat diperhitungkan dalam kancah perpolitikan baik lokal maupun nasional. Dilihat dari banyaknya politisi atau pejabat dari elite agama, tidak masalah kalau orangnya kompeten dan tidak berpotensi menggeser dasar negara Indonesia. Saat ini banyak politisi memainkan peran ganda, di satu sisi seorang pancasilais dengan politik kenegaraan, tetapi di sisi lain ia didukung oleh kelompok ekstrimis yang ideologinya bertentangan dengan dasar negara Indonesia.
Calon pejabat seperti ini jangan didukung karena ada dua kemungkinan pertama, ia adalah seorang yang ekstrimis tapi dengan wujud nasionalis agar mendapatkan dukungan, karena dari golongannya tidak memungkinkan untuk menang. Kedua, ia seorang oportunis dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan, termaksud menggadaikan kepentingan bangsa.
Akan tetapi ada beban oportunis yang harus dibayar ketika menang, yaitu mengakomodir kepentingan ekstrimis, karena sudah memenangkannya dalam kontestasi tersebut. Tipe pejabat yang oportunis tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme, ia akan rela menggadaikan kepentingan bangsa demi kepentingannya sendiri. Orang seperti ini jangan dipilih sebab perpecahan akan merebak ke seluruh pelosok negeri kalau pejabat seperti ini yang terpilih.
Modal intelektual adalah modal yang dimiliki seseorang berkat ketekunan dan kerja kerasnya dalam mengasah modal tersebut. Modal ini biasa dicirikan kepada orang berpendidikan tinggi dan lihai dalam mengelola kata-kata. Tetapi tidak selamanya orang berpendidikan tinggi mampu memimpin dan mengelola daerah serta jujur dalam menjalankan tugas.
Modal intelektual memang diperlukan dalam kriteria untuk menjadi pemimpin, karena konsep dan pengetahuannya diperlukan dalam merancang atau menjalankan program kerja nantinya. Konsep saja tidak cukup untuk menjadi pemimpin, perlu adanya metode dan eksekusi setiap konsep yang sudah disiapkan.
Desentralisasi yang tujuan utamanya untuk mengoptimalkan daerah dalam mengelola potensi daerah secara efektif dan efisien, seakan direduksi oleh ulah oknum pejabat yang serakah. Oknum tersebut menggunakan otoritas secara membabi buta untuk mempertahankan dan mengamankan kekuasaannya. Contoh kasus di atas hanyalah bagian terkecil yang merepresentasikan praktik KKN yang dilakukan oleh oligarki di daerah.
Artikel Lainnya
-
121421/03/2020
-
147226/03/2020
-
134819/08/2019
-
Wajah Sepak Bola Indonesia di Mata Dua Sahabat
99110/10/2019 -
Kasus Korupsi Edhy Prabowo dan Penantian Kado Lain dari KPK
114402/12/2020 -
Tiga Daya Perempuan dan Capaian IDG Indonesia
52424/05/2021