Dimensi Kemiskinan Perempuan

Perempuan memiliki peran penting dalam peradaban suatu bangsa, oleh karenanya hasil pemanfaatan sumber daya ataupun pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh perempuan. Berbagai upaya peningkatan kualitas hidup perempuan pun terus dilakukan, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Demikian juga dengan upaya pengentasan kemiskinan yang dalam praktiknya selalu melibatkan kaum perempuan di dalamnya.
Kaum perempuan yang secara kodratnya mengandung, melahirkan, dan merawat anak sering terjebak dalam urusan rutin memenuhi kebutuhan domestik keluarga yang tentunya memakan waktu dan tanpa bayaran. Mayoritas perempuan usia kerja lebih memilih mengurus rumah tangga daripada bekerja. Kondisi ini menjadikan perempuan sebagai objek yang rentan dalam dimensi kemiskinan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS, pada tahun 2020, ada sebanyak 15,88 persen rumah tangga miskin di Indonesia yang dipimpin oleh perempuan sebagai kepala rumah tangganya. Kepala rumah tangga dalam konsep BPS merujuk pada orang yang bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anggota rumah tangganya.
Ini berarti bahwa pada kondisi tersebut, seorang perempuan dipaksa untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Perempuan sebagai kepala rumah tangga miskin memiliki tantangan dan hambatan tersendiri, tentunya perlu usaha yang jauh lebih ekstra agar mampu bertahan dalam kemiskinan, apalagi jika hendak membawa keluarganya keluar dari pusaran kemiskinan.
Pendidikan merupakan poin penting dalam menjawab berbagai hambatan dan tantangan tersebut. Dengan pendidikan yang tinggi dan berkualitas, kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan juga semakin terbuka lebar. Pada sektor formal, persentase perempuan sebagai tenaga profesional terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, tercatat sebanyak 48 persen dari total tenaga profesional di Indonesia adalah perempuan.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS menunjukkan perempuan yang berada di posisi managerial mengambil porsi sebanyak 33 persen. Namun jika dicermati lebih jauh, dari semua perempuan yang berada di posisi managerial tersebut, lebih dari 80 persen memiliki tingkat pendidikan di bawah SMU. Pencapaian pendidikan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan berakibat pada perbedaan upah yang diterima.
Sementara itu, keberadaan sektor informal saat ini semakin menjamur. Pasar tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh sektor informal yang juga menjadi sumber pendapatan utama bagi penduduk miskin. Hal ini cukup beralasan mengingat untuk memasuki sektor ini tidak diperlukan persyaratan khusus seperti halnya sektor formal, sehingga mudah dimasuki oleh penduduk miskin.
Sektor ini juga terbukti mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan sektor formal. Dalam realitanya pun sektor informal ini mampu menyerap tenaga kerja dengan pendidikan rendah dan tanpa keterampilan tinggi. Oleh karenanya, menjadi daya tarik tersendiri bagi perempuan untuk turut serta ambil bagian di dalamnya, sehingga tak heran jika sektor ini didominasi oleh kaum hawa.
Banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal ini menimbulkan permasalahan lain, yakni adanya ketimpangan upah. Upah pekerja pada sektor informal cenderung lebih rendah dan tidak adanya jaminan sosial bagi pekerja.
Rendahnya, upah dan ketiadaan jaminan sosial ini tentu akan berdampak pada perempuan itu sendiri dan keluarganya, terlebih jika perempuan tersebut berstatus sebagai kepala rumah tangga yang memiliki tanggug jawab besar terhadap kebutuhan keluarganya. Dengan rendahnya upah yang diterima akan semakin sulit bagi perempuan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan tersebut.
Upaya pemutusan rantai kemiskinan pada kaum perempuan hendaknya dilaksanakan berbasis gender, tidak hanya dengan program pengentasan kemiskinan secara umum. Berbagai program pemberdayaan perempuan yang dijalankan juga hendaknya diiringi dengan peningkatan kapabilitas perempuan itu sendiri, yakni berupa peningkatan pendidikan dan keterampilan (skill).
Peningkatan kapabilitas ini menjadi syarat mutlak yang dibutuhkan oleh seorang perempuan untuk bisa lepas dari ketidakberdayaannya. Pendidikan dan keterampilan perempuan yang memadai akan menjadi indikator penting dalam penurunan kesenjangan upah.
Selain itu, program bantuan sosial yang diberikan bagi keluarga miskin, terutama yang bersifat tunai hendaknya disalurkan lewat perempuan. Saat ini, ada banyak bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah yang merupakan bagian dari program penanganan pandemi covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Bantuan sosial (bansos) tersebut sebagian besar menjadikan perempuan sebagai target penerima, seperti halnya Program Keluarga Harapan (PKH). Dana bantuan tersebut sudah selayaknya dipegang oleh perempuan mengingat perempuan biasanya berperan sebagai pengelola keuangan keluarga.
Keluarga miskin dengan perempuan sebagai tulang punggung keluarga sudah sepatutnya mendapat prioritas pertama dalam berbagai program bantuan sosial. Kebutuhan domestik keluarga dan pendidikan anak bagi perempuan merupakan hal yang paling urgent untuk dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan lainnya.
Karenanya, jika penghasilan perempuan meningkat, maka kesejahteraan keluarga juga akan meningkat, serta pendidikan anak menjadi lebih terjamin. Dengan kualitas pendidikan yang semakin baik, seorang anak memiliki harapan besar untuk tidak mewarisi kemiskinan kedua orang tuanya.
Artikel Lainnya
-
109223/05/2020
-
36802/09/2021
-
139619/09/2019
-
Merawat Karakter Pancasilais di Tengah Pandemi
72418/06/2020 -
Konten Vulgar di Tik Tok : Tidak Perlu Sampai Diblokir
55519/04/2022 -
Kewarasan Mental Narapidana Di Tengah Over Kapasitas Penjara
69510/12/2020