Dilema Pangan dan Budaya Lumbung yang Dibenamkan
Persoalan yang menjadi narasi besar pemerintah saat ini adalah masalah pangan yang diduga tidak akan cukup untuk digunakan saat-saat masa puncak pandemi korona.
Padahal beberapa minggu yang lalu, dengan beraninya Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengumumkan bahwa 11 stock pangan utama dalam kondisi aman (16/03/2020). Dengan bijak, Ia menenangkan rakyat untuk tidak khawatir persoalan pangan saat pandemik: layaknya dewa Indra yang menjanjikan hujan pada para petani yang sawahnya telah kering kerontang.
Akan tetapi tanpa disangka-sangka. Bertolak belakang dengan apa yang disebutkan oleh kementan, Presiden Jokowi malah mengingatkan seluruh masyarakat bahwa Indonesia akan mengalami krisis pangan. Dengan langkah tergesa-gesa dan panik, Presiden pun secara langsung menugaskan BUMN untuk membuka lahan baru guna menghadapi krisis pangan yang akan segera terjadi di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, menurut pemaparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sebuah video conference, bahwa lahan yang akan dijadikan lokasi persawahan baru tersebut memiliki luas 900 ribu hektare (ha), dan berada di Kalimantan Tengah. Lalu apa maksud dari Kementan mengeluarkan fatwa agar masyarakat tidak perlu khawatir persoalan pangan? Sehingga hasil analisis mereka tentang stock pangan, berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi sebenarnya. Lebih-lebih, fatwa sesat kementan membuat presiden cemas.
Bisa jadi mereka sebenarnya telah mengetahui persoalan ini jauh sebelum presiden mengumumkan kepada publik, bahwa Indonesia akan memasuki tahap krisis pangan, namun karena takut rakyat khawatir, mereka sengaja memberi pesan positif, supaya tidak terjadi kepanikan di tengah-tengah masyarakat
Akan tetapi, kita menduga, kasus ini sebenarnya tidak jauh-jauh dari persoalan kurangnya koordinasi antara menteri dan presiden sebagai penanggung jawab tugas menteri. Sebab, sejak pandemik ini mulai menyebar tak tentu arah di Indonesia, banyak sekali kasus kurangnya komunikasi antar lini, sehingga yang dirugikan pada akhirnya adalah pemerintah sendiri, karena disaat krisis negara akan sangat dirugikan apabila terjadi chaos.
Rencana Panik Tanpa Strategi
Seluruh dilema besar ini merupakan dampak dari pandemi korona yang berlarut-larut. Mari kita ketepikan dahulu, persoalan serius atau tidaknya negara menangani penyebaran Covid-19 yang sudah mencapai angka 10.000-an jiwa. Karena persoalan pangan menurut Bung Karno, adalah soal hidup mati bangsa, meskipun Korona juga menunjukkan hal yang sama.
Rencana presiden Jokowi membuka lahan untuk lokasi persawahan baru, bagai orang panik, kabur dari hewan buas, tidak penting strategi asal nyawa selamat. Rencana presiden ini juga mengundang banyak pro dan kontra; lebih-lebih kontra. Para ahli meyakini, jika rencana presiden tersebut terlaksana, maka sistem ekologi yang berada di hutan Kalimantan pasti akan terganggu, bahkan kemungkinan terburuknya, adalah wilayah Kalimantan tengah rusak dan tidak layak huni.
Hal ini disebabkan, tingkat keamanan ekologi Kalimantan menurut LSM Greenomics, berada di bawah angka minimum 30 persen, bagaimana jadinya jika program ini tetap dilaksanakan? Maka kemungkinan terjadinya banjir dan longsor akan semakin besar, karena daya tutup lahan hutan alam primer tidak normal.
Namun apa yang dipikirkan negara terhadap dampak buruk ini? Apa karena bukan istana dan lokasi pejabat negara yang akan dirugikan, tapi rakyat akar rumput Kalimantan yang bergantung dari kestabilan ekologi hutan mereka, sehingga mereka terlihat santai saja dengan dampak buruk yang akan terjadi ini?
Memudarnya Tradisi Lumbung
Seharusnya Indonesia dapat terbebas dari persoalan krisis pangan yang membuat presiden Jokowi panik bukan kepalang, karena tanah air ini, semenjak dahulu kala terkenal dengan kebudayaan lumbung padi yang menakjubkan. Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai tradisi lumbung di Indonesia, kecuali daerah yang makanan pokoknya bukan padi.
Akan tetapi budaya inilah yang memudar atau sengaja dibenamkan oleh negara, bahkan dalam rencana mercusuar reformasi agraria sekalipun, tradisi ini tetap luput dari pandangan negara. Di Minangkabau, lumbung memiliki makna yang lebih luas dibandingkan sekedar menyimpan sebagian hasil padi, karena padi yang disimpan dalam rangkiang dan tobo (lumbung dalam bahasa Minang), hanya digunakan saat masa-masa kritis.
Jika seandainya negara mau belajar dari cara-cara tradisional (local wisdom) masyarakat Indonesia, persoalan pangan tentu tidak akan menjadi dilema yang menyibukkan fokus negara yang tengah memusat pada proses memutus mata rantai penyebaran Korona. Akan tetapi karena negara lebih mementingkan industri hutan lainnya untuk keuntungan yang lebih besar, sekedar isi perut –dengan disahihkanya omnibus law dan sebangsanya-, akhirnya sawah-sawah luas milik suku, kaum, petani diambil alih dengan alasan untuk kepentingan negara.
Andaikan negara komat-kamit menyebut bahwa mereka telah mempersiapkan hal ini di Bulog. Akan tetapi kita semua tentu sadar dengan etos kerja Bulog dalam mengurus persoalan logistik bangsa, bahkan pernah 20.000 ton beras membusuk di gudang Bulog.
Bahasa halus pemerintah saat itu “beras turun mutu”, bahasa yang sama busuknya dengan etos kerja Bulog. Lagi pula, kualitas beras Bulog, sangat menyedihkan, barangkali kualitasnya berada di kelas terakhir dalam struktur beras di Nusantara.
Pada dasarnya Bulog tidak belajar dari akar budaya lumbung, sebab yang mereka simpan hingga membusuk tersebut adalah beras, sedangkan yang disimpan masyarakat tradisional dalam lumbung adalah padi.
Hal itulah yang membuat simpanan masyarakat tradisional lebih tahan lama, dibandingkan simpanan Bulog. Bahkan dalam rangkiang, padi-padi ini akan cukup tahan hingga bertahun-tahun tanpa membusuk. Pendek kata, yang akan menentukan jalan takdir negara dalam krisis yang timpa-menimpa ini, akan bermuara pada waktu. Karena dilema besar soal pangan: bak makan buah simalakama; tidak ditanam padi kemungkinan chaos, ditanam padi alam hancur.
Untuk itu, kedepannya, kita berharap krisis pangan yang terjadi hari ini, bisa menjadi pelajaran penting bagi negara, tentang betapa krusialnya peran lumbung.
Karena sejak awal, budaya lumbung merupakan tradisi agung yang manfaat adalah untuk menyelematkan persoalan perut kaum kerabat saat masa krisis. Bayangkan jika negara memiliki satu daerah yang isinya lumbung padi semua? Maka persoalan perut seluruh masyarakat Indonesia pasti dapat teratasi.
Artikel Lainnya
-
65621/12/2023
-
374926/12/2019
-
155025/04/2020
-
Perayaan di Hari Buku Nasional
27217/05/2024 -
Solusi Pendidikan Seks Melalui Pendidikan Fitrah Seksualitas
148405/07/2021 -
Earvin Ngapeth dan Makna Konsistensi Prestasi
278831/07/2022