Di Bawah Bayang-Bayang Elektabilitas
Hasil survei Litbang Kompas pada 29 November - 4 Desember 2023 (Kompas, 11/12/2023), menunjukkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan dukungan suara sebesar 39,3 persen, sementara pasangan Anies-Muhaimin memperoleh 16,7 persen, dan pasangan Ganjar-Mahfud mendapat 15,3 persen.
Pasangan Prabowo-Gibran memiliki keunggulan elektabilitas yang signifikan di berbagai kategori sosio-demografis. Mereka mendapat dukungan lebih tinggi di perdesaan dan perkotaan, dari kalangan perempuan dan laki-laki, serta dari berbagai pemeluk agama. Keunggulan tersebut juga terlihat di berbagai lapisan pendidikan dan kelas sosial ekonomi.
Pasangan Prabowo-Gibran juga mendapat dukungan yang cukup kuat dari berbagai kelompok usia, terutama dari generasi Z dan Y (milenial). Bahkan, dukungan dari generasi Z (17-25 tahun) mencapai 54,5 persen, menunjukkan bahwa pasangan ini memiliki daya tarik yang signifikan di kalangan generasi muda.
Merespon hasil survei elektabilitas ini, oleh sejumlah kalangan khususnya para pengamat berargumen bahwa ada dua hal yang menonjol di balik bayang-bayang angka elektabilitas capres dan cawapres ini. Pertama, isu dinasti politik dan politisasi Mahkama Konstitusi (MK) yang yang memanas di awal proses pencalonan presiden dan wakil presiden, tak membumi, elitis, tak laku di pasar pemilih (https://nasional.kompas.com, 2023).
Andang Subaharianto dalam kolom Kompas.com menilai kedua isu ini seperti ungkapan "hangat-hangat tai ayam", hangatnya hanya di permukaan, tidak sampai pada lapisan paling dalam.
Bahwasannya, bola panas dinasti politik yang dilanggengkan melalui Mahkama Keluarga (MK) yang mengawali proses pendaftaran capres dan cawapres rupanya kehabisan daya alir menuju lapisan yang luas, terutama masyarakat menengah-bawah (https://nasional.kompas.com, 2023). Isu tersebut terhenti di kalangan elit.
Lebih lanjut Andang Subaharianto berkomentar bahwa, kedua isu tersebut hanya sebagai “tontonan” semata bukan “tuntunan” bagi masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana kita saksikan, kedua isu tersebut santer terdengar di awal proses pendaftaran pasangan calon presiden – wakil presiden (capres-cawapres), menjadi sorotan atau topik yang menarik perhatian publik. Di berbagai media sosial terdengar cercaan, cibiran, kritik bahkan cacian netizen. Namun belum menjadi “tuntunan” yang berarti.
Jika isu-isu tersebut menjadi tuntutan, semestinya isu politik dinasti dan mahkama keluarga berdampak negatif terhadap eletabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Pernyataan ini membawa kita pada masalah yang kedua, yakni tentang kesadaran dan kewarasan politik masyarakat yang lebih serius.
Semestinya bila kita berpikir dengan logika yang sederhana, kedua isu politik yang memanaskan situasi politik menjelang pendaftaran capres-cawapres mampu menumbuhkan pendidikan politik dan kesadaran kritis para pemilih, lalu meluaskan dukungan dan kemudian berdampak pada anjloknya elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
Namun demikian, sebagaimana ditunjukkan melalui hasil survei litbang Kompas di atas, secara elektoral, roket elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran melesat kencang.
Menurut analisis sebagian pengamat (Kompas.com, 2023) terdapat kesenjangan antara isu-isu politik yang diperbincangkan di kalangan elite dan kesadaran politik masyarakat pada umumnya.
Dengan lain perkataan keresahan dan kekhawatiran yang dirasakan oleh elite politik terhadap isu-isu tertentu seringkali tidak mampu ditransformasikan menjadi keresahan yang sama di kalangan masyarakat umum (https://nasional.kompas.com, 2023).
Masyarakat menganggap, isu-isu tersebut lebih bersifat elitis dan menganggap tidak terhubung secara langsung dengan realitas hidup mereka. Masyarakat cenderung resah pada hal-hal yang lebih mendesak bagi mereka, cenderung lebih fokus pada masalah-masalah yang langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Hal ini kemudian membuat kesadaran politik masyarakat umum terhadap isu-isu politik yang sebenarnya mempengaruhi kehidupan sehari-hari menjadi terbatas atau kurang mendalam.
Karenanya harapan akan kesadaran politik warga yang lebih serius terhadap isu-isu politik seperti isu politik dinasti dan Mahkama Keluarga (MK) merupakan tanggung jawab elit dan partai politik.
Sebagaimana dijelaskan oleh para pakar bahwa, tugas dan fungsi partai politik adalah mengedukasi dan mendorong partisipasi warga. Dalam konteks ini, partai politik memiliki peran yang signifikan penting dalam mendidik masyarakat tentang politik dan menggerakkan partisipasi publik dalam proses politik.
Namun demikian, kajian para sarjana menunjukan bahwa watak dan karakter partai-partai politik di Indonesia, cenderung bersifat Office-seeking. Partai Office-seeking merupakan model pembentukan partai politik dengan pertimbangan ingin mendapatkan kekuasaan atau jabatan-jabatan strategis dalam sebuah kepemerintahan (Ekawati, 2019; Romli, 2017; Tjahjoko, 2015).
Karena itu, segala keresahan yang terjadi dengan munculnya isu dinasti politik sekarang ini justru sebagai buah pahit dari sistem dan budaya politik kepartaian yang berlangsung saat ini.
Absennya partai oposisi membuat demokrasi Indonesia tidak sehat, karena tidak hadirnya check and balances, yang kemudian membuat pemerintahan yang berkuasa bisa mengkonsolidasikan kekuasaan. Imbasnya adalah kontrol terhadap pemerintahan menjadi tidak maksimal. Pada titik inilah segala keresahan yang kita pergunjingkan bermula.
Artikel Lainnya
-
91213/12/2023
-
151628/07/2020
-
138130/03/2020
-
Transformasi Menuju Kekuatan Diri
55407/02/2023 -
Simalakama Dalam Meminimalisir Fragmentasi Politik
30923/08/2024 -
Evaluasi Bantuan Kuota Belajar
146102/01/2021