Demokrasi Indonesia Tanpa Oposisi?

Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol, UGM
Demokrasi Indonesia Tanpa Oposisi? 13/12/2019 1937 view Politik wikimedia.org

Apakah demokrasi yang susah payah kita bangun dalam era reformasi ini sedang mengalami ancaman?

Setidaknya pertanyaan ini muncul melihat dinamika politik yang sedang berlangsung belakangan ini. Pemimpin oposisi yaitu Prabowo Subianto justru masuk ke kabinet. Bukan sebagai wantimpres, bukan juga sebagai menteri koordinator, namun sebagai menteri pertahanan. Hal ini adalah suatu fenomena politik yang sangat jarang terjadi tentunya.

Akibatnya adalah saat ini kekuatan koalisi menjadi begitu besar di eksekutif maupun legislatif.

Kekhawatiran tentunya muncul misalnya terkait tingginya potensi proses legislasi yang tidak sehat. Agenda - agenda eksekutif berpotensi dengan mudahnya lolos di parlemen.

Demokrasi dan oposisi ibarat dua hal yang selalu berkaitan. Indonesia sendiri telah menjalani setidaknya 21 tahun proses reformasi demokrasi. Pada masa orde baru pemerintahan memang dijalankan tanpa oposisi.

Beberapa pendapat kemudian muncul terkait hal ini. Salah satunya dari Sekjen PDI-P, Hasto kristiyanto yang menyatakan bahwa Indonesia tidak mengenal istilah oposisi. Namun, perlu diingat bahwa pasca kalah pada pemilu 2004 Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan PDI-P sebagai partai oposisi.

Bahkan langkah tersebut kemudian dituangkan dalam Format Oposisi PDI-P. Konstitusi UUD 1945 memang tidak mengenal istilah oposisi. Namun dalam praktiknya istilah oposisi telah sering digunakan dalam demokrasi di Indonesia. Sehingga perbincangan tentang oposisi dalam demokrasi di Indonesia dapat memicu silang pendapat.

Demokrasi di dunia dalam konteks sistem pemerintahan setidaknya terbagi dalam dua segmentasi besar yaitu presidensial dan parlementar. Meskipun terdapat pula sistem hybrid ala Perancis dan collective collegial ala Swiss. Oposisi yang terlembagakan  ada dalam sistem parlementer.

Sementara dalam sistem presidensiil oposisi lebih bersifat fungsional sebagai instrumen check and balances daripada terlembagakan. Namun, bila kita melihat sejarah praktik politik di Indonesia istilah oposisi telah jamak digunakan oleh berbagai partai di Indonesia. Terutama dalam masa demokrasi liberal dan demokrasi pasca reformasi.

Oposisi baik terlembagakan maupun tidak terlembagakan memiliki peran yang penting dalam demokrasi. Dahl (1969) misalnya menyatakan bahwa dalam demokrasi diperlukan oposisi untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Adanya oposisi menurut Acemoglu dan Robinson (2014) juga strategis dalam upaya menjaga keseimbangan politik dan mencegah munculnya otoritarianisme.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi narasi tentang tidak adanya oposisi bisa jadi akan semakin kencang. Meskipun dalam politik situasi selalu dinamis dan dapat berubah setiap saat. Hal yang perlu menjadi kewaspadaan adalah kemungkinan adanya politik bagi – bagi kursi. Terutama bila politik bagi – bagi kursi ini kemudian dibungkus secara populis sebagai praktik demokrasi berbasis gotong royong.

Apalagi seandainya politik bagi – bagi kursi ini kemudian dibungkus dengan citra rekonsiliasi kebangsaan. Pilpres 2019 memang harus diakui menghadirkan polarisasi politik di masyarakat.

Potensi konflik sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa memang harus diakui ada. Namun, tentu saja solusi atas semua ini terletak pada tata kelola massa yang baik. Bukannya melalui politik bagi – bagi kursi di kalangan elit yang tentu hanya akan menguntungkan elit politik.

Struktur demokrasi yang diperlukan oleh Indonesia saat ini bertumpu pada tiga hal. Pertama, pemerintah yang kuat dalam artian mempunyai dukungan mayoritas di parlemen. Namun, mayoritas bukan berarti tanpa adanya oposisi.

Kedua yang menjadi tumpuan demokrasi di Indonesia adalah adanya oposisi yang meskipun bukan mayoritas namun solid. Oposisi juga perlu mendasarkan setiap langkah yang diambil berdasarkan riset – riset terhadap kehidupan masyarakat. Basis riset yang kuat menjadi penting, mengingat studi ASH Center (2013) menyatakan bahwa DPR memiliki kapasitas teknis yang rendah. Sehingga, berbagai kebijakan yang diajukan oleh pemerintah yang punya dukungan mayoritas di parlemen dapat dikoreksi oleh oposisi yang solid dan punya basis riset kuat. Oleh karena itu, meskipun oposisi minoritas di parlemen namun memperoleh dukungan dari publik.

Ketiga, demokrasi Indonesia memerlukan kerja kolektif antara komunitas – komunitas masyarakat politik (polity) dan media. Komunitas masyarakat politik menjalankan tugas utama untuk mendiskusikan sekaligus melakukan pengkajian berbagai kebijakan pemerintah. Sementara media menjalankan fungsi membentuk kesadaran kritis kepada publik terhadap kebijakan pemerintah. Sehingga, fungsi edukasi publik akan dijalankan secara sinergis oleh komunitas masyarakat politik dan media. Struktur demokrasi seperti ini diharapkan akan menghasilkan keseimbangan yang konstruktif sekaligus dapat menghindari deadlock dalam aktivitas pemerintahan.

Referensi:

Acemoglu, Daron., & Robinson, James, A. (2014). Mengapa Negara Gagal: Awal
Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta: Elex Media Komputindo

ASH Center. (2013). The Sum is Greater Than The Parts: Doubling Shared Prosperity
in Indonesia Through Local and Global Integration. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Dahl, R. A. (1969). Political Opposition in Western Democracies In Comparative
Government (pp. 229 – 234). London: Palgrave

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya