Data Pribadi Bocor Lagi, Rakyat Rugi Lagi: Apakah Kita Harus Terbiasa?
Seperti sebuah deja vu, kabar kebocoran data pribadi kembali menghantui publik di Indonesia termasuk pribadi saya sendiri. Kali ini, 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diduga bocor dan diperjualbelikan. Rasanya sudah tak asing lagi bagi kita mendengar berita semacam ini. Sebelumnya, data penduduk di Pusat Data Nasional milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga mengalami nasib serupa. Satu demi satu kasus kebocoran data muncul, dan entah mengapa seolah sudah menjadi rutinitas. Mirisnya, reaksi dari pihak berwenang terasa lambat, bahkan cenderung abai.
Saya berpikir, seberapa sering kita harus menghadapi kenyataan bahwa privasi kita tergadai begitu saja? Rasanya, pemerintah hanya sibuk dengan wacana dan janji, tapi tindakan nyata sepertinya belum benar-benar terasa. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang sudah diamanatkan seharusnya menjadi langkah awal yang kuat untuk membentuk lembaga pelindung data pribadi. Tapi, di mana lembaga itu sekarang? Sampai sekarang, kita hanya mendengar pembentukan Satgas Pelindungan Data, yang ironisnya, dianggap banyak pihak tidak efektif.
Sebagai masyarakat yang datanya terus-menerus terancam bocor, tentu kita semakin cemas. Ada ketidaknyamanan yang membekas setiap kali kita mendengar kebocoran data baru. Bagaimana tidak? Data NPWP bocor, data kesehatan bocor, bahkan data kependudukan juga ikut terjual bebas. Padahal, data-data ini menyimpan identitas kita yang paling mendasar. Ibaratnya, kalau sudah ada di tangan orang yang salah, semua aktivitas pribadi kita bisa diawasi, dimanfaatkan, bahkan disalahgunakan.
Saya mencoba menelaah, mengapa semua ini bisa terjadi? Kita sudah berada di era digital, di mana data seharusnya dilindungi dengan teknologi terbaik. Namun, alih-alih melihat kemajuan di sektor keamanan digital, kita justru berkutat dengan masalah yang sama berulang kali. Pemerintah tampaknya masih belum mampu menghadapi tantangan ini secara serius. Keamanan data pribadi di Indonesia sepertinya masih dianggap remeh, padahal implikasi dari kebocoran data ini sangat besar. Menurut pakar keamanan siber, Richard Clarke, “Jika Anda berpikir teknologi dapat menyelesaikan masalah keamanan, maka Anda tidak memahami masalah dan teknologinya.” Kutipan ini begitu relevan dengan situasi kita saat ini. Pemerintah seolah hanya berfokus pada teknologi, tanpa memperhatikan esensi masalah utamanya, yaitu keamanan yang terabaikan.
Langkah pemerintah yang dinilai setengah hati ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar kita bisa mempercayakan data kita kepada negara? Satgas Pelindungan Data, yang diharapkan bisa menjadi garda depan pelindungan data pribadi, tampaknya tidak berfungsi dengan maksimal. Sampai kapan kita bisa terus mengandalkan Satgas ini yang terkesan hadir hanya untuk 'sekadar ada'? Kebocoran demi kebocoran terus terjadi, dan rakyat lagi-lagi menjadi pihak yang dirugikan.
Sebagai warga negara, kita tentu ingin melihat tindakan nyata. Saya pribadi merasa bahwa respons pemerintah masih kurang cepat dan terkesan reaktif, bukan preventif. Setiap kali ada kebocoran data, kita baru mendengar rencana perbaikan. Tapi, di mana langkah preventif yang seharusnya sudah diterapkan sejak awal? Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Pemerintah seharusnya mampu berinovasi dalam mencegah kebocoran data, bukan sekadar menunggu masalah datang dan kemudian panik mencari solusi. Seperti yang pernah dikatakan oleh pakar keamanan informasi Bruce Schneier, "Keamanan adalah sebuah proses, bukan produk." Artinya, tidak cukup hanya dengan membentuk lembaga atau tim ad hoc. Diperlukan proses yang kontinu dan komprehensif untuk menjaga data masyarakat.
Ketika data pribadi bocor, efeknya tidak main-main. Rakyat bisa mengalami pencurian identitas, penipuan, hingga kerugian finansial. Bayangkan, data NPWP kita yang bocor bisa digunakan untuk transaksi ilegal, pinjaman online tanpa sepengetahuan kita, atau bahkan penyalahgunaan lainnya. Dan ketika masalah ini terjadi, siapa yang harus menanggung akibatnya? Tentunya, kita sebagai korban. Namun, pemerintah tampaknya belum memberikan jaminan yang jelas, baik dari segi pengamanan data maupun dari sisi kompensasi jika data kita sudah terlanjur bocor.
Di sisi lain, transparansi juga menjadi masalah. Setiap kali ada kebocoran data, informasi yang disampaikan kepada publik cenderung minim. Kita tidak diberitahu secara jelas siapa yang bertanggung jawab, bagaimana data itu bisa bocor, dan apa langkah yang diambil untuk mencegah hal serupa terulang. Dalam situasi seperti ini, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin menipis. Jika pemerintah tidak mampu menjaga data warganya, bagaimana kita bisa merasa aman di era yang semakin digital ini?
Menurut saya, kebocoran data ini adalah cerminan dari lemahnya tata kelola digital di Indonesia. Pemerintah harus lebih serius dalam menata ulang sistem keamanan data. Tidak bisa lagi ada alasan atau pembenaran bahwa ini hanyalah masalah teknis. Ini adalah masalah tanggung jawab, dan tanggung jawab itu ada di tangan pemerintah. Menjaga data pribadi rakyat bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Sudah saatnya ada reformasi serius di sektor keamanan data, mulai dari penegakan hukum, penetapan standar keamanan, hingga pembentukan lembaga yang benar-benar independen dan kredibel untuk melindungi data pribadi kita.
Kita semua pasti lelah mendengar berita data bocor terus-menerus. Tapi, apakah kita harus terbiasa dengan hal ini? Tentu saja tidak. Kita sebagai masyarakat punya hak untuk menuntut perlindungan privasi yang lebih baik. Pemerintah punya kewajiban untuk menjamin keamanan data kita, bukan sekadar menambah daftar panjang kebocoran yang terus berulang. Sudah saatnya pemerintah berhenti 'memadamkan api' setelah kebakaran, dan mulai membangun sistem yang mampu mencegah bencana ini dari awal.
Pada akhirnya, yang kita inginkan hanyalah satu: keamanan data yang benar-benar terjamin. Jangan biarkan privasi kita terus menjadi barang dagangan di dunia maya, karena kebocoran data bukanlah sesuatu yang bisa kita anggap wajar.
Artikel Lainnya
-
126806/07/2020
-
191108/04/2020
-
128921/06/2020
-
Politik Pencitraan Menjelang Pemilu 2024
49709/12/2023 -
Manusia adalah Serigala bagi Sesamanya
101210/11/2022 -
138926/11/2020